1 ARTIKEL TENTANG HUKUM EKONOMI SYARIAH

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/308991458
EPISTEMOLOGI HUKUM EKONOMI ISLAM (MUAMALAH)
Article · April 2012
DOI: 10.28918/religia.v15i1.126
CITATIONS
2
READS
9,272
1 author:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Islamic Accounting View project
KONSTRUKSI HUKUM EKONOMI SYARIAH DALAM FIQH ANGGARAN YANG BEBASIS AKUNTANSI SYARIAH View project
Agus Arwani
IAIN Pekalongan, Indonesia, Jawa Tengah
24 PUBLICATIONS 2 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Agus Arwani on 11 October 2016.
The user has requested enhancement of the downloaded file.
EPISTEMOLOGI HUKUM EKONOMI
ISLAM (MUAMALAH)
Agus Arwani*
Abstract: Islam adalah agama universal dan komprehensif.
Universal artinya bahwa Islam ditujukan untuk semua umat
manusia di bumi dan dapat diterapkan setiap saat hingga
berakhirnya waktu. Satu aspek penting yang berkaitan dengan
hubungan manusia adalah ekonomi. Paham ekonomi Islam
memiliki prinsip yang diturunkan dari Al-Qur’an dan Hadist.
Ekonomi Islam sebagai disiplin ilmu memiliki pondasi
epistimologi. Epistimologi ekonomi Islam berarti tinjauan
sumber ekonomi Islam termasuk metodologi dan kebenaran
ilmiah. Epistimologi Islam sebagai langkah awal untuk
mendiskusikan subjek filosofi pengetahuan. Pada sisi lain,
epistimologi Islam berpusat pada Tuhan, dalam pengertian
Tuhan sebagai sumber pengetahuan dan sumber kebenaran. Sisi
yang lain, epistimologi Islam berpusat pada manusia, dalam
pengertian manusia sebagai aktor pencari pengetahuan
(kebenaran). Epistimologi hukum ekonomi Islam
membutuhkan ijtihad yang menggunakan alasan rasio.
Epistimologi hukum ekonomi Islam menggunakan metode
deduksi dan induksi.
Islam is a religion of universal and comprehensive. Universal
means that Islam is for all mankind on earth and can be applied
in every time and place until the end of time. One important
aspect related to human relations is economic. Islamic doctrine
of economics have principles derived Quran and Hadith.
Islamic economics as a discipline, thus having an
epistemological foundation. Islamic economic epistemology
means reviewing the origin (source) of Islamic economics, its
methodology and scientific validity. Islamic economic
epistemology means reviewing the origin (source) of Islamic
economics, its methodology and scientific validity. Islamic

  • Dosen Luar Biasa STAIN Pekalongan
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    126
    Epistemology take Islam as a starting point to discuss the
    subject of philosophical knowledge, on the one hand the
    Islamic epistemology centered on God, in the sense of God as
    the source of knowledge and the source of all truth. On the
    other hand, Islamic epistemology centered in humans, in the
    sense of humans as actors seeker of knowledge (truth).
    Epistemology of Islamic economic law required ijtihad using
    the ratio/reason. Epistemology of Islamic economic law, used
    deduction and induction method.
    Kata kunci: Ekonomi Konvensional, Epistemologi, Hukum,
    Ekonomi Islam
    PENDAHULUAN
    Islam adalah agama yang universal dan komprehensif.
    Sebagai ajaran yang komprehensif, Islam meliputi tiga pokok
    ajaran, yaitu aqidah, syari’ah dan akhlak. Hubungan antara aqidah,
    syari’ah dan akhlak dalam sistem Islam terjalin sedemikian rupa
    sehingga merupakan sebuah sistem yang komprehensif. Syariah
    Islam terbagi kepada dua yaitu ibadah dan mu’amalah. Ibadah
    diperlukan untuk menjaga ketaatan dan keharmonisan hubungan
    manusia dengan khaliq-Nya. Mu’amalah dalam pengertian umum
    dipahami sebagai aturan mengenai hubungan antar manusia.
    Salah satu aspek penting yang terkait dengan hubungan antar
    manusia adalah ekonomi. Ajaran Islam tentang ekonomi memiliki
    prinsip-prinsip yang bersumber al-Qur’an dan Hadits. Prinsipprinsip
    umum tersebut bersifat abadi, seperti prinsip tauhid, adil,
    maslahat, kebebasan, dan tanggung jawab, persaudaraan, dan
    sebagainya. Prinsip-prinsip ini menjadi landasan kegiatan ekonomi
    di dalam Islam yang secara teknis operasional selalu berkembang
    dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan
    peradaban yang dihadapi manusia.
    Ekonomi menjadi kebutuhan dasar dalam memenuhi
    kesejahteraan manusia, dalam ekonomi konvensional, kesejahteraan
    diartikan sebagai kepuasan diri sebesar besarnya sedang dalam
    ekonomi Islam kesejahteraan diartikan sebagai kesuksesan hidup di
    dunia dalam menjalankan tugasnya sebagai Kholifah untuk
    beribadah kepada Allah. Tiga hal ini menjadi dasar utama dalam
    menjalankan ekonomi Islam.
    Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Agus Arwani)
    127
    Filsafat diartikan sebagai cara berfikir dalam menentukan
    mana yang baik dan buruk dan secara bijaksana melakukan yang
    baik, guna dari filsafat adalah untuk mengetahui hakikat sebenar
    benarnya suatu objek sehingga orang memahami dan
    mempelajarinya tidak keliru. Salah satu pengetahuan filsafat adalah
    epistemologi. Epistemologi akan membantu kita secara tidak
    langsung untuk memilih ataupun menyusun pengetahuan yang akan
    kita jadikan sebagai dasar dari sikap atau tindakan kita. Akan tetapi,
    bukan berarti ketika kita telah memilih atau menyusun suatu
    pengetahuan dengan pertimbangan-pertimbangan epistemologis,
    pengetahuan kita bisa dipastikan benar, karena saya yakin,
    anggaplah ini sebagai pandangan pribadi─ tidak ada orang atau
    metode apapun yang bisa menjamin suatu pengetahuan pasti benar,
    dan juga karena saya sependapat dengan pandangan bahwa
    pengetahuan hanya dianggap sebagai suatu analisis atas
    kemungkinan-kemungkinan yang pada gilirannya menjadi landasan
    untuk melakukan suatu perbuatan, yakni aspek rasional dari praktek,
    dimana saya juga yakin terdapat keputusan-keputusan yang kita buat
    yang tidak bisa diterjemahkan sebagai hal yang rasional. Dalam
    tulisan ini akan berusaha mengulas tentang epistemologi hukum
    ekonomi Islam (muamalah).
    PEMBAHASAN
    A. Pengertian Epistemologi
    Secara etimologi, epistemologi berasal dari kata
    Yunani episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan,
    sedangkan logos berarti teori, uraian atau alasan. Jadi epistemologi
    dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan (Bakhtiyar, 2008:
    10). Dengan demikian, epistemologi merupakan salah satu cabang
    filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal
    mula pengetahuan, struktur, metode, dan validitas pengetahuan.
    Epistemologi pada hakikatnya membahas tentang filsafat
    pengetahuan yang berkaitan dengan asal-usul (sumber) pengetahuan,
    bagaimana memperoleh pengetahuan tersebut (metodologi) dan
    kesahihan (validitas) pengetahuan tersebut.
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    128
    B. Hukum Mu’amalah dan Ekonomi Islam
    Hukum mu’amalah merupakan rangkaian dari kata “hukum”
    dan kata “mu’amalah”. Kedua itu secara terpisah, merupakan kata
    yang digunakan dalam bahasa Arab dan terdapat dalam Al-Qur’an,
    juga berlaku dalam bahasa Indonesia. “hukum mu’amalah” sebagai
    suatu rangkaian kata telah menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan
    terpakai. Dalam bahasa Indonesia kata ‘hukum’ secara mandiri
    menurut Amir Syarifuddin adalah seperangkat peraturan tentang
    tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun
    orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan
    mengikat untuk seluruh anggotanya (Syarifuddin, 2011: 6).
    Adapun mu’amalah dari kata ‘amala yu’amilu mu’amalatan
    yang berarti: beraksi, bekerja, berproduksi, namun biasanya dengan
    kaitan hukumnya kata “mu’amalah” disandingkan dengan kata
    “fiqh” yang secara bahasa berarti “pemahaman” (Ali, 1996: 1323).
    Adapun pengertian ekonomi Islam yang terdiri dari dua kata
    ekonomi dan Islam. Ekonomi merupakan salah satu ilmu sosial yang
    mempelajari aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi,
    distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan jasa. Istilah “ekonomi”
    sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu ο􀀀κος (oikos) yang berarti
    “keluarga, rumah tangga” dan νόμος (nomos) yang berarti
    “peraturan, aturan, hukum”. Secara garis besar, ekonomi diartikan
    sebagai “aturan rumah tangga” atau “manajemen rumah tangga.”
    Sementara yang dimaksud dengan ahli ekonomi atau ekonom adalah
    orang yang menggunakan konsep ekonomi dan data dalam bekerja
    (http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi, 2012: 1).
    Menurut M. Akram Kan ekonomi Islam adalah “Islamic
    economics aims the study of he human falah (well-being) achieved
    by organizing the resources of the earth on the basic of cooperation
    and participation”. Secara lepas dapat diartikan bahwa ilmu
    ekonomi Islam bertujuan untuk melakukan kajian tentang
    kebahagian hidup manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan
    sumber daya alam atas dasar bekerja sama dan partisipasi. Definisi
    yang dikemukakan Akram Kan memberikan dimensi normatif
    (kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat) serta dimensi positif
    (mengorganisasi sumber daya alam) (Huda dkk, 2007: 7).
    Berkaitan dengan ekonomi dan mu’amalah yaitu di mana
    kedua kata tersebut erat kaitannya dengan masalah pendistribusian
    Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Agus Arwani)
    129
    sumberdaya alam khususnya harta sehingga kajian ekonomi Islam
    menjadi bagian dari kajian fiqh mu’amalah. Muhammad Yusuf
    Musa berpendapat bahwa kajian fiqh mu’amalah itu mencakup
    tentang ketentuan-ketentuan hukum mengenai kegiatan
    perekonomian, amanah dalam bentuk titipan dan pinjaman, ikatan
    kekeluargaan, proses penyelesaian perkara lewat pengadilan dan
    bahkan soal distribusi harta waris (Rosyada, 1992: 70). Berdasarkan
    hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa fiqh mu’amalah adalah
    mengetahui ketentuan-ketentuan hukum tentang usaha-usaha
    memperoleh dan memperkembangkan harta, jula beli, hutang
    piutang, dan jasa penitipan di antara anggota-anggota masyarakat
    sesuai keperluan mereka, yang difahami dari dalil-dalil syara’ yang
    terinci (Rosyada, 1992: 71).
    C. Filsafat Hukum Ekonomi Islam (Mu’amalah)
    Filsafat sebagai proses berfikir yang sistematis dan radikal
    mempunyai objek material dan objek formal. Objek material filsafat
    adalah segala yang ada, baik yang tampak atau yang tidak tampak.
    Sebagian ahli filsafat membagi objek material filsafat atas tiga
    bagian, yaitu yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam fikiran,
    dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun objek formal filsafat
    adalah sudut pandang yang meneyeluruh, radikal, dan rasional
    tentang segala yang ada (Bakhtiar, 2008: 1).
    Ilmu ekonomi Islam (Islamic economics) memiliki
    landasan epistemologis layaknya sebagai disiplin ilmu. Membahas
    epistemologi hukum ekonomi Islam berarti mengkaji asal-usul
    (sumber) hukum ekonomi Islam, metodologinya dan validitasnya
    secara ilmiah.
    Pembahasan landasan filosofis untuk ilmu ekonomi Islam
    ini terdiri atas dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
    Dengan tetap mempergunakan pendekatan historis dan ideologis
    (bahkan apologetis) yang cukup kental, pada dimensi ontologis
    terlihat bahwa tidak ada alasan untuk menolak eksistensi ilmu
    ekonomi Islam sebagai sebuah ilmu. Substansi rumusan tercermin
    dari statemen yang menyatakan bahwa ilmu ekonomi syari’ah
    adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam rangka
    memenuhi kebutuhannya.
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    130
    Ilmu ini bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam yang
    terdapat dalam Al Quran dan Sunnah yang realitas historisnya dapat
    ditemukan dalam khazanah literatur keislaman (kitab-kitab fikih dan
    qanun) yang materi pembahasannya dimulai sejak masa Nabi sampai
    dengan hari ini.
    Kekentalan pendekatan historis dan ideologis (dan bahkan
    apologetis itu) terlihat pada pembahasan yang mengharuskan orang
    untuk kembali melihat kejayaan Islam masa silam. Karena, cukup
    banyak bukti bahwa para pemikir muslim merupakan penemu,
    peletak dasar, dan pengembang banyak bidang ilmu. Nama-nama
    pemikir muslim bertebaran di sana-sini menghiasi area ilmu
    pengetahuan, termasuk juga ilmu ekonomi. Para pemikir muslim
    klasik itu tidak terjebak dalam pengotak-kotakan berbagai macam
    ilmu tersebut seperti yang dilakukan oleh para pemikir saat ini.
    Mereka melihat ilmu-ilmu tersebut sebagai “ayat-ayat” Allah yang
    bertebaran di seluruh alam.
    Dalam pandangan mereka, ilmu-ilmu itu walaupun sepintas
    terlihat berbeda-beda dan bermacam-macam jenisnya, namun pada
    hakikatnya berasal dari sumber yang satu, yakni dari Yang Maha
    Mengetahui seluruh ilmu. Yang Maha Benar, Allah SWT (Karim,
    2007: 1). Hal-hal itulah yang “menyebabkan” rumusan dimensi
    ontologis ilmu ekonomi Islam .
    Pada dimensi epistemologis, secara umum diskusi berkisar
    pada substansi masalah yang diungkap oleh tiga mazhab pemikiran
    ekonomi Islam dewasa ini; yaitu mazhab Baqir Sadr (Iqtishaduna),
    mazhab Mainstream, dan mazhab Alternatif-Kritis. Mazhab Baqir
    Sadr berpendapat bahwa ilmu ekonomi tidak pernah bisa sejalan
    dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi dan Islam tetap Islam.
    Keduanya tidak akan pernah dapat disatukan, karenanya berasal dari
    filosofi yang saling kontradiktif. Yang satu anti-Islam, yang lainnya
    Islam. Menurut mereka, perbedaan filosofis ini berdampak pada
    perbedaan cara pandang keduanya dalam melihat masalah ekonomi.
    Menurut ilmu ekonomi, masalah ekonomi muncul karena
    adanya keinginan manusia yang tidak terbatas sementara sumber
    daya yang tersedia untuk memuaskan keinginan manusia tersebut
    jumlahnya terbatas. Mazhab Baqir menolak pernyataan ini, karena
    menurut mereka, Islam tidak mengenal adanya sumber daya yang
    terbatas. Dalil yang dipakai adalah Al-Qur’an (54: 49). Pendapat
    Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Agus Arwani)
    131
    bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas juga ditolak. Mazhab ini
    berkesimpulan bahwa keinginan yang tidak terbatas itu tidak benar,
    sebab pada kenyataannya keinginan manusia itu terbatas.
    (Adiwarman minta bandingkan pendapat ini dengan teori Marginal
    Utility, Law of Diminishing Returns, dan hukum Gossen).
    Mazhab Baqir juga berpendapat bahwa masalah ekonomi
    muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan adil sebagai
    akibat sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang
    kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap
    sumber daya sehingga menjadi sangat kaya. Sementara yang lemah
    tidak memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat
    miskin. Karena itu masalah ekonomi bukan karena sumber daya
    yang terbatas, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak
    terbatas.
    Sementara itu, mazhab Mainstream (mazhab kedua)
    berbeda pendapat dengan mazhab Baqir, mazhab ini justru setuju
    bahwa masalah ekonomi terjadi karena sumber daya yang terbatas
    yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas.
    Memang benar misalnya, bahwa total permintaan dan penawaran
    beras di seluruh dunia berada pada titik equilibrium. Namun jika kita
    berbicara pada tempat dan waktu tertentu, maka sangat mungkin
    terjadi kelangkaan sumber daya. Bahkan ini yang seringkali terjadi.
    Dalil yang dipakai adalah al-Qur’an (2: 155 dan 102: 1-5). Dengan
    demikian, pandangan mazhab ini tentang masalah ekonomi hampir
    tidak ada bedanya dengan pandangan ekonomi konvensional.
    Kelangkaan sumber dayalah yang menjadi munculnya masalah
    ekonomi. Bila demikian, di manakah letak perbedaan mazhab
    Mainstream ini dengan ekonomi konvensional?
    Perbedaannya terletak dalam cara menyelesaikan masalah
    tersebut. Dilema sumber daya yang terbatas versus keinginan yang
    tak terbatas memaksa manusia untuk melakukan pilihan-pilihan atas
    keinginannya. Kemudian manusia membuat skala prioritas
    pemenuhan keinginan, dari yang paling penting sampai yang paling
    tidak penting. Dalam ekonomi konvensional, pilihan dan penentuan
    skala prioritas dilakukan berdasarkan selera pribadi masing-masing.
    Manusia boleh mempertimbangkan tuntutan agama, boleh juga
    mengabaikannya. Hal demikian dalam bahasa Al-Qur’an disebut
    “pilihan dilakukan dengan mempertaruhkan hawa nafsunya”.
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    132
    Tetapi dalam ekonomi Islam, keputusan pilihan ini tidak
    dapat dilakukan semaunya saja. Perilaku manusia dalam setiap aspek
    kehidupannya termasuk ekonomi selalu dipandu oleh Allah lewat
    Quran dan Sunnah. Tokoh-tokoh mazhab ini di antaranya M. Umer
    Chapra, M.A. Mannan. M. Nejatullah Siddiqi, dan lain-lain.
    Mazhab ketiga adalah mazhab Alternatif-Kritis. Mazhab
    yang di antara pelopornya adalah Timur Kuran (Ketua Jurusan
    Ekonomi di University of Southern California) dan Jemo (Yale,
    Cambridge, Harvard, Malaya) ini mengritik dua mazhab
    sebelumnya. Mazhab Baqir dikritik sebagai mazhab yang berusaha
    untuk menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah
    ditemukan oleh orang lain. Sementara mazhab Mainstream
    dikritiknya sebagai jiplakan dari ekonomi neoklasik dengan
    menghilangkan variabel riba dan memasukkan variabel zakat serta
    niat.
    Mazhab ini adalah sebuah mazhab yang kritis. Mereka
    berpendapat bahwa analisis kritis bukan saja harus dilakukan
    terhadap sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga kepada ekonomi
    Islam itu sendiri. Mereka yakin Islam pasti benar, tetapi ekonomi
    Islam belum tentu benar karena ekonomi Islam adalah hasil
    penafsiran orang Islam atas Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga
    nilai kebenarannya tidak mutlak. Proposisi dan teori yang diajukan
    oleh ekonomi Islam harus selalu diuji kebenarannya sebagaimana
    yang dilakukan terhadap ekonomi konvensional (Karim, 2002: 5).
    Filsafat ekonomi, merupakan dasar dari sebuah sistem
    ekonomi yang dibangun. Berdasarkan filsafat ekonomi yang ada
    dapat diturunkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, misalnya
    tujuan kegiatan ekonomi konsumsi, produksi, distribusi,
    pembangunan ekonomi, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan
    sebagainya. Filsafat ekonomi Islam didasarkan pada konsep triangle:
    yakni filsafat Tuhan, manusia dan alam. Kunci filsafat ekonomi
    Islam terletak pada manusia dengan Tuhan, alam dan manusia
    lainnya. Dimensi filsafat ekonomi Islam inilah yang membedakan
    ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya kapitalisme dan
    sosialisme. Filsafat ekonomi yang Islami, memiliki paradigma yang
    relevan dengan nilai-nilai logis, etis dan estetis yang Islami yang
    kemudian difungsionalkan ke tengah tingkah laku ekonomi manusia.
    Dari filsafat ekonomi ini diturunkan juga nilai-nilai instrumental
    Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Agus Arwani)
    133
    sebagai perangkat peraturan permainan (rule of game) suatu
    kegiatan (http://shariaeconomics.wordpress.com, Agustianto , 2012:
    1).
    Salah satu poin yang menjadi dasar perbedaan antara sistem
    ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah pada
    falsafahnya, yang terdiri dari nilai-nilai dan tujuan. Dalam ekonomi
    Islam , nilai-nilai ekonomi bersumber Al-Qur’an dan hadits berupa
    prinsip-prinsip universal. Di saat sistem ekonomi lain hanya terfokus
    pada hukum dan sebab akibat dari suatu kegiatan ekonomi, Islam
    lebih jauh membahas nilai-nilai dan etika yang terkandung dalam
    setiap kegiatan ekonomi tersebut. Nilai-nilai inilah yang selalu
    mendasari setiap kegiatan ekonomi Islam .
    Sistem ekonomi Islam sangat berbeda dengan ekonomi
    kapitalis, sosialis maupun komunis. Ekonomi Islam bukan pula
    berada di tengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu. Sangat bertolak
    belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis
    yang memberikan hampir semua tanggungjawab kepada warganya
    serta komunis yang ekstrem, ekonomi Islam menetapkan bentuk
    perdagangan serta perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh di
    transaksikan (http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_syariah, 2012:
    1). Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan
    bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan
    kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya
    kepada setiap pelaku usaha
    Syari’ah membimbing aktivitas ekonomi, sehingga sesuai
    dengan kaidah-kaidah syariah. Sedangkan akhlak membimbing
    aktivitas ekonomi manusia agar senantiasa mengedepankan
    moralitas dan etika untuk mencapai tujuan. Akhlak yang terpancar
    dari iman akan membentuk integritas yang membentuk good
    corporate governance dan market disiplin yang baik
    (http://shariaeconomics.wordpress.com, Agustianto, 2012: 2).
    Filsafat hukum fiqh mu’amalah atau falsafah al-tasyri’ fî almu’âmalat
    istilah sesuatu yang berkaitan dengan hukum Islam
    meliputi tujuan hukum (maqâshid), prinsip hukum (mabâdi’ atau
    mâhiyat), asas hukum atau usus al-hukm, kaidah hukum, dan
    wasatiyyât wa al-harâkiyah fî alhukm (Atang, 2011: 142).
    Sedangkan Hasbi Ash Shiddieqy menambahkan ciri khas, serta
    watak dan tabi’at yang merupakan landasan pembentukan dan
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    134
    pembinaan hukum Islam (Atang, 2011: 37). Maka berdasarkan hal
    tersebut dalam makalah ini penulis akan membahas tujuan,prinsip,
    asas, kaidah, dan ciri khas serta tabi’at sebagai substansi dari filsafat
    hukum mu’amalah.
    D. Prinsip Hukum Ekonomi Islam
  1. Prinsip aqidah, atau prinsip tauhid. Prinsip ini merupakan
    fondasi hukum Islam, yang menekankan bahwa:
    a. Harta benda yang kita kuasai hanyalah amanah dari Allah
    sebagai pemilik hakiki. Kita harus memperolehnya dan
    mengelolanya dengan baik (al-thayyibât) dalam rangka dan
    mencari kemanfaatan karunia Allah (ibtighâ min fadhillah).
    b. Manusia dapat berhubungan langsung dengan Allah.
    Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan.
    Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada
    Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syari’at
    Allah (Qardhawi, 1987 dan Shomad, 2010: 86).
  2. Prinsip Keadilan, Mencakup seluruh aspek kehidupan,
    merupakan prinsip yang penting (Permono, 2008: 45).
    Sebagaimana Allah memerintahkan adil di antara sesama
    manusia dalam banyak ayat antara lain:
    “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
    berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
    melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
    Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
    mengambil pelajaran” (QS. an-Nahl: 90)
    “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
    Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah
    untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orangorang
    miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya
    harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya
    saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
    terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
    tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
    Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. al-Hasyr: 9)
  3. Prinsip al-Ihsân (berbuat kebaikan), pemberian manfaat kepada
    orang lain lebih daripada hak orang lain itu.
    Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Agus Arwani)
    135
  4. Prinsip al-Mas’ûliyah (accountabillty), pertanggungjawaban
    yang meliputi beragam aspek, yakni: pertanggungjawaban
    antara individu dengan individu (mas’ûliyah al-afrâd),
    pertanggungjawaban dalam masyarakat (mas’ûliyah almujtama’).
    Manusia dalam masyarakat diwajibkan
    melaksanakan kewajibannya demi terciptanya kesejahteraan
    anggota masyarakat secara keseluruhan serta tanggung jawab
    pemerintah (mas’ûliyah al-daulah) tanggung jawab ini
    berkaitan dengan baitul mal (Permono, 2008: 78).
  5. Prinsip keseimbangan. Prinsip al-Wasathiyah (al-‘itidal,
    moderat, keseimbangan), syariat Islam mengakui hak pribadi
    dengan batas-batas tertentu. Syari’at menentukan keseimbangan
    kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
  6. Prinsip kejujuran dan kebenaran. Prinsip ini merupakan sendi
    akhlakul kariimah.
    a. Prinsip transaksi yang meragukan dilarang, akad transaksi
    harus tegas, jelas dan pasti. Baik benda yang menjadi objek
    akad, maupun harga barang yang diakadkan itu.
    b. Prinsip transaksi yang merugikan dilarang. Setiap transaksi
    yang merugikan diri sendiri maupun pihak kedua dan pihak
    ketiga dilarang.
    c. Prinsip mengutamakan kepentingan sosial. Prinsip ini
    menekankan pentingnya kepentingan bersama yang harus
    didahulukan tanpa menyebabkan kerugian individu.
    Sebagaimana kaidah fiqhiyah: “bila bertentangan antara
    kemaslahatan sosial dan kemaslahatan individu, maka
    diutamakan kepentingan kemaslahatan sosial”.
    d. Prinsip manfaat. Objek transaksi harus memiliki manfaat,
    transaksi terhadap objek yang tidak bermanfaat menurut
    syariat dilarang.
    e. Prinsip transaksi yang mengandung riba dilarang.
    f. Prinsip suka sama suka (saling rela, ‘an taradhin). Prinsip ini
    berlandaskan pada firman Allah Swt:
    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
    memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali
    dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka samasuka
    di antara kamu..” (QS. an-Nisâ’: 29).
    g. Prinsip Milkiah, kepemilikan yang jelas.
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    136
    h. Prinsip Tiada Paksaan. Setiap orang memiliki kehendak yang
    bebas dalam menetapkan akad, tanpa tunduk kepada paksaan
    transaksi apapun, kecuali hal yang diharuskan oleh norma
    keadilan dan kemaslahatan masyarakat (Permono, 2008: 78-
    80).
    E. Asas Hukum Ekonomi Islam
  7. Tabâdul al-manâfi (pertukaran manfaat), kerjasama
    (musyârakah), dan kepemilikan
    Asas pertukaran manfaat (tabâdul al-manâfi) difahami dari QS.
    al-Imrân: 191. Ayat ini menerangkan bahwa segala yang
    diciptakan oleh Allah Swt memiliki nilai kebaikan dan manfaat
    bagi manusia. Firman Allah adalah aturan dan norma hukum
    yang bertujuan terciptanya kebaikan (al-mashâlih) manusia,
    dunia dan akhirat. Norma hukum tersebut oleh para ulama
    diinterpretasi sehingga melahirkan, salah satunya, norma fiqh
    muamalah. Norma fiqh muamalah sebagai bagian norma hukum
    Islam memiliki tujuan yang sama, yaitu al-mashâlih. Almashalih
    dapat diartikan manfaat atau kebaikan (Permono,
    2008: 160). Yang dimaksudkan untuk dapat mendistribusikan
    secara merata kepada seluruh manusia, dan seluruh elemen
    masyarakat, bukan sebuah monopoli demi kepentingan
    perorangan atau kelompok.
    Pertukaran manfaat mengandung pengertian
    keterlibatan orang banyak, baik secara individual maupun
    kelembagaan. Oleh karenanya, dalam pertukaran manfaat
    terkandung norma kerjasama (al-musyârakat). Disamping itu,
    pertukaran manfaat terkait dengan hak milik (haq al-milk)
    seseorang, karena perputaran manfaat hanya dapat terjadi dalam
    benda yang dimiliki, walaupun sebetulnya hak milik mutlak
    hanya ada pada Allah Swt, sementara manusia hanya memiliki
    hak pemanfaatan. Proses pertukaran manfaat melalui norma almusyârakat
    dan norma haq al-milk berakhir di norma alta’âwun
    (tolong- menolong). Dalam Islam al-ta’âwun hanya
    terjadi dalam kebaikan dan ketaqwaan (al-khairât atau al-birr
    wa al-taqwâ) serta dalam hal yang membawa manfaat bagi
    semua (Hakim, 2011: 160-161).
    Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Agus Arwani)
    137
  8. Pemerataan kesempatan, ‘an tarâdhin (suka sama suka atau
    kerelaan) dan ‘adam al-gharâr (tidak ada penipuan atau
    spekulasi)
    Asas pemerataan adalah kelanjutan, sekaligus salah satu
    bentuk penerapan prinsip keadilan dalam teori hukum Islam .
    Pada tataran ekonomi, prinsip ini menempatkan manusia
    sebagai makhluk yang memiliki kesempatan yang sama untuk
    memiliki, mengelola dan menikmati sumber daya ekonomi
    sesuai dengan kemampuannya. Di samping itu, asas ini adalah
    wujud operasional ajaran Islam tentang perputaran harta yang
    tidak boleh hanya berkisar dikalangan orang kaya (al-aghnia),
    sehingga atas dasar ini hak-hak sosial dirumuskan. Rumusan
    hak-hak sosial di antaranya ialah teori perpindahan hak milik,
    sewa menyewa, gadai, pinjam-meminjam dan utang piutang.
    Teori perpindahan hak milik diimplementasikan oleh hukum
    Islam dengan, contoh: jual beli yang bisa berupa akad
    murâbahah, salam atau ishtinâ’, zakat infaq, shadaqah, hibbah,
    dan waris, sewa menyewa dengan al-isti’ârat gadai dengan alrahn,
    dan pinjam meminjam dengan al-qardh. Teori-teori ini
    adalah sarana untuk menciptakan iklim perekonomian yang
    sehat sehingga lalu lintas perniagaan bisa dirasakan oleh semua
    lapisan masyarakat secara merata, tanpa adanya monopoli pihak
    tertentu.
    ‘An tarâdhin merupakan salah satu asas fiqh mu’amalah.
    Ia berarti saling merelakan atau suka sama suka. Kerelaan bisa
    berupa kerelaan melakukan suatu bentuk muamalah, dan atau
    kerelaan dalam menerima atau menyerahkan harta yang menjadi
    obyek perikatan, serta bentuk muamalah lainnya. Ia adalah salah
    satu prasyarata keabsahan transaksi bermuamalah di anatara
    para pihak yang terlibat. Disamping itu, ia merupakan
    kelanjutan dari azas pemerataan, dan bersinergi dengan asas
    ‘adam al-gharâr, arinya prilaku ‘an tarâdhin memungkinkan
    tertutupnya sifat-sifat gharâr dalam berbagai bentuk transaksi
    mu’amalah. Hal ini dapat terjadi, karena ’adam al-gharâr
    merupakan kelanjutan dari ‘an tharâdhin. Al-gaharâr ialah
    sesuatu yang tidak diketahui atau tidak jelas apakah ia ada atau
    tidak ada. Dalam gharâr ada unsur spekulasi bahkan penipuan
    yang dapat menghilangkan ‘an taradhin. ‘adam al-gharar
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    138
    mengandung arti bahwa pada setiap bentuk muamalah tidak
    boleh ada unsur tipu daya atau sesuatu yang menyebabkan salah
    satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lain sehingga
    menyebabkan hilangnya unsur kerelaan dalam melakukan suatu
    transaksi.
  9. Al-bir wa al-taqwâ (Kebaikan dan taqwa)
    Asas al-birr wa al-taqwâ merupakan asas yang
    mewadahi seluruh asas muamalah lainnya. Yaitu segala asas
    dalam lingkup fiqh mu’amalah dilandasi dan diarahkan untuk
    al-birr wa al-taqwâ. Al-birr artinya kebijakan dan berimbang
    atau proporsional atau berkeadilan (Hakim, 2011: 182).
    Hukum Islam melalui asas kebaikan dan ketaqwaan
    menekankan bentuk-bentuk muamalat dalam kategori ‘an
    tarâdhin, ‘adam al-gharâr, tabâdul al-manâfi’, dan pemerataan
    adalah dalam rangka pemenuhan dan pelaksanaan saling
    membantu antara sesama manusia untuk meraih al-birr wa altaqwâ.
    Islam memberlakukan asas ini dalam semua aturan
    bermuamalah, termasuk ekonomi perbankan syari’ah, agar
    dipedomani oleh seluruh umat manusia tanpa melihat latar
    belakang kelompok dan agama yang dianut. Ia baru diboleh
    tidak dipedomani hanya untuk memeperlakukan orang kafir
    yang memerangi, membunuh dan mengusir umat Islam dari
    tempat tinggal mereka.
    Prinsip hukum Islam sebagai asas atau pilar kegiatan
    usaha dan pedoman perbankan syari’ah dalam mencapai
    tujuannya itu berkohorensi dengan al-birr wa al-taqwa. Artinya
    asas-asas hukum Islam seperti ’an taradhin, tabadul manafi’,
    ‘adam al-gharar, ta’awun, al-adl berorientasi kepada
    pemenuhan al-birr wa al-taqwa.
    F. Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Mu’amalah)
    Teori ekonomi Islam dibangun dari masalah faktual,
    sehingga kedekatan teori dengan teori lain, teori dengan praktek,
    saling berkaitan dalam ekonomi Islam. Ekonomi Islam dibangun
    bukan berdasarkan pandangan manusia sebagai makhluk ekonomi
    tetapi berdasarkan pandangan manusia yang diciptakan Tuhan
    Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Agus Arwani)
    139
    dengan berbekalkan fitrah. Dan didasarkan atas empat aksioma
    yaitu; equilbrium, free-will, unity, dan responbility.
    Epistemologi Islam mengambil titik tolak Islam sebagai
    subjek untuk membicarakan filasafat pengetahuan, maka di satu
    pihak epistemologi Islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah
    sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran. Di lain
    pihak, epistemologi Islam berpusat pula pada manusia, dalam arti
    manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan (kebenaran). Di sini
    manusia berfungsi subyek yang mencari kebenaran. Manusia
    sebagai khalifah Allah berikhtiar untuk memperoleh pengetahuan
    sekaligus memberi interpretasinya.
    Menurut Chouwdhury sumber utama dan permulaan dari
    segala ilmu pengetahuan (primordial stock of knowledge) adalah al-
    Qur’an, sebab ia merupakan alam Allah. Pengetahuan yang ada
    dalam al-Qur’an memiliki kebenaran mutlak (absolute), telah
    mencakup segala kehidupan secara komprehensif (complete) dan
    karenanya tidak dapat dikurangi dan ditambah (irreducible). Akan
    tetapi, al-Qur’an pada dasarnya tidak mengetahui pengetahuan yang
    praktis, tetapi lebih pada prinsip-prinsip umum. Ayat-ayat al-Qur’an
    diimplementasikan dalam perilaku nyata oleh Rasulullah, karena itu
    al-Sunnah juga adalah sumber ilmu pengetahuan berikutnya. Al-
    Qur’an dan Sunnah kemudian dapat dielaborasi dalam hukumhukum
    dengan menggunakan metode epistemological deduction,
    yaitu menarik prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam kedua
    sumber tersebut untuk diterapkan dalam realitas individu
    (Muhammad, 2005: 5).
    Selanjutnya dalam epistemology hukum ekonomi Islam
    diperlukan ijtihad dengan menggunakan rasio/akal. Ijtihad terbagi
    kepada dua macam, yaitu ijtihad istinbathi dan ijtihad tathbiqi.
    Ijtihad istinbathi bersifat deduksi, sedangkan ijtihad tathbiqi bersifat
    induksi. Dari segi kuantitas orang yang berijtihad, ijtihad dibagi
    kepada dua, yaitu ijtihad fardi (individu) dan ijtihad jama’iy
    (kumpulan orang banyak). Ijtihad yang dilakukan secara bersama
    disebut ijma’ dan dianggap memiliki tingkat kebenaran ijtihad yang
    paling tinggi.
    Dalam membicarakan epistemologi hukum ekonomi Islam,
    digunakan metode deduksi dan induksi. Ijtihad tahbiqi yang banyak
    mengunakan induksi akan menghasilkan kesimpulan yang lebih
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    140
    operasional, sebab ia didasarkan pada kenyataan empiris.
    Selanjutnya, dari keseluruhan proses ini –yaitu kombinasi dari
    elaborasi kebenaran wahyu Allah dan As Sunnah dengan pemikiran
    dan penemuan manusia yang dihasilkan dalam ijtihad akan
    menghasilkan hukum dalam berbagai bidang kehidupan. Jika
    diperhatikan, maka sesungguhnya Shuratic proses ini merupakan
    suatu metode untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang memiliki
    akar kebenaran empiris (truth based on empirical process).
    Selanjutnya, dari sudut pandang epistemologi dapat
    diketahui bahwa ilmu ekonomi diperoleh melalui pengamatan
    (empirisme) terhadap gejala sosial masyarakat dalam memenuhi
    kebutuhan hidupnya. Pengamatan yang dilakukan kemudian
    digeneralisasi melalui premis-premis khusus untuk mengambil
    kesimpulan yang bersifat umum. Pada tahap ini, ilmu ekonomi
    menggunakan penalaran yang bersifat kuantitatif . Perubahan dan
    keajegan yang diamati dalam sistem produksi dan distribusi barang
    dan jasa kemudian dijadikan sebagai teori-teori umum yang dapat
    menjawab berbagai masalah ekonomi. Sebagai sebuah contoh dapat
    dilihat dari teori permintaan (demand) dalam ilmu ekonomi yang
    berbunyi “apabila permintaan terhadap sebuah barang naik, maka
    harga barang tersebut secara otomatis akan menjadi naik” . Teori
    tersebut diperoleh dari pengalaman dan fakta di lapangan yang
    diteliti secara konsisten oleh para ahli ekonomi. Berdasarkan cara
    kerja yang demikian, penemuan teori-teori ilmu ekonomi
    dikelompokkan ke dalam context of discovery (Naqvi, tt: 48-56).
    Berbeda dengan hal itu, fiqh mu’amalat diperoleh melalui
    penelusuran langsung terhadap al-Qur’an dan Hadits oleh para
    fuqaha. Melalui kaedah-kaedah ushuliyah, mereka merumuskan
    beberapa aturan yang harus dipraktekkan dalam kehidupan ekonomi
    umat. Rumusan-rumusan tersebut didapatkan dari hasil pemikiran
    (rasionalisme) melalui logika deduktif. Premis mayor yang
    disebutkan dalam wahyu selanjutnya dijabarkan melalui premispremis
    minor untuk mendapatkan kesimpulan yang baik dan benar.
    Dengan demikian, fiqh mu’amalat menggunakan penalaran yang
    bersifat kualitatif .
    Salah satu contoh yang dapat dikemukakan dalam kasus ini
    adalah kaedah ushuliyah yang berbunyi “al-ashlu fî al-asyyai alibâhah
    illa dalla dalîlu ‘alâ tahrîmihi (asal dari segala sesuatu
    Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Agus Arwani)
    141
    adalah dibolehkan kecuali datang sebuah dalil yang
    mengharamkannya). Jika diterapkan dalam ilmu ekonomi, maka
    seluruh transaksi bisnis pada dasarnya diperbolehkan jika tidak ada
    nash yang mengharamkannya. Pelarangan terhadap praktek bunga
    dan riba dalam perbankan konvensional hanya disebabkan adanya
    beberapa nash yang mengharamkannya (misalnya lihat QS al-
    Baqarah:275). Cara kerja seperti ini dalam filsafat ilmu dikenal
    dengan context of justification.
    Munculnya problem epistemologis sebagaimana disebutkan
    di atas bersumber dari paradigma metodologis yang disusun oleh
    para ulama mutaqaddimin. Bagi para ulama mutaqaddimin,
    misalnya, penyelidikan terhadap hukum didasarkan atas prinsip
    tab’iyyah al-aql li an-naql . Ini berarti bahwa analisis hukum adalah
    naqli atau analisis teks sesuai dengan anggapan tidak ada hukum di
    luar teks-teks naqliyah. Sementara itu, mereka tidak pernah
    mengembangkan suatu metode analisis sosial dan historis yang
    terartikulasi dengan baik, meskipun al-Ghazali telah membuat suatu
    paradigma pemaduan wahyu dan ra’yu dengan mengembangkan
    teori mashlahat dengan dasar logika induksi yang sesungguhnya
    memberi peluang bagi pengembangan analisis sosial. Dalam
    prakteknya, al-Ghazali kemudian al-Syatibi sebagai dua tokoh
    mashlahat dalam hukum Islam akhirnya jatuh juga dalam analisis
    tekstual seperti ulama-ulama lainnya.
    Analisis tekstual tersebut berkembang di kalangan ulama
    fuqaha secara konsisten dengan metodologi deduksi sebagai pilar
    utamanya. Padahal, prasyarat perkembangan sebuah ilmu
    pengetahuan adalah dengan menggabungkan metode deduksi dan
    induksi secara bersamaan. Sejarah perkembangan hukum Islam,
    metode induksi-deduksi juga dilakukan oleh Imam Syafi’i ketika dia
    melontarkan ijtihad baru berupa qaul jadîd untuk menggantikan qaul
    qadîm-nya. Perubahan fatwa Imam Syafi’i itu lebih didasarkan atas
    perbedaan lingkungan geografis kota Basrah dan kota Mesir.
    Perbedaan lingkungan geografis itu kemudian disesuaikan dengan
    kaedah deduktif dalam ilmu ushul fiqh yang berbunyi “taghayyar alahkâm
    bi al-taghyar al-azminah wa al-amkinah”. Perbedaan antara
    ilmu ekonomi dan fiqh mu’amalat dapat ditelurusi lebih dalam dari
    aspek aksiologisnya. Ilmu ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk
    membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    142
    Sedangkan fiqh mu’amalat berfungsi untuk mengatur hukum
    kontrak (‘aqad) baik yang bersifat sosial maupun komersil .
    Secara pragmatis dapat disebutkan bahwa ilmu ekonomi
    lebih berorientasi materialis, sementara fiqh mu’amalat lebih
    terfokus pada hal-hal yang bersifat normatif. Atau dengan kata lain,
    ilmu ekonomi mempelajari teknik dan metode, sedangkan fiqh
    mu’amalat menentukan status hukum boleh tidaknya sebuah
    transaksi bisnis.
    Di samping problem epistemologis dalam filsafat ilmu yang
    disebutkan di atas, ilmu ekonomi Islam juga mendapat tantangan
    yang cukup berat dari ilmu ekonomi konvensional. Hal ini terjadi
    mengingat ilmu ekonomi yang berkembang di dunia Barat dilandasi
    dengan kebebasan individu dalam melakukan kontrak dengan syarat
    tidak merugikan satu sama lain. Konsep-konsep ekonomi
    konvensional versi Barat perlu diredefinisi agar dapat disesuaikan
    dengan kebutuhan syari’at Islam . Di antara konsep-konsep tersebut
    antara lain:
  10. Konsep harta
    Masalah yang timbul dalam konsep harta adalah bahwa
    ilmu ekonomi konvensional tidak mengenal adanya nilai dalam
    pemilikan harta. Sejauh dapat menimbulkan nilai ekonomis, segala
    sesuatu dapat diakui sebagai harta. Tidak heran bila barang-barang
    haram seperti minuman keras dan daging babi termasuk properti
    yang sah untuk dijadikan sebagai salah satu komoditi bisnis.
  11. Konsep Uang
    Pembahasan dalam fiqh mu’amalat mengasumsikan bahwa
    uang yang digunakan masyarakat adalah uang riil (real money) yaitu
    emas dan perak. Padahal sejak jaman penjajahan, uang emas dan
    perak tidak lagi digunakan sebagai alat tukar. Sebagai gantinya uang
    kertas menjadi alat tukar yang berlaku di tengah masyarakat. Para
    ulama berbeda pendapat tentang hukum uang kertas ini. Ada yang
    menganggap bahwa uang kertas tidak diterima dalam syariah karena
    bukan harta riil dan ada pula yang dapat menerimanya.
    Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Agus Arwani)
    143
  12. Konsep Bunga dan Riba
    Dalam ilmu ekonomi, bunga merupakan asumsi yang tidak
    lagi menjadi bahan perdebatan meskipun sampai saat ini para
    ekonom masih sulit mencari justifikasi terhadapnya. Dalam ilmu
    fiqh mu’amalat istilah ini tidak dikenal meskipun pembahasan
    tentang hukum riba boleh dikatakan telah selesai dan para ulama
    sepakat mengharamkannya . Dengan konsep uang kertas (abstract
    money), konsep bunga dan riba menjadi pembahasan yang
    bekelanjutan.
  13. Konsep Time Value of Money
    Sebagian besar teori tentang menajemen keuangan
    dibangun berdasarkan konsep nilai dan waktu dari uang yang
    mengasumsikan bahwa nilai uang sekarang relatif lebih besar
    ketimbang di masa yang akan datang. Sedangkan di sisi lain, tidak
    didapati penjelasannya dalam fiqh mu’amalat meskipun perdebatan
    tentangn jual beli tangguh (ba’i mu’ajjal) termasuk diskusi yang
    tidak sedikit di antara para ulama.
  14. Konsep Modal
    Modal dalam pengertian ilmu ekonomi adalah segala
    benda, baik yang fisik maupun yang abstrak, yang memiliki nilai
    ekonomis dan produktif. Termasuk dalam pengertian ini adalah uang
    dan intellectual property right. Dalam fiqh mu’amalat klasik,
    pengertian modal terbatas pada benda fisik. Uang hanya dapat
    berperan sebagai alat tukar. Apabila ia ingin menjadi modal yang
    digunakan untuk memperoleh keuntungan ia harus terlebih dahulu
    diubah ke dalam bentuk fisik.
    6.Konsep Lembaga
    Ilmu ekonomi tidak mempersoalkan adanya individual
    entity atau abstract entity. Berbeda halnya dengan fiqh mu’amalat
    yang objeknya kepada mukallaf secara individual. Hal ini akan
    membawa dampak bagi analisa tentang kepemilikan dan
    hubungannnya dengan kepemilikan .
    Problem epistemologis ilmu ekonomi Islam dan tantangan
    yang diberikan oleh ilmu ekonomi konvensional yang disebutkan di
    atas dapat berimplikasi, baik secara langsung maupun tidak
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    144
    langsung, kepada out put yang dihasilkan. Fiqh mu’amalat yang
    diajarkan di ekonomi Islam tidak mampu untuk menghasilkan para
    sarjana muslim yang diterima oleh dunia kerja. Alasannya adalah
    bahwa skill dan penguasaan terhadap ekonomi real lebih dibutuhkan
    sektor industri dan dunia kerja dibandingkan dengan keahlian dalam
    masalah istimbath al-ahkam.
    Di samping itu, masih sulit dibayangkan alumni jurusan
    fiqh mu’amalat mampu memimpin sebuah lembaga keuangan
    syari’ah seperti bank, asuransi, pasar modal, bahkan lembaga zakat
    dan wakaf. Demikian juga dunia perbankan, asuransi, dan pasal
    modal. Sektor ini lebih membutuhkan sarjana-sarjana yang
    menguasai ilmu-ilmu praktis seperti akuntansi, statistika, dan
    matematika ekonomi. Penguasaan terhadap ilmu-ilmu praktis
    menjadi hal yang sangat esensial mengingat modal yang diputarkan
    dalam bidang tersebut hanya dapat dikalkulasikan dengan ilmu-ilmu
    tersebut. Perusahaan-perusahaan komersil tentu tidak mau rugi
    hanya dikarenakan miss management yang seharusnya tidak terjadi
    bila mereka mempekerjakan orang-orang yang menguasai bidang
    tersebut secara baik.
    KESIMPULAN
    Hukum Ekonomi Islam (mu’amalah) merupakan ilmu yang
    mempelajari segala prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan
    hidupnya dengan tujuan memperoleh kedamaian dan kesejahteraan
    dunia akhirat. Perilaku manusia di sini berkaitan dengan landasanlandasan
    syariah sebagai rujukan berprilaku dan kecenderungankecenderungan
    dari fitrah manusia. Kedua hal tersebut berinteraksi
    dengan porsinya masing-masing sehingga terbentuk sebuah
    mekanisme ekonomi (muamalah) yang khas dengan dasar-dasar nilai
    ilahiyah. Filsafat hukum fiqh mu’amalah atau falsafah al-tasyrî’ fî al
    mu’âmalat istilah sesuatu yang berkaitan dengan hukum Islam
    meliputi tujuan hukum (maqâshid), prinsip hukum (mabâdi’ atau
    mâhiyat), asas hukum atau usus al-hukm, kaidah hukum, dan
    wasatiyyat wal harakiyah fî alhukm.
    Kesempurnaan Islam ini tidak saja disebutkan dalam al-
    Qur’an, namun juga dapat dirasakan baik itu oleh para ulama dan
    intelektual muslim sampai kepada non muslim. Seorang orientalis
    paling terkemuka bernama H.A.R Gibb mengatakan, “Islam is
    Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Agus Arwani)
    145
    much more than a system of theologi its a complete civilization”
    (Islam bukan sekedar sistem theologi, tetapi merupakan suatu
    peradaban yang lengkap).
    Nilai-nilai dasar ini akan membangun kerangka sosial, legal
    dan tingkah laku dari sistem dalam mencapai tujuan atau hasil
    tertentu yang memiliki nilai yang diprioritaskan serta menjadi
    lifestyle yang khas yang bertentangan dengan kapitalis dan sosialis
    yang memandang ekonomi dari sudut keduniaan atau yang bersifat
    materi dari kehidupan manusia baik yang menyangkut dasar maupun
    kebutuhan yang lain.
    DAFTAR PUSTAKA
    Athabik, Ali. Kamus Al’ashr, Yogyakarta: Multi Kaya Grafika.
    1996.
    Bakhtiyar, Amsal. Filsafat ilmu, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2008.
    Hakim, Atang Abd, Fiqh Perbankan Syari’ah, Bandung; Refika
    Aditama, 2011.
    Huda, Nurul dkk. Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoretis,
    Jakarta: Kencana. 2007.
    Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT raja Grafindo
    Persada, 2007.
    Karim. Adiwarman Azwar, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi
    Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada, 2002.
    Muhammad, Ekonomi Mikro (Dalam Persfektif Islam), Yogyakarta:
    BPFE, 2005.
    Naqvi, Syed Nawab Haider. Ethics and Economics an Islamic
    Synthesis, The Islamic Foundation, London
    Permono, Sjaichul Hadi, Formula Zakat, Menuju Kesejahteraan
    Sosial. Surabaya: Aulia, 2008.
    Qardhawi, M. Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam., Jakarta:
    Gema Insani Press, 1987.
    Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Rajawali
    Press, 1992.
    Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 1, Jakarta: Kencana.
    http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_syariah
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    146
    http://shariaeconomics.wordpress.com/2012/10/04/58/ Agustianto,
  15. Filsafat Ekonomi Islam … Diakses 11.20. Kamis 4
    Oktober 2012
    View publication stats

3 ARTIKEL TENTANG EKONOMI SYARIAH

77| Mazahib Vol XII Nomor 2 Desember 2013
EKONOMI ISLAM DAN POLITIK HUKUM DI INDONESIA
Dr. Bambang Iswanto, MH1
Abstract
This paper will elaborate on the history of modern Islamic economic and political relationship with the law in an attempt to formulate a variety of Islamic economics Law. This article also describes the position of Islamic economic in the Indonesian legal system so that it will be obtained a description of how an implementation of Islamic economic in the Indonesian economy. This picture is quite important to know to look atbase for development of Islamic economic laws existing in the two periods, the New Order and Reform Era.
Keyword: Ekonomi Islam, Politik Hukum, dan Tata Hukum
A. Pendahuluan
Sejarah perkembangan ekonomi Islam2 modern dimulai sekitar tahun 1970-an ketika munculnya kesadaran akan sebuah sistem ekonomi yang lebih berpihak kepada negara-negara muslim yang dianggap tertinggal dibandingkan dengan negara-negara Barat. Ide ini dicetuskan oleh beberapa pakar ekonomi muslim yang sebagian besar mereka mendapatkan pendidikan di Barat. Demikianpun, pada sekitar tahun 1940-an, ide ekonomi Islam telah memiliki akar yang cukup kuat ketika dicetuskannya beberapa lembaga keuangan non bank seperti di Malaysia dan Pakistan.
Ekonomi Islam mendapatkan momentum ketika didirikannya Islamic Development Bank (IDB) pada tahun 1976 di Jeddah. IDB didirikan setelah sebelumnya terjadi berbagai pertemuan penting negara-negara OKI yang merumuskan perlunya sebuah alternatif sistem ekonomi baru bagi negara-negara anggota yang diawali dengan pendirian lembaga-lembaga keuangan dengan prinsip Islam.
Perkembangan ekonomi Islam dalam bentuk pendirian lembaga keuangan ini ternyata diminati banyak kalangan dan negara-negara di dunia. Beberapa negara non Islam bahkan turut serta mengadopsi model keuangan Islam seperti Amerika Serikat, Inggeris, Jerman, dll. Minat yang besar terhadap lembaga
1Bambang Iswanto adalah Dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Samarinda
2Para pakar ekonomi Islam memberikan definisi ekonomi Islam yang berbeda-beda, akan tetapi semuanya bermuara pada pengertian yang relatif sama. Menurut M. Abdul Mannan, ekonomi Islam adalah“sosial science which studies the economics problems of people imbued with the values of Islam”. Menurut Khursid Ahmad, ekonomi Islam adalah a systematic effort to try to understand the economic problem and man’s behavior in relation to that problem from an Islamic perspective. Sedangkan menurut Muhammad Nejatullah Siddiqi, ekonomi Islam adalah “the muslim thinkers’ response to the economic challenges of their times. This response is naturally inspired by the teachings of Qur’an and Sunnah as well as rooted in them.” Dari berbagai definisi tersebut, dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam adalah suatu ilmu pengetahuan yang berupaya untuk memandang, meninjau, meneliti, dan akhirnya menyelesaikan permasalahan-permasalahan ekonomi dengan cara-cara yang Islami (berdasarkan ajaran-ajaran agama Islam). Lihat, M. Abdul Mannan, Islamic Economics; Theory and Practice, (Cambridge: Houder and Stoughton Ltd.,1986), 18.
Bambang Iswanto – Ekonomi Islam dan Politik Hukum di Indonesia |78
keuangan Islam ini terutama dipengaruhi oleh daya tahan perbankan Islam terhadap krisis. Sebagaimana dimaklumi bahwa dunia banyak tejerat oleh berbagai krisis keuangan dan perbankan memainkan peran besar dalam penciptaan krisis tersebut seperti yang pernah terjadi pada kasus suprime mortgage.3
Abdullah Saeed menyatakan bahwa setidaknya ada 3 (tiga) faktor utama munculnya bank Islam yaitu: (1) Munculnya kelompok neo-revivalis yang menyatakan bahwa bunga bank adalah riba, (2) Melimpahnya minyak di negara-negara Teluk yang berimplikasi pada peningkatan kemakmuran negara-negara di sekitarnya, dan (3) Adanya adaptasi yang dilakukan oleh beberapa negara terhadap konsep tradisional riba.4
Ide pendirian lembaga keuangan berimplikasi pada model sistem keuangan negara yang menerapkannya. Setidaknya ada 2 (dua) model sistem keuangan negara yang menerapkan ekonomi Islam, yaitu 1. Negara yang sepenuhnya menerapakan sistem keuangan Islam didalamsistem keuangannya seperti Iran, Pakistan dan Sudan, 2. Negara yang menganut sistem keuangan ganda yaitu sistem konvensional dan Islam. Model ini diterapkan di sebagian besar negara saat ini.5
Secara umum tahapan-tahapan evolusi perkembangan industri keuangan syariah di dunia dapat digambarkan sebagai berikut:6

  1. Dekade tahun 1970an: berupa pendirian lembaga perbankan Islam dalam bentuk bank komersial syariah (commercial syariah banks), dalam bentuk produk-produk bank komersial (commercial banking products), dengan cakupan wilayah masih pada kawasan Timur Tengah (Gulf/ME).
  2. Dekade tahun 1980an: berupa pendirian bank komersial syariah dan juga asuransi dan perusahaan investasi syariah commercial islamic banks, takaful – Islamic insurance, syariah investment co’s). sedangkan produknya sudah mencakup pada asuransi, serta sindikasi keuangan Islam. Areanya sudah mencakup Asia Pasifik. 3Henry Poulson, Menteri Keuangan AS. Dalam laporannya sebagai Ketua President’s Working Group(PWG) on Financial Markets (April 2008), Poulson dengan tegas menyatakan bahwa penyebab utama terjadinya krisissubprime mortgagesdi Amerika Serikat adalah:(1)merosotnya mutu/standar penjaminan bagisubprime mortgages; (2) erosi yang signifikan terhadap disiplin pasar yang dilakukan oleh pihak-pihakyangterkait dengan prosessekuritisasi,termasuk originators, underwriters,creditratingagencies,danglobalinvestors;(3)kegagalan dalam menyediakan dan memperoleh informasi risiko (risk disclosures) yang memadai; (4) kelemahan yang mencolok (significant flaws) pada perusahaan pemeringkat kredit,khususnya yang berkaitan dalam penilaian subprime residentialmortgagebacked securities (RMBS), collateralizeddebt obligations (CDOs)yangdikaitkan denganRMBS, assetbacked securities (ABS), dan lainnya; (5) kelemahanmanajemen risiko pada sejumlah institusi keuangan besar di AS dan Eropa; dan (6) kelemahan regulasi termasuk mengenai persyaratan modal dan keterbukaan informasi (disclosure) yang gagal dalammemitigasi kelemahan manajemen risiko.
    4Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: A Study of Prohibition of Riba and Its Contemporary Interpretation (Boston: Brill, 1999), 8.
    5Penjelasan lengkap mengenai sistem keuangan di berbagai negara Islam, lihat, Ausaf Ahmad, Instruments and Regulation and Control of Islamic Banks by The Central Banks (Jeddah: Islamic Development Bank, 2000), 32-35.
    6Penjelasan lengkap mengenai perkembangan industri keuangan syariah, lihat. Ibrahim Warde, Islamic Finance in The Global Economy (Edinburg: Edinburg University Press, 2000), 73.
    79| Mazahib Vol XII Nomor 2 Desember 2013
  3. Dekade tahun 1990an: pendirian lembaga keuangan syariah juga diikuti oleh pendirian berbagai perusahaan asuransi, investasi, dan manajemen aset. Produk-produk yang diluncurkan sudah bertambah seperti adanya reksadana syariah. Cakupannya juga sudah mencapai Eropa dan Amerika.
  4. Dekade tahun 2000-an: ditandai dengan pendirian lembaga keuangan Islam, e-commerce, manajemen likuiditas, broker dan dealer serta instrument pasar modal Islam. Area ini sudah mencakup pasar global.
    Pada waktu Indonesia memasuki abad ke-21, hukum Islam berkembang kepada bidang ekonomi yang ditandainya dengan lahirnya Bank Syariah, Asuransi Takaful, dan Pasar Modal Syariah. Paling akhir Hukum Islam sampai kepada Hukum Tata Negara dan Hukum Pidana dengan lahirnya Otonomi Daerah Aceh yang berdasarkan Syariat Islam dan berlakunya hukum cambuk di daerah tersebut. Semua sistem hukum tersebut di atas berlaku dan eksestensinya berjalan di Indonesia, menjadi bagian dari hukum nasional Indonesia. Hukum Ekonomi Islam yang merupakan bagian dari Hukum Islam adalah juga hukum nasional Indonesia, berdampingan dengan sistem hukum lainnya.7
    Terkait dengan model ekonomi Islam yang dianut oleh Indonesia, maka model keuangan ganda adalah pilihan dari pemerintah Indonesia. Dengan demikian, Indonesia sama halnya juga dengan mayoritas negara lainnya memperlakukan secara bertahap (gradual). Ini artinya berbagai peraturan dan produk hukum ekonomi Islam akan terus berkembang di Indonesia sesuai dengan kebutuhan atau desakan dari para pemangku kepentingan ekonomi Islam di Indonesia.8
    Secara kelembagaan sistem keuangan syariah yang diterapkan di Indonesia meliputi lembaga keuangan bank dan non bank. Kedua sistem lembaga ini sama-sama memainkan peran penting dalam percaturan ekonomi syariah di Indonesia. Keduanya juga memiliki ruang lingkup yang berbeda. Kendati berbeda, namun peran keduanya sangat menentukan dalam mencapai tujuan ekonomi syariah secara khusus dan ekonomi nasional secara umum.9
    Perkembangan ekonomi Islam yang begitu pesat menuntut kebutuhan terhadap instrumen hukum yang mendukung. Dari sinilah muncul istiah hukum
    7Suatu contoh yang menarik adalah mengenai akad gadai. Dalam pengantar akad gadai biasanya dikutip Q.S. al-Baqarah (2) ayat 283, namun pasal-pasal berikutnya mengambil ketentuan dari Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yang notabene berasal dari Code Napoleon (Civil Law), mengenai Hak Tanggungan, mengenai penjualan benda jaminan sampai dengan ganti rugi dan biaya.
    8Mehmet Asutay menyatakan bahwa perkembangan lembaga keuangan Islam begitu gencar terkadang mengabaikan aspek-aspek ekonomi Islam yang lain. Hal ini cukup membahayakan jika tidak segera diatasi karena tanpa membangun norma-norma etika moral yang kuat di dalam sistem keuangan Islam, maka juga akan menyulitkan perkembangan sistem keuangan Islam yang diharapkan. Lihat, Mehmet Asutay, “A Political Economy Approach to Islamic Economics:Systemic Understanding for an Alternative Economic System”, dalam, Kyoto Bulletin of Islamic Area Studies, 1-2(200): 3-18.
    9Sejak tahun 1970, lebih dari 200 lembaga keuangan tumbuh dan berkembang di dunia baik di negara muslim maupun non muslim. Perkembangan yang pesat ini dikarenakan inklusifitas keuangan Islam yang mengakomodir beragai kalangan. Lihat, M. Kabir Hasan and Mervyn K. Lewis, Handbook of Islamic Banking (UK: Edward Elgar Publishing Limited, 2007), 1-4.
    Bambang Iswanto – Ekonomi Islam dan Politik Hukum di Indonesia |80
    ekonomi Islam.10 Dalam kaitan dengan ekonomi Islam, maka hukum ekonomi Islam pada satu sisi memiliki corak yang sama dengan hukum bisnis atau hukum dagang, namun pada sisi lain, akibat prinsip ekonomi Islam yang didasarkan pada sumber-sumber dari al-Quran dan hadis, maka hukum ekonomi Islam juga memiliki corak yang menunjukkan nilai-nilai-nilai Islam terhadapnya.
    Hukum ekonomi Islam juga tidak dapat dipisahkan dari hukum Islam itu sendiri. Artinya, hukum ekonomi Islam adalah satu bagian dari hukum Islam secara keseluruhan. Dengan demikian, maka membincangkan hukum ekonomi Islam menuntut adanya perhatian yang sama terhadap keberadaan hukum Islam itu sendiri.
    Hukum ekonomi Islam biasanya lebih dikenal dengan sebutan fikih muamalah. Dalam implementasinya, prinsip fikih muamalah memiliki perbedaan dengan prinsip dalam fikih ibadah. Dalam penerapan muamalah, maka prinsip yang dipakai adalah bahwa semua praktik ekonomi / muamalah itu diperbolehkan kecuali ada dalil yang melarangnya. Ini berbeda dengan kaidah dalam fikih ibadah yaitu semua ibadah adalah haram dilakukan kecuali ada yang membolehkannya.11Kebolehan dalam fikih muamalah ini memberikan keluwesan penuh kepada manusia untuk mengimpelementasikan fikih muamalah ke dalam kehidupan ekonomi yang mereka lakukan. Dalam konteks modern, maka keluwesan ini juga menjadikan fikih muamalah selalu adaptif dalam menyikapi perubahan tempat dan waktu terkait dengan aktivitas ekonomi manusia.
    Ekonomi Islam memiliki keterkaitan langsung dengan politik suatu negara. Artinya, kendati setiap pemerintah (negara-negara anggota OKI khususnya) menjadikan ekonomi Islam sebagai dasar perumusan kebijakan perekonomian mereka, maka perkembangan ekonomi Islam belum akan bisa menyaingi ekonomi konvensional. Dengan kata lain, perlu didorong keberpihakan kekuasaan terhadap pengembangan ekonomi Islam secara keseluruhan, sehingga dominasi ekonomi ribawi dapat diminimalisasi.12
    Dengan demikian, keputusan politiknegara memiliki pengaruh yang sangat kuat terhadap kondisi perekonomian.13 Wajah dan kinerja ekonomi sebuah
    10Secara umum, hukum ekonomi adalah saduran dari bahasa Inggris Economic Law, yang biasanya sering dipertukarkan dengan Hukum Bisnis (Business Law) atau Hukum Dagang (Commercial Law). Kamus Webster menyebutkan bahwa ketika istilah Hukum Ekonomi bisa mencakup 3 (tiga) pengertian yaitu, 1. Sistem hukum yang mengatur tentang aktifitas-aktifitas ekonomi, 2. Hukum bisnis dan 3. Hukum-hukum ekonomi. Lihat, http://www.websters-online-dictionary.org/definition/economic+law diakses tanggal 1 Desember 2012.
    11Muh{ammad ‘Usma>n Tsabi>r, al-Mu’a>mala>t al-Ma>liyah al-Mu’a>shirah fi> al-Fiqh al-Isla>miy (Yordan: Dar al-Nafais, 2008), 18.
    12Zubair Hasan, http://ideas.repec.org/e/c/pha42.html diakses 2 Maret 2013
    13Pada dasarnya politik dan ekonomi dapat dibedakan dari 3 (tiga) hal yaitu: tujuan utama yang ingin dicapai, area institusi di mana tujuan itu akan dicapai serta para pelaku yang melakukan pilihan terhadap tujuan-tujuan tersebut. Terkait tujuan, maka ekonomi bertujuan untuk mencapai efisiensi, pertumbuhan dan stabilitas sedangkan politik bertujuan mencapai kebebasan pribadi, kesamaan dalam perolehan hak dan keteraturan kehidupan sosial. Terkait dengan arena pencapaian tujuan, maka ekonomi terkait dengan aktifitas di pasar sedangkan politik merupakan aktivitas yang berhubungan dengan pemerintahan. Terkait dengan pelaku, maka ekonomi biasanya terkait dengan individu yang berprilaku secara otonom sedangkan politik mencerminkan upaya
    81| Mazahib Vol XII Nomor 2 Desember 2013
    negara, sangat ditentukan oleh mekanisme dan proses pengambilan keputusan politik yang berlaku dan disepakati oleh masyarakat di negara tersebut. Hal ini pun sejalan dengan pernyataan mantan Menteri Keuangan Chili, Alejandro Foxley, sebagaimana dinyatakan oleh Stephan Haggard, yang menegaskan bahwa seorang ekonom tidak hanya harus paham mengenai model-model ekonomi, tetapi juga harus memahami politik, minat, konflik-konflik, serta hasrat-hasrat yang berkembang di masyarakat yang merupakan esensi kehidupan. Seorang ekonom harus bisa menjadi seorang politisi dengan membangun koalisi dan bekerja sama dengan orang-orang di sekeliling mereka.14Pemahaman yang baik terhadap proses dan mekanisme politik, sangat menentukan keberhasilan sebuah gagasan ataupun sebuah ideologi ekonomi dalam menciptakan sistem perekonomian yang menjadikan nilai (value) yang dibawa oleh gagasan atau ideologi tersebut sebagai pondasi utamanya.15
    Sebagai contoh, ketika teori pengeluaran agregat menyatakan bahwa variabel-variabel yang mempengaruhi pengeluaran agregat hanya ada empat, yaitu konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, dan net ekspor, dan teori tersebut diadopsi oleh kekuasaan dalam desain kebijakan ekonominya, maka bukan hal yang mudah untuk memasukkan zakat sebagai bagian penting dalam komponen pengeluaran agregat. Zakat bukan dipahami hanya sekedar kedermawanan (charity) yang tidak memiliki implikasi terhadap peningkatan kualitas pertumbuhan ekonomi, kendati faktanya memang hingga sampai saat ini, instrumen zakat terkesan masih dianggap sebagai instrumen kelas dua dalam konteks kebijakan fiskal (fiscal policy).16
    Agar instrumen-instrumen ekonomi syariah dapat dijadikan sebagai bagian penting dari mainstream kebijakan ekonomi nasional, maka perlu ada upaya sistematis dalam menciptakan desain politik ekonomi syariah. Desain ini harus mencakup tiga ranah utama, yaitu ranah regulasi dan aturan hukum, ranah penguatan dan ekspansi kelembagaan, serta ranah internalisasi nilai ekonomi syariah dalam kehidupan negara dan masyarakat.17
  5. Pada ranah yang pertama, yaitu regulasi, maka keberadaan perangkat perundang-undangan beserta aturan-aturan turunannya menjadi sangat krusial untuk diperhatikan. Para pemangku kepentingan (stakeholder) ekonomi syariah harus memikirkan desain regulasi yang dapat meningkatkan akselerasi peran dan pertumbuhan ekonomi syariah.Dari sisi ini, harus diakui bahwa
    seluruh komunitas untuk mencapai tujuan bersama. Penjelasan hal ini, lihat, Barry Clark, Political Economy: A Comparative Approach (London: Praeger, 1998), 3-5.
    14Stephan Haggard and Robert R. Kaufman, The Political Economy of Democratic Transitions (New Jersey: Princeton University Press, 1996), 23
    15Masudul menyebutkan bahwa permasalahan dalam politik ekonomi Islam biasanya terkait dengan regulasi dan deregulasi adalah terkait bagaimana merumuskan sebuah kebijakan yang berwawasan ekonomi global sehingga harus dilakukan analisis komparatif yang tepat. Lihat, Masudul Alam Choudhury, “Regulation in The Islamic Political Economy”, dalam jurnal J.KAU: Islamic Econ, (2000): vol. 12, 29.
    16Lihat, Uzaifah, “Manajemen Zakat Pasca Kebijakan Pemerintah Tentang Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak,” dalam Jurnal Ekonomi Islam LaRiba, Vol IV, (2010) : 64
    17Lihat, Maha-Hanaan Balala, Islamic Finance and Law: Theory and Practice in a Globalized World (London: I.B Tauris, 2011), 161-162.
    Bambang Iswanto – Ekonomi Islam dan Politik Hukum di Indonesia |82
    ekonomi syariah masih jauh tertinggal. Jumlah UU-nya baru ada empat, yaitu UU No. 41/2004 tentang Wakaf, UU No. 19/2008 tentang SBSN, UU No. 21/2008 tentang Perbankan Syariah, dan UU No. 23/2011 tentang Pengelolaan Zakat. Belum lagi jika dibandingkan dengan perangkat peraturan di bawahnya, akan jauh lebih tertinggal. Oleh karena itu, advokasi kebijakan publik berkelanjutan menjadi sebuah kebutuhan yang sangat mendesak.
  6. Ranah kedua adalah ekspansi kelembagaan yang menitikberatkan pada upaya untuk meningkatkan ukuran industri ekonomi syariah yaitu bagaimana menjadikan pangsa pasar (market share) perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal syariah, BMT, lembaga keuangan mikro syariah, bisa meningkat dari waktu ke waktu atau bagaimana meningkatkan angka penghimpunan dan pendayagunaan zakat, serta menciptakan sistem pendidikan ekonomi syariah yang terintegrasi dengan baik ke dalam sistem pendidikan nasional. Tentu saja, ekspansi ini akan dapat dipercepat jika pada ranah pertama, ada dukungan regulasi yang kongkret terhadap pengembangan institusi ekonomi syariah.
  7. Ranah ketiga, internalisasi nilai-nilai ekonomi syariah kepada seluruh komponen bangsa, merupakan hal yang sangat penting dalam menciptakan cara pandang tentang bagaimana berekonomi dan berbisnis yang sesuai dengan tuntunan syariah. Penanaman nilai-nilai ekonomi syariah ini akan mempengaruhi perilaku para economic agent. Misalnya, ketika seseorang mengetahui bahwa kejujuran memiliki implikasi nilai ibadah kepada Allah, termasuk implikasi pada diterima tidaknya zakat, infak dan sedekah seseorang di hadapan Allah, maka perilaku khianat, korupsi, serta suka mengurangi takaran dan timbangan, tidak akan ia lakukan.
    Penanaman nilai-nilai atau proses ideologisasi ini dapat dilakukan melalui tiga pendekatan. Pertama, aplikasi nilai Islam dalam kegiatan ekonomi dan bisnis, seperti mempraktikkan prinsip kerja sama antar pebisnis dan lembaga ekonomi syariah. Kedua, edukasi publik melalui kampanye ekonomi syariah yang efektif dan berkesinambungan, termasuk penanaman nilai-nilai ke-ekonomi syariahan sejak dini, dan ketiga, pengembangan kurikulum pendidikan ekonomi syariah pada semua level pendidikan, terutama pendidikan tinggi, baik sarjana maupun pascasarjana.18 Jika pendekatan ini dapat dilakukan dengan baik disertai perhatian yang maksimal pada tiga ranah ekonomi syariah yang teah dijelaskan di atas, maka perkembangan ekonomi syariah di Indonesia akan bisa memberikan kontribusi yang positif bagi pembangunan bangsa Indonesia.
    B. Hukum Ekonomi Islam dalam Tata Hukum Indonesia
    Sebelum dijelaskan tentang hukum ekonomi Islam dalam tata hukum Indonesia, maka perlu dikaji terlebih dahulu mengenai tata hukum yang ada di Indonesia. Dari perspektif sistem hukum nasional, bentuk negara kesatuan RI bukan sekedar fenomena yuridis-konstitusional, tetapi merupakan suatu yang
    18Munculnya ekonomi Islam di dunia tidak hanya menunjukkan bahwa agama bisa memberi dampak terhadap kehidupan ekonomi namun juga bisa mendorong kerjasama antar perabadan. Lihat, Jane Erick Lane dan Hamadi Redissi, Religion anad Politics: Islam and Muslim Civilization (Burlington: Ashgate Publishing Company, 2009), 124.
    83| Mazahib Vol XII Nomor 2 Desember 2013
    oleh Friedman disebut sebagai “people attitudes” yang mengandung hal-hal seperti di atas yakni:keyakinan (beliefs), nilai (values), ide-ide (ideas), dan harapan (expectations).19 Paham negara kesatuan bagi bangsa Indonesia adalah suatu keyakinan, suatu nilai, suatu cita dan harapan-harapan. Dengan unsur-unsur tersebut, paham negara kesatuan bagi rakyat Indonesia mempunyai makna ideologis bahkan filosofis, bukan sekedar yuridis-formal. Dengan perkataan lain, sistem hukum nasional merupakan pengejawantahan unsur budaya20 yang terintegrasi dengan baik dan dilandasai semangat kebangsaan.
    Di dunia, setidaknya terdapat beberapa sistem hukum yaitu: Hukum Islam (Islamic Law), Civil Law, Common Law, Adatrech, Socialist Law, Sub-Sahara African Law dan Far East Law.21Sistem hukum Indonesia mengikuti tradisi Civil Lawyang ciri utamanya adalah peraturan perundang-undangan yang terkodifikasi. Sementara itu hukum Islam walaupun mempunyai sumber-sumber tertulis pada al-Qur’an, Sunnah dan pendapat para fuqaha (doktrin fikih)22 pada umumnya tidak terkodifikasi dalam bentuk buku perundang-undangan yang mudah dirujuk. Oleh karena itu, hukum Islam di Indonesia seperti halnya juga hukum adat, sering dipandang sebagai hukum tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan.23Dengan demikian, sistem hukum di Indonesia menganut beberapa sistem hukum, yaitu:
  8. Hukum Adat yaitu norma-norma yang hidup dimasyarakat dan mempunyai sanksi kalau tidak diikuti, adalah hukum asli Indonesia.
  9. Hukum Islam yang datang dibawa pedagang-pedagang yang mengembangkan agama Islam, sumber hukumnya Qur’an dan Hadis, serta Ijtihad. Daerah-daerah yang kuat Islamnya dan umat Islam pada umumnya di Indonesia tunduk pada Hukum Islam. Hukum Islam pada mulanya hanya berkembang pada Hukum Keluarga seperti perkawinan, perceraian dan warisan.
  10. Hukum Civil Law yang berasal dari Code Napoleon Perancis menyebar sampai Belanda, dan dari Belanda mengalir ke Indonesia yang pada mulanya berlaku untuk orang Eropa di Hindia Belanda. Sistem hukum ini menganggap bahwa hukum itu adalah peraturan perundang-undangan. Pada tahun 1970-an masuk pula ke Indonesia unsur-unsur Sistem Hukum Common Law. Pengaruh Common Law ini ada pada Undang-undang Perseroan Terbatas, Undang-
    19Suhartono, “Menggagas Legislasi Hukum Ekonomi Syariah ke Ranah Sistem Hukum Nasional: Suatu Kajian Dalam Perspektif Politik Hukum,” dalam http://www.badilag.net diakses tanggal 20 November 2012.
    20Bagir Manan, “Pengembangan Sistem Hukum Nasional dalam Rangka Memantapkan Negara Kesatuan Republik Indonesia Sebagai Negara Hukum”, dalam Jurnal Mimbar Hukum, No. 56 Tahun XIII, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, Jakarta, 2002, 8
    21Hasbi Hasan, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam Kontemporer (Depok: Gratama Publishing, 2011), 187-188.
    22Bagi masyarakat Indonesia, fikih memang sering dipahami sebagai hukum yang sepenuhnya baku bahkan diasumsikan sama kuat dan sakralnya dengan nash yang terdapat dalam al-Qur’an. Kondisi ini dapat dianggap kurang kondusif pada dasarnya fikih adalah hukum yang membutuhkan pembaharuan untuk menyikapi perkembangan masyarakat yang terusberubah dan menghadapi berbagai permasalahan.
    23Rifyal Ka’bah, Kodifikasi Hukum Islam Melalui Perundang-Undangan Negara di Indonesia, Majalah Hukum Suara Uldilag, Vol.II No.5, Jakarta, September 2004, 50.
    Bambang Iswanto – Ekonomi Islam dan Politik Hukum di Indonesia |84
    Undang Lingkungan Hidup, Undang-undang Perlindungan Konsumen dan cara memutus majelis hakim di pengadilan.
    Oleh karena itu, pendekatan yang dapat digunakan sebagai upaya mentransformasikan hukum ekonomi Islam ke dalam hukum nasional adalah meminjam teori hukumnya Hans Kelsen (Stufenbau des Rechts). Menurut teori ini, berlakunya suatu hukum harus dapat dikembalikan kepada hukum yang lebih tinggi kedudukannya yaitu: 24
  11. Ada cita-cita hukum (rechtsidee) yang merupakan norma abstrak.
  12. Ada norma antara (tussen norm, generelle norm, law in books) yang dipakai sebagai perantara untuk mencapai cita-cita.
  13. Ada norma kongkret (concrete norm), sebagai hasil penerapan norma antara atau penegakannya di pengadilan.
    Berkaitan dengan kondisi hukum Indonesia di atas, maka keberadaan hukum ekonomi Islam setidaknya dimulai ketika hukum Islam telah diakui dalam tatanan hukum Indonesia. Pengakuan ini ditunjukkan dengan lahirnya Kompilasi Hukum Islam (KHI) pada tahun 1991.25Meskipun cakupan KHI masih sebatas pada permasalahan hukum keluarga, namun momentum ini setidaknya memberikan pengaruh mendalam bagi lahirnya Kompilasi Hukum Ekonomi Islam yang bisa dijadikan sebagai ikon hukum ekonomi Islam di Indonesia.26
    Hukum ekonomi Islam yang lahir di Indonesia setidaknya diawali dari gerakan ekonomi Islam dunia. Sejumlah ulama dan cendekiawan muslim Indonesia mulai melihat fakta bahwa sistem ekonomi kapitalis dan sosialis tidak bisa diharapkan terlalu banyak, karena telah terbukti dampak buruk dari kedua sistem ekonomi ini. Mereka pun berfikir perlu dikembangkannya sistem ekonomi alternatif dari dua sistem ekonomi tersebut. Setidaknya ada dua upaya yang dilakukan, yaitu :
  14. Mengkombinasikan dua sistem ekonomi tersebut ke dalam sistem ekonomi baru, seperti yang telah dikembangkan oleh China selama dua dekade ini; dan
  15. Memunculkan sistem ekonomi yang benar-benar berbeda dari semangat kedua sistem ekonomi terdahulu.
    Ternyata upaya yang kedua diatas yang menjadi pilihan sebagai pintu masuk bagi sistem ekonomi Islam di Indonesia. Pada mulanya pihak-pihak yang meyakini dan memperjuangkan sistem ekonomi Islam sebagai sistem ekonomi alternatif yang berkeadilan dianggap sebagai bahan cemoohan. Sikap optimis bahwa sistem ekonomi Islam dapat menutupi kelemahan dan kekurangan sistem
    24Taufiq,“Transformasi Hukum Islam ke dalam Legislasi Nasional”, JurnalMimbar Hukum, No. 49 Tahun XI, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, Jakarta, Juli-Agustus 2000, 8.
    25Kompilasi Hukum Islam (KHI) didasarkan pada Inpres No. 1 Tahun 1991. KHI dikeluarkan merespon beberapa kelemahan sumber-sumber rujukan ketika hakim-haim pengadilan Agama menyelesaikan perkara. Sebelum ada KHI rujukan para hakim didasarkan pada berbagai pendapat mazhab yang terkadang sering menimbulkan perspepsi berbeda dan berpotensi menimbulkan ketidakpastian.
    26Penjelasan mengenai proses lahirnya KHI, lihat, Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice in the Indonesian Religious Courts (Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010).
    85| Mazahib Vol XII Nomor 2 Desember 2013
    ekonomi kapitalis atau sosialis/komunis27 dianggap sebagai ide yang berlebihan dan bahkan dianggap sebagai sebuah pernyataan bombastis-idealistis. Kondisi seperti ini merupakan fakta sejarah yang terjadi di negara-negara Islam, tidak terkecuali di Indonesia. Sampai dengan awal tahun 1990-an cemoohan dan pandangan sinis terhadap pihak-pihak yang gigih memperjuangkan sistem ekonomi syariah masih nyaring terdengar, namun pelan-pelan perjuangan untuk pengakuan sistem ekonomi syariah sebagai sistem ekonomi alternatif mulai diterima.
    C. Relevansi PolitikDengan Hukum Ekonomi Islam di Indonesia
    Kaitan hukum dengan politik dalam studi hukum disebut dengan studi politik hukum.28 Dalam politik hukum ada 2 (dua) dimensi yang tak terpisahkan satu dengan lainnya yaitu dimensi filosofis-teoritis dan dimensi normatif-operasional.
    Kelahiran hukum ekonomi Islam, juga didukung oleh kenyataan bahwa Pengadilan Agama yang telah lama diakui eksistensinya di Indonesia, masih belum mempunyai kitab hukum yang dijadikan standarisasi bagi hakim dalam memutus perkara ekonomi selevel KUHPdt. Kondisi ini bisa menyulitkan para hakim dalam memutuskan perkara terkait ekonomi Islam.
    Pada sisi lain, adanya aspirasi umat Islam yang menghendaki pemberlakuan ekonomi syariah sebagai hukum positif juga harus diimplementasikan dalam bentuk politik hukum.29 Politik hukum yang dilakukan
    27Sehubungan dengan banyaknya kritik terhadap ekonomi konvensional kapitalistik, telah muncul berbagai mazhab ekonomi positif kritis, di antaranya: 1. Grant Economics yang menyatakan bahwa perilaku altruistic tidak mesti dianggap sebagai suatu penyimpangan terhadap rasionalitas. Perlu ada integrasi antara self interest dan altruisme. Menyamakan atau menyederhanakan perilaku rasional hanya dengan mementingkan diri sendiri adalah tidak realistik. 2. Ekonomi humanistic yang menekankan perlunya pembentukan asas-asas humanismenya untuk mendorong kesejahteraan manusia dengan mengakui dan mengintegrasikan nilai-nilai kemanusiaan dasar. Mazhab ini tidak menganut utilitarianisme kuno tetapi psikologi humanistic. 3. Ilmu ekonomi sosial yang mencakup usaha untuk revolusi teori ekonomi dipadukan dengan petimbangan-pertimbangan moral. Menurut Amartya Sen (2001), menjauhkan ilmu ekonomi dari etika berati telah mengerdilkan ilmu ekonomi welfare dan juga melemahkan basis deskriptif dan prediktif ilmu ekonomi. Hausaman, salah satu pendukung paham ini, menyatakan bahwa suatu perekonomian yang secara aktif melakukan kritik diri sendiri dengan aspek-aspek moral akan menjadi lebih menarik, lebih bersinar, dan lebih bermanfaat. 4. Ilmu ekonomi institusional yang beranggapan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh berbagai lembaga yang saling berkaitan seperti sosial, ekonomi, politik, dan agama. Lihat, M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami (Yogyakarta: EKONISIA, 2003), 16.
    28Politik Hukum adalah disiplin hukum yang mengkhususkan pada usaha memerankan hukum dalam mencapai tujuan yang dicita-citakan masyarakat tertentu. Lihat, Soedjono Dirdjosisworo. Pengantar Ilmu Hukum (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 1999), 49. Politik hukum juga bisa diartikan sebagai kebijakan negara melalui badan-badan yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakannya. Lihat, M. Hamdan,Politik Hukum Pidana (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), 5-6.
    29Menurut Mahfud MD, politik hukum juga mencakup pengertian tentang bagaimana politik mempengaruhi hukum dengan melihat cara konfigurasi kekuatan yang ada di belakang pembuatan dan penegakan hukum. Lihat, Moh. Mahfud MD, Politik Hukum di Indonesia, (Jakarta:
    Bambang Iswanto – Ekonomi Islam dan Politik Hukum di Indonesia |86
    tersebut diimplementasikan dalam kebijakan politik di Indonesia memberikan dukungan pertama kali dengan legislasi UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang memungkinkan beroperasinya bank dengan sistem bagi hasil (pasal 6). UU ini kemudian dirubah dengan UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang secara eksplisit menyebutkan istilah “bank berdasarkan prinsip syariah”.
    Terbitnya UU No. 10 Tahun 1998 tersebut, menjadi moment penting bagi dimulainya gerakan ekonomi syariah di Indonesia. Setelah itu, gerakan ekonomi syariah terus digaungkan dan diperjuangkan oleh para aktivis ekonomi syariah, baik para ulama, akademisi maupun praktisi tidak kenal lelah. Gerakan ini pun menggelinding bagaikan gerakan bola salju yang semakin membesar yang tidak dapat terbendung lagi. Terus dikawal oleh lembaga-lembaga yang lahir dari gerakan ini, seperti Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI), Masyarakat Ekonomi Syariah (MES), Ikatan Ahli Ekonomi Islam (IAEI), dan sebagainya. Gerakan dan perjuangan ekonomi syariah ini kemudian melahirkan lembaga-lembaga teknis di lingkungan pemerintah, seperti Direktorat Perbankan Syariah di Bank Indonesia, Direktorat Pembiayaan Syariah di Departemen Keuangan, dan berbagai biro di Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM).
    Gerakan ini juga melahirkan sejumlah undang-undang dan peraturan perundangan lainnya, misalnya Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah, Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 Tentang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN), Berbagai Peraturan Bank Indonesia, Peraturan Bapepam, dan peraturan-peraturan lainnya. Di samping itu, gerakan ini juga melahirkan lembaga-lembaga keuangan syariah meliputi: perbankan syariah, asuransi syariah, pegadaian syariah, pembiayaan syariah, pasar modal syariah, bursa komoditi syariah, bisnis syariah, dan sebagainya.
    Lahirnya Undang Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama yang memberikan kewenangan kepada Peradilan Agama dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syariah adalah merupakah langkah politik hukum yang luarbiasa dalam melengkapi kelembagaan “hukum” untuk mewujudkan gerakan ekonomi syariah di Indonesia, sehingga kini gerakan ekonomi syariah riil mendapatkan dukungan dari berbagai pihak.
    Selain peraturan perundang-undangan di atas, maka upaya politik hukum lain yang dilakukan adalah proses legislasi dengan menyusun Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diajukan kepada badan legislatif (DPR). Legislasi ini cukup menarik dan dipandang penting setidaknya disebabkan karena adanya beberapa faktor pendukung antara lain:
  16. Legislasi bisa menjadi unifikasi yang produktif bagi berbagai aliran mazhab
    LP3ES, 1998), 2. Menurut Daniel S. Lev, politik hukum itu merupakan produk interaksi di kalangan elit politik yang berbasis kepada berbagai kelompok dan budaya. Ketika elit politik Islam memiliki daya tawar yang kuat dalam interaksi politik, pengembangan hukum Islam dalam suprastruktur politik pun memiliki peluang yang sangat besar, lihat, Cik Hasan Bisri,“Transformasi Hukum Islam ke dalam Sistem Hukum Nasional” dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 56 Thn XIII, Al-Hikmah, Jakarta, (2002).
    87| Mazahib Vol XII Nomor 2 Desember 2013
    yang digunakan di Indonesia terkait masalah ekonomi.
  17. Subtansi hukum ekonomi Islam yangmapantelah ditunjukkan dengan penggunaan produk fikih dari beberapa imam madzhab di Indonesia.
  18. Produk legislasi adalah produk politik, sehingga untuk berhasil memperjuangkan legislasi hukum Islam harus mendapatkan dukungan suara mayoritas di lembaga pembentuk hukum. Fakta politik juga menunjukkan bahwa meskipun aspirasi politik Islam bukan mayoritas di Indonesia, namun memperhatikan konfigurasi politik dalam dasawarsa terakhir cukup memberi angin segar bagi lahirnya produk-produk hukum nasional yang bernuansa Islami.
    Hukum ekonomi Islam yang diusung ke jalur legislasi diformat dalam bentuk bentuk buku atau kitab undang-undang yang tersusun rapi, praktis dan sistematis. Materinya juga bukan hanya berasal dari satu madzhab fikih saja, melainkan dipilih dan di-tarji<h (menguatkan salah satu dari beberapa pendapat madzhab) dari berbagai pendapat madzhab fikih yang lebih sesuai dengan kondisi dan kemaslahatan yang menghendaki. Hal ini secara otomatis menghilangkan sikapta’as}s}ub(fanatik) madzhab, seperti fikih madzhab Hanafi yang dipakai di kerajaan Turki pada tahun 1876, fikih madzhab Syafi’i yang dipakai di wilayah Mesir dan Suriah serta fikih madzhab Imam Malik yang dipakai di Irak.
    Meskipun demikian, legislasi sebagai produk politik hukum juga memiliki berbagai tantangan, seperti:30
  19. Perbedaan pendapat di kalangan intern umat Islam sendiri yang sebagian menolak gagasan legislasi.
  20. Perbedaan pendapat di kalangan intern Islam mengenai subtansi hukum (ekonomi syariah) yang yang akan diundangkan kemungkinan masih ada ikhtila<f (ada perbedaan pendapat).
  21. Adanya resistensi dari kalangan non muslim yang menganggap legislasi hukum Islam “ekonomi syariah” di Indonesia akan menempatkan mereka (seolah-olah sebagai warga negara kelas dua) dan ini juga dipicu oleh sikap dan pernyataan sebagian gerakan Islam sendiri yang justru kontra produktif bagi perjuangan hukum Islam.
    Secara umum, legislasi hukum ekonomi Islam di Indonesia memiliki beberapa hal positif, yaitu:31
  22. Tingkat prediktibilitas tinggi yaitu adanya gambaran hukum secara pasti sebelum suatu perbuatan itu dilakukan masyarakat, sehingga sudah bisa diprediksi akibat hukumnya.
  23. Perundang-undangan juga memberikan kepastian mengenai nilai yang dipertaruhkan. Sekali suatu peraturan dibuat, maka menjadi pasti pula nilai yang hendak dilindungi oleh peraturan tersebut. Oleh karena itu, orang tidak perlu lagi memperdebatkan apakah nilai itu diterima atau tidak.
    Sedangkan menurut ulama fikih, sisi positif hukum Islam dalam bentuk perundang-undangan antara lain:
    30Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005).
    31Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000), 84.
    Bambang Iswanto – Ekonomi Islam dan Politik Hukum di Indonesia |88
  24. Memudahkan para praktisi hukum untuk merujuk hukum sesuai dengan keinginannya. Kitab-kitab fikih yang tersebar di dunia Islam penuh dengan perbedaan pendapat yang kadang-kadang membingungkan dan menyulitkan. Dengan adanya undang-undang yang mengatur bidang ekonomi syariah, para hakim/praktisi hukum tidak perlu lagi mentarjih berbagai pendapat dalam literatur fikih.
  25. Mengukuhkan fikih Islam dengan mengemukakan pendapat paling kuat. Fikih Islam penuh dengan perbedaan pendapat, bukan saja antar madzhab, tetapi juga perbedaan pendapat antar ulama dalam madzhab yang sama, sehingga sulit untuk menentukan pendapat terkuat dari sekian banyak pendapat dalam satu madzhab. Keadaan seperti ini sangat menyulitkan hakim (apalagi orang awam) untuk memilih hukum yang akan diterapkan, belum lagi meneliti apakah orang yang berperkara tersebut bermadzhab Hanbali atau Syafi’i, sehingga hasil ijtihad Madzhab Hanafi atau Maliki tidak diterapkan kepadanya. Dalam kaitan ini, undang-undang yang sesuai dengan pendapat yang kuat akan lebih praktis dan mudah dirujuk oleh para hakim, apalagi di zaman modern ini para hakim pada umumnya belum memenuhi syarat-syarat mujtahid, sebagaimana yang ditetapkan oleh ulama.
  26. Menghindari sikaptaklid madzhab di kalangan praktisi hukum, yang selama ini menjadi kendala dalam lembaga-lembaga hukum.
  27. Menciptakan unifikasi hukum bagi lembaga-lembaga peradilan. Apabila hukum dalam suatu negara tidak hanya satu, maka akan muncul perbedaan keputusan antara satu peradilan dengan peradilan lainnya. Hal ini bukan saja membingungkan umat, tetapi juga menganggu stabilitas keputusan yang saling bertentangan antara satu pengadilan dengan pengadilan lain.
    Kendati memiliki nilai positif perlu juga diperhatikan beberapa hal negatif yang bisa saja muncul dari sebuah proses legislasi seperti:32
  28. Munculnya kekakuan hukum, sedangkan manusia dengan segala persoalan kehidupannya senantiasa berkembang, dan perkembangan ini seringkali tidak diiringi dengan hukum yang mengaturnya. Dalam persoalan ini ulama fikih menyatakan,”hukum bisa terbatas, sedangkan kasus yang terjadi tidak terbatas”. Di sisi lain, fikih Islam tidak dimaksudkan berlaku sepanjang masa, tetapi hanya untuk menjawab persoalan yang timbul pada suatu kondisi, masa, dan tempat tertentu. Oleh karena itu, hukum senantiasa perlu disesuaikan dengan kondisi, tempat, zaman yang lain. Tidak jarang ditemukan bahwa peristiwa yang menghendaki hukum lebih cepat berkembang dibandingkan dengan hukum itu sendiri. Oleh karena itu. Adanya undang-undang bisa memperlambat perkembangan hukum itu sendiri.
  29. Mandegnya upaya ijtihad.
  30. Munculnya persoalan taklid baru.
  31. Mengabaikan perbedaan-perbedaan atau ciri-ciri khusus yang dimiliki
    32Lihat, Ensiklopedi Hukum Islam dimuat dalam Jurnal Mimbar Hukum No. 47 Th.XI), Al-Hikmah & DITBINBAPERA Islam, Jakarta, 84.
    89| Mazahib Vol XII Nomor 2 Desember 2013
    masing-masing mazhab.
    Meskipun terdapat berbagai tantangan, namun produk hukum ekonomi Islamdalam bentuk legislasi telah hadir di Indonesia dengan pembuatan Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES).
    D. Penutup
    Perkembangan ekonomi Islam tidak hanya diwujudkan ke dalam aspek keuangan seperti lembaga perbankan. Di dalam kajian ekonomi Islam, banyak instrumen lainnya yang penting dan juga memerlukan dukungan yuridis yang kuat. Dukungan yang yuridis yang dimaksud adalah ketersediaan undang-undang yang akomodatif dan aspiratif serta mentransformasikan dari konsep menjadi aplikasi praktis dan sesuai dengan kondisi negara.
    Dalam penjelasan sebelumnya disebutkan bahwa dalam perkembangan kontemporer, konsep ekonomi Islam masih didominasi dengan penerapan prinsip Islam dalam bidang keuangan terutama perbankan.33 Dominasi ini tidak seharusnya melupakan instrumen ekonomi Islam lainnya karena jika dikaitkan dengan politik dan produk hukum, maka semua aspek dan instrumen ekonomi Islam tersebut harus bisa dilihat secara komprehensif.
    DAFTAR PUSTAKA
    Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: A Study of Prohibition of Riba and Its Contemporary Interpretations, Leiden: E.J. Brill, 1996.
    Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: A Study of Prohibition of Riba and Its Contemporary Interpretation, Boston: Brill, 1999.
    Ausaf Ahmad, Instruments and Regulation and Control of Islamic Banks by The Central Banks. Jeddah: Islamic Development Bank, 2000.
    Barry Clark, Political Economy: A Comparative Approach, London: Praeger, 1998.
    Euis Nurlaelawati, Modernization, Tradition and Identity The Kompilasi Hukum Islam and Legal Practice in the Indonesian Religious Courts, Amsterdam: Amsterdam University Press, 2010.
    33Dalam perkembangannya, lembaga keuangan syariah baik di dunia maupun di Indonesia juga terus mendapatkan kritikan yang tajam baik terkait produk, ataupun mekanisme kerjanya yang dianggap masih condong didominasi sistem keuangan konvensional. Lihat, Abdullah Saeed, Islamic Banking and Interest: A Study of Prohibition of Riba and Its Contemporary Interpretations (Leiden: E.J. Brill, 1996), 78.
    Bambang Iswanto – Ekonomi Islam dan Politik Hukum di Indonesia |90
    Hasbi Hasan, Pemikiran dan Perkembangan Hukum Ekonomi Syariah di Dunia Islam Kontemporer, Depok: Gratama Publishing, 2011.
    http://www.websters-online-dictionary.org/definition/economic+law diakses tanggal 1 Desember 2012.
    Ibrahim Warde, Islamic Finance in The Global Economy . Edinburg: Edinburg University Press, 2000.
    Jane Erick Lane dan Hamadi Redissi, Religion anad Politics: Islam and Muslim Civilization (Burlington: Ashgate Publishing Company, 2009.
    Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005.
    Jurnal Mimbar Hukum, No. 56 Tahun XIII, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, Jakarta, 2002.
    Jurnal Mimbar Hukum, No. 49 Tahun XI, Al-Hikmah dan DITBINBAPERA Islam, Jakarta, Juli-Agustus 2000.
    M. Abdul Mannan, Islamic Economics; Theory and Practice, Cambridge: Houder and Stoughton Ltd.,1986.
    M. Hamdan,Politik Hukum Pidana (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997.
    M. Kabir Hasan and Mervyn K. Lewis, Handbook of Islamic Banking, UK: Edward Elgar Publishing Limited, 2007.
    M.B. Hendrie Anto, Pengantar Ekonomika Mikro Islami, Yogyakarta: EKONISIA, 2003.
    Maha-Hanaan Balala, Islamic Finance and Law: Theory and Practice in a Globalized World London: I.B Tauris, 2011.
    Masudul Alam Choudhury, “Regulation in The Islamic Political Economy”, dalam jurnal J.KAU: Islamic Econ, (2000): vol. 12.
    Mimbar Hukum No. 47 Th.XI), Al-Hikmah & DITBINBAPERA Islam, Jakarta.
    Mimbar Hukum No. 56 Thn XIII, Al-Hikmah, Jakarta, (2002).
    Muhammad ‘Usman Tsabir, al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah fi al-Fiqh al-Islamiy, Yordan: Dar al-Nafais, 2008.
    Rifyal Ka’bah, Kodifikasi Hukum Islam Melalui Perundang-Undangan Negara di Indonesia, Majalah Hukum Suara Uldilag, Vol.II No.5, Jakarta, September 2004.
    91| Mazahib Vol XII Nomor 2 Desember 2013
    Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum(Bandung: Citra Aditya Bakti, 2000.
    Stephan Haggard and Robert R. Kaufman, The Political Economy of Democratic Transitions, New Jersey: Princeton University Press, 1996.
    Suhartono, “Menggagas Legislasi Hukum Ekonomi Syariah ke Ranah Sistem Hukum Nasional: Suatu Kajian Dalam Perspektif Politik Hukum,” dalam http://www.badilag.net diakses tanggal 20 November 2012.
    Uzaifah, “Manajemen Zakat Pasca Kebijakan Pemerintah Tentang Zakat Sebagai Pengurang Penghasilan Kena Pajak,” dalam Jurnal Ekonomi Islam LaRiba, Vol IV, (2010).
    Zubair Hasan, http://ideas.repec.org/e/c/pha42.html diakses 2 Maret 2013.

2 ARTIKEL TENTANG HUKUM EKONOMI SYARIAH

Mashudi
Volume IV/Edisi 1/Mei 2013 | 83
KAPITALISME RUNTUH
EKONOMI SYARIAH BERKAH
(Napaktilas Constitutum Menuju Constituendum)
Mashudi, IAIN Walisongo Semarang
Abstract
Constitutum means discuss, evaluate and assess the role of the law that had been in force in
the community, whether in accordance with the needs of society or is precisely the opposite.
While constituendum interpreted efforts to create a progressive law, the law is deemed effective
welfare society.
To develop and promote Islamic banks are at least teen pillars that must be considered,
namely: improving service and professionalism, product innovation, human resources,
expansion of branch network, which supports the legislation, Shari’ah compliance,
continuous education, synergy, the results competitive, and reorientation to the real sector.
If the government carry out its role effectively, it will be a positive contribution to the
development of the community because of the need will be met, so they will be motivated
through the hard work of careful and efficient. However, if it is not done, then there is
destruction. The resources needed for the country’s interests, acquired through the tax system
fair and efficient. Similarly, if the world economy has been restless uneasy with capitalism
and socialism, then ekomoni sharia in Indonesia should seriously empowered to oversee the
welfare of the people.
Keyword: Ekonomi Islam, prinsip syari‟ah, kapitalisme
Pendahuluan
Secara definitif Ekonomi Islam ( الاقتصاد ) menurut literatur Arab adalah
: القصد 1 (ekonomis) berarti kelurusan cara, dan القصد (ekonomis) juga bermakna
adil/keseimbangan. Ekonomis dalam satu aktivitas merupakan lawan kata dari
pemborosan, yaitu sikap antara perilaku konsumtif dan penghematan yang
berlebihan. Sikap ekonomis berarti tidak terlalu boros dan juga tidak terlalu
kikir.
1 Ahmad Warson, Kamus al-Munawir.
Kapitalisme Runtuh Ekonomi Syariah Berkah
84 | Volume IV/ Edisi 1/Mei 2013
Adapun arti Islam, literatur Arab menyebutkan :2 Syari‟at Islam berarti
ketundukan untuk merealisasikan aturan serta kewajiban yang dibawa oleh
Nabi Muhammad SAW. Ungkapan “seseorang adalah muslim” berarti seorang
yang berserah diri terhadap perintah Allah dan ikhlas karena-Nya dalam
beribadah.
Adapun secara istilah, para pakar Ekonomi Islam mendefinisikannya
secara beragam, antara lain : 1. Dr. Muhammad bin Abdullah al Arabi
mendefinisikan bahwa Ekonomi Islam adalah kumpulan prinsip-prinsip umum
tentang ekonomi yang kita ambil dari al-Qur‟an, sunnah, dan pondasi ekonomi
yang kita bangun atas dasar pokok-pokok itu dengan mempertimbangkan
kondisi lingkungan dan waktu.3 2. Dr. Muhammad Syauki al Fanjari
mendefinisikan bahwa Ekonomi Islam adalah segala sesuatu yang
mengendalikan dan mengatur aktivitas ekonomi sesuai dengan pokok-pokok
Islam dan politik ekonominya.4
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ekonomi Islam adalah ilmu
tentang hukum-hukum syari‟at aplikatif yang diambil dari dalil-dalilnya yang
terperinci tentang persoalan yang terkait dengan mencari, membelanjakan, dan
cara-cara mengembangkan harta. Dengan kata lain, secara otoritatif ilmu
hukum yang bersumber pada syari‟ah Islam adalah mandiri, bersifat aplikatif
atau „amaliyah, dengan petunjuk dalil secara langsung spesifik.
Islam adalah agama yang paling banyak mendorong umatnya untuk
menguasai perdagangan. Karena itu, Islam memberikan penghormatan yang
tinggi kepada para pedagang. Dalam Sebuah hadits, Nabi Muhammad Saw,
menempatkan dan mensejajarkan para pedagang bersama para Nabi, Syuhada
dan Sholihin.5 Menurut Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah, bidang ini memiliki
kedudukan yang sangat vital dalam membangun peradaban Islam. Namun,
masalah perdagangan (bisnis) kurang mendapat tempat dalam gerakan
peradaban Islam. Padahal sektor ini sangat penting untuk diaktualisasikan
kaum muslimin menuju kejayaan Islam di masa depan. Tema perdagangan ini
2 Farid Wajdiy, Dairat al-Ma‟arif.
3 Ahmad Muhammad al-Asal dan Fathi Ahmad Karim, al-Nizham al-Iqtishadi fi al-Islam wa
Mabadiuhu wa Ahdafuhu, (Maktabah Wahbah, 1405 H), Cet. VII, hal. 15
4 Centre of Islam Economic Studies. King Abd al-„Aziz University, al-Iqtishad al-Islami
Buhuts Mukhtarah, Jeddah : International Conference 1th of Islam Economy, hal. 76
5 Simak Hadits yang diriwayatkan Iman at- Tarmizi.
Mashudi
Volume IV/Edisi 1/Mei 2013 | 85
perlu diangkat ke permukaan mengingat kondisi obyektif kaum muslimin di
berbagai belahan dunia sangat tertinggal di bidang perdagangan. 6
Sementara itu, pembangunan nasional Indonesia untuk mencapai
terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi,
dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan,
kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip
syariah. Pembangunan nasional bertujuan terciptanya masyarakat adil dan
makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, dikembangkan sistem ekonomi
yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan
kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah. Sedangkan realitas
menunjukkan bahwa kebutuhan masyarakat Indonesia akan jasa-jasa
perbankan syariah semakin meningkat.
Dunia telah membuktikan sekaligus merasakan bahwa sistem ekonomi
kapitalisme dan sosialisme tak berdaya melawan badai krisis diberbagai sektor.
Lalu, bagaimanakah kondisi tersebut akankah membawa berkah bagi ekonomi
? Makalah sederhana ini hendak mengandai-andai bagi kemajuan ekonomi
syariah di Indonesia.
Karakteristik dan Regulasi Ekonomi Syariah
Sebagaimana dimaklumi bahwa aspek kehidupan bisnis dan transaksi
menurut Islam berasaskan nilai-nilai dan prinsip-prinsip syariah yang
bersumber dari Al Quran dan Hadits serta dilengkapi dengan Al Ijma dan Al
Qiyas. Sistem perekonomian Islam, saat ini lebih dikenal dengan istilah Sistem
Ekonomi Syariah, yang pada prinsipnya bertujuan : 1) Kesejahteraan Ekonomi
dalam kerangka norma moral Islam.7 2) Membentuk masyarakat dengan
tatanan sosial yang solid, berdasarkan keadilan dan persaudaraan yang
universal.8 3) Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan
6 Agustianto, Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) dan Mahasiswa Program
Doktor Ekonomi Islam UIN Jakarta, dalam salah satu beliau yang berjudul : Revitalisasi Perdagangan
Syariah.
7 Dasar pemikiran QS. Al-Baqarah ayat 2 & 168, Al-Maidah ayat 87-88, Al-Jumuah ayat 10.
8 Simak QS. Al-Hujuraat ayat 13, Al-Maidah ayat 8, Asy-Syuaraa ayat 183.
Kapitalisme Runtuh Ekonomi Syariah Berkah
86 | Volume IV/ Edisi 1/Mei 2013
merata.9 4) Menciptakan kebebasan individu dalam konteks kesejahteraan
sosial.10
Sistem ekonomi syariah mempunyai beberapa kelebihan yang tercermin
dalam beberapa karakteristik, antara lain :
a. Bersumber dari Tuhan dan Agama ( (رباني المصدروالتشزيع
Sumber awal ekonomi Islam11 berbeda dengan sumber sistem ekonomi
lainnya karena merupakan kewajiban dari Allah. Ekonomi Islam
dihasilkan dari agama Allah dan mengikat semua manusia tanpa
terkecuali. Sistem ini meliputi semua aspek universal dan partikular dari
kehidupan dalam satu bentuk. Dalam posisi sebagai pondasi, ekonomi
syariah12 tidak berubah. Yang berubah hanyalah cabang dan bagian
partikularnya, namun bukan dalam sisi pokok dan sifat universalnya.
9 Simak QS. Al-Anam ayat 165, An-Nahl ayat 71, Az-Zukhruf ayat 32.
10 Simak QS. Ar-Radu ayat 36, Luqman ayat 22.
11 Prinsip Syariah adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perokonomian berdasarkan
fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang
syariah.
12 Indikator kegiatan yang berperinsip syariah meliputi: 1. menghimpun dana dalam bentuk
Simpanan berupa Giro, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan itu berdasarkan
Akad wadi‟ah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; 2. menghimpun dana
dalam bentuk Investasi berupa Deposito, Tabungan, atau bentuk lainnya yang dipersamakan dengan
itu berdasarkan Akad mudharabah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; 3.
menyalurkan Pembiayaan bagi hasil berdasarkan Akad mudharabah, Akad musyarakah, atau Akad lain
yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; 4. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad
murabahah, Akad salam, Akad istishna‟, atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah;

  1. menyalurkan Pembiayaan berdasarkan Akad qardh atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan
    Prinsip Syariah; 6. menyalurkan Pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada
    Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan/atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau Akad
    lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; 7. melakukan pengambilalihan utang berdasarkan
    Akad hawalah atau Akad lain yang tidak bertentangan dengan Prinsip Syariah; 8. melakukan usaha kartu
    debit dan/atau kartu pembiayaan berdasarkan Prinsip Syariah; 9. membeli, menjual, atau menjamin
    atas risiko sendiri surat berharga pihak ketiga yang diterbitkan atas dasar transaksi nyata berdasarkan
    Prinsip Syariah, antara lain, seperti Akad ijarah, musyarakah, mudharabah, murabahah, kafalah, atau
    hawalah; 10. membeli surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah yang diterbitkan oleh pemerintah
    dan/atau Bank Indonesia; 11. menerima pembayaran dari tagihan atas surat berharga dan melakukan
    perhitungan dengan pihak ketiga atau antarpihak ketiga berdasarkan Prinsip Syariah; 12. melakukan
    Penitipan untuk kepentingan pihak lain berdasarkan suatu Akad yang berdasarkan Prinsip Syariah; 13.
    menyediakan tempat untuk menyimpan barang dan surat berharga berdasarkan Prinsip Syariah; 14.
    memindahkan uang, baik untuk kepentingan sendiri maupun untuk kepentingan Nasabah berdasarkan
    Prinsip Syariah; 15. melakukan fungsi sebagai Wali Amanat berdasarkan Akad wakalah; 16.
    memberikan fasilitas letter of credit atau bank garansi berdasarkan Prinsip Syariah; dan 17. melakukan
    kegiatan lain yang lazim dilakukan di bidang perbankan dan di bidang sosial sepanjang tidak
    bertentangan dengan Prinsip Syariah dan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    Mashudi
    Volume IV/Edisi 1/Mei 2013 | 87
    Aturan-aturan ekonomi syariah sangat mendalam dan meyakinkan.
    Aturan-aturan buatan manusia tidak mungkin dapat menyamai asas dan
    dasar pijak legalnya. Posisi ini juga melahirkan satu sistem ekonomi
    yang memiliki kelebihan berupa esensinya yang mandiri dibanding
    sistem ekonomi lainnya. Sistem ekonomi syariah mempunyai
    keunggulan sebagai sebuah sistem ekonomi yang dijamin dengan
    hukum-hukum agama yang diwujudkan dalam aturan halal dan haram.13
    Sementara sistem ekonomi lainnya, seperti kapitalis dan sosialis, tidak
    memiliki hukum dan landasan yang dapat mengarahkan individu dan
    masyarakat, sehingga sistem ini terminologi halal-haram tidak
    ditemukan. Oleh karena itu, sistem ini akan mengeksploitasi kegunaan,
    sumber daya dan kekayaan tanpa aturan dan batasan.
    b. Ekonomi Pertengahan dan Berimbang ( (اقتصاد الوسطية والتواسن
    Ekonomi Islam memadukan kepentingan pribadi dan kemaslahatan
    masyarakat dalam bentuk yang berimbang. Ekonomi Islam berposisi
    tengah antara aliran individualis (kapitalis) yang melihat bahwa hak
    kepemilikan individu bersifat absolut dan tidak boleh diintervensi oleh
    siapapun dan aliran sosial (komunis) yang menyatakan ketiadaan hak
    individu dan mengubahnya ke dalam kepemilikan bersama dengan
    menempatkannya di bawah dominasi negara. Di antara bukti sifat
    pertengahan dan keberimbangan ekonomi Islam antara lain posisi
    tengah yang diberikan kepada negara untuk melakukan intervensi
    bidang ekonomi. Aliran kapitalis tidak memberikan toleransi kepada
    negara untuk melakukan intervensi dalam aktivitas-aktivitas ekonomi,
    sementara aliran sosialis melihat perlunya dominasi negara untuk
    melakukan intervensi dalam aktivitas ini dengan tujuan untuk
    meniadakan kepemilikan pribadi. Islam memperkuat posisi individu dan
    haknya dalam kepemilikan yang tumbuh dari perasaan tanggung jawab
    sosial. Islam membangun relasi individu dengan masyarakat melalui
    gambaran keberimbangan kongkret, yang sumbernya di atas segala
    kekuasaan individu dan negara, yaitu otoritas kekuasaan aturan Tuhan.
    13 Yusuf Hamid al-„Alim, al-Nizham al-Siyasi wa al-Iqtishad al-Islami, (Beirut : Dar al-Qalam,
    1975), Cet. I, hal. 19
    Kapitalisme Runtuh Ekonomi Syariah Berkah
    88 | Volume IV/ Edisi 1/Mei 2013
    Aturan ini memberikan toleransi kepada individu untuk mengambil
    kendali kompetisi dan kebebasan dalam menciptakan aturan-aturan
    yang berguna, namun tetap dalam koridor kepentingan masyarakat dan
    hak universalnya. (Simak QS. Al-Baqarah : 143).
    c. Ekonomi Berkecukupan dan Berkeadilan ( (اقتصاد الكفاية والعدل
    Ekonomi Islam memiliki kelebihan dengan menjadikan manusia
    sebagai fokus perhatian. Manusia diposisikan sebagai pengganti Allah di
    bumi untuk memakmurkannya dan tidak hanya untuk mengeksplorasi
    kekayaan dan memanfaatkannya saja. Ekonomi ini ditujukan untuk
    memenuhi dan mencukupi kebutuhan manusia. Hal ini berbeda dengan
    ekonomi kapitalis dan sosialis dimana fokus perhatian adalah kekayaan.
    14 Islam telah mewajibkan negara untuk memberikan jaminan kepada
    semua anggota masyarakat yang berupa jaminan kebutuhan pokok bagi
    seluruh warga negara Islam. Kebutuhan ini telah ditentukan dalam
    firman Allah pada saat melakukan dialog primordial dengan Adam.
    (Simak QS. Thaha : 118-119)
    d. Ekonomi Pertumbuhan dan Barakah
    Ekonomi Islam memiliki kelebihan lain, yaitu beroperasi atas dasar
    pertumbuhan dan investasi harta dengan cara-cara legal, agar harta tidak
    berhenti dan rotasinya dalam kehidupan sebagai bagian dari mediasi
    jaminan kebutuhan-kebutuhan pokok bagi manusia. Islam memandang
    harta dapat dikembangkan hanya dengan bekerja. Hal itu hanya dapat
    terwujud dalam usaha keras untuk menumbuhkan dan memperluas
    unsur-unsur produksi demi terciptanya hasil yang lebih baik. Usaha itu
    dilakukan melalui perputaran modal di tengah masyarakat Islam dalam
    bentuk modal produksi sebagai kontribusi dalam aturan-aturan yang
    dikembangkan.
    Islam melarang secara keras praktek monopoli, penumpukan dan
    penghentian pengalokasian dan perputaran. Islam juga melarang
    dengan keras pengalokasian harta terhadap orang yang mengutamakan
    harta dengan kebodohan dalam mengolahnya. Allah memberikan
    14 Muhammad „Abd al-Mun‟am al-Jamal, Mausu‟at al-Iqtishad al-Islami, (Kairo : Dar Kitab
    al-Mishri, 1980), hal. 15
    Mashudi
    Volume IV/Edisi 1/Mei 2013 | 89
    julukan “orang yang mementingkan kemewahan” sebagai golongan
    berdosa. (Simak QS. Hud : 116)
    Dalam studi ekonomi Islam, diketahui bahwa ada pilar-pilar yang
    menjadi landasannya, yaitu : Pertama, Kepemilikan Ganda (kepemilikan
    khusus dan kepemilikan umum). Penggunaan keduanya dikategorikan sebagai
    pemilikan ganda. Ekonomi Islam dibangun di atas dua macam pemilikan itu
    secara bersamaan. Pada saat bersamaan, Islam menetapkan kepemilikan
    personal dan kepemilikan sosial serta ada bidang luas bagi keberlakuan dua
    jenis kepemilikan ini.
    Sementara karakteristik lain ekonomi Islam adalah penciptaan
    keseimbangan antara kepentingan personel dan kepentingan sosial. Dua
    kepentingan ini dikatakan seimbang selama tidak ada pertentangan antar
    keduanya, atau dimungkinkan adanya penggabungan antar keduanya. Jika
    terdapat kontradiksi antar kepentingan personal dengan kepentingan sosial dan
    terdapat kesulitan untuk menciptakan adanya keseimbangan atau
    penggabungan antar keduanya, maka Islam lebih memprioritaskan kepentingan
    sosial dibanding kepentingan personal.
    Dasar legal formal sikap ini adalah sebuah hadis yang diriwayatkan dari
    Ibnu Abbas ra bahwa Nabi Muhammad SAW bersabda ;
    ولايبيع حاضز لباد )رواه الجماعة الاالتزمذى(
    “Pendudukan yang menetap tidak boleh menjual permadani kepada pengembara”.
    Sebagai gambaran, penduduk suatu daerah mempunyai kecenderungan
    untuk menjual barang kepada seseorang yang menawar lebih tinggi, walaupun
    kepada pendatang. Ia tidak mempertimbangkan kebutuhan penduduk lokal.
    Dalam kondisi sangat membutuhkan, praktek semacam ini dilarang karena
    mengabaikan kebutuhan warga sekitar dan mengingat kepentingan penduduk
    asli lebih utama.
    Dasar legal lainnya adalah sabda Nabi Muhammad SAW sebagai
    tanggapan atas perkataan Jabir :
    لاتلقوا الزكبان
    “Jangan mencegat kafilah pedagang di tengah jalan”.
    Kapitalisme Runtuh Ekonomi Syariah Berkah
    90 | Volume IV/ Edisi 1/Mei 2013
    Orang yang mencegat di tengah jalan mempunyai kecenderungan untuk
    membeli dengan harga lebih murah dan menjual kembali secara berlipat,
    sedangkan ia berposisi sebagai pribadi. Kondisi semacam ini dilarang agar
    sebagian besar kelompok masyarakat dapat mengambil manfaat dengan jalan
    membeli langsung dari pedagang dengan pertimbangan harga yang lebih
    murah.15
    Sebagian ahli fiqih memperbolehkan mengambil makanan secara paksa
    dari kelompok yang melakukan monopoli dan kemudian menjualnya kepada
    masyarakat.16 Di sinilah terlihat bagaimana Islam lebih mengutamakan
    kepentingan sosial dibanding kepentingan personal jika kepemilikan itu
    menyangkut kepentingan masyarakat secara luas.
    Kedua, Kebebasan Ekonomi yang Terikat. Limitasi kebebasan dalam
    ekonomi Islam dimaksudkan sebagai perwujudan aturan syari‟at dalam hal
    menggali dan menggunakan kekayaan. Sistem ini berbeda dengan sistem
    kapitalis yang memberikan kebebasan mutlak dan menciptakan individu
    dengan kebebasan tanpa batas dalam pencarian dan penggunaan kekayaan.
    Sistem ekonomi Islam juga berbeda dengan sistem ekonomi sosialis yang
    mensentralkan kepemilikan, sehingga manusia dilarang untuk berkreasi dalam
    kepemilikan. Aturan-aturan syari‟at sesungguhnya ingin mengarah kebebasan
    pada tiga hal :
    a. Hendaknya kegiatan ekonomi itu legal secara hukum dan sesuai dengan
    asas halal, haram, dan nilai-nilai moral. Batasan ini menghubungkan
    ekonomi Islam dengan ketaatan dan ibadah kepada Allah sehingga
    semua perbuatan dan pekerjaan manusia selalu bernilai ibadah. Wilayah
    halal itu lebih luas dan lebih lapang karena pokok segala sesuatu dalam
    bidang muamalah adalah boleh, sedang wilayah haram itu sempit. Oleh
    karena itu, Islam tidak menentukan jenis pekerjaan yang diperbolehkan
    secara spesifik. Islam hanya menerangkan nash yang menerangkan jenis
    pekerjaan yang diharamkan. Pengharaman ini ditujukan untuk
    15 Ibnu Taymiyah, al-Hasbah fi al-Islam, (Riyadh : Percetakan Negara, t.th), hal. 79-60
    16 Ibid
    Mashudi
    Volume IV/Edisi 1/Mei 2013 | 91
    mencegah adanya kerusakan, kezhaliman, dan memelihara dari
    kemudlaratan.17
    b. Jaminan hak negara untuk melakukan intervensi demi menjaga dan
    memelihara kepentingan umum dengan memberikan hak untuk
    membatasi kebebasan-kebebasan personal dalam praktek kegiatan
    ekonomi yang tidak sesuai dengan tuntutan dan ajaran Islam.
    Pemerintah tertinggi menurut Islam mempunyai hak untuk ditaati
    selama masih berada dalam jalur syari‟at. (simak QS. Al-Nisa 59).
    Kaidah ushul yang mengatur hal ini adalah sabda Nabi Muhammad
    SAW : “Jangan melakukan perbuatan yang membahayakan diri dan yang
    membahayakan orang lain”.18
    c. Sebagai pendidikan bagi kaum muslim untuk mengutamakan
    kepentingan orang lain atas kepentingan pribadi. Seorang muslim harus
    menghentikan kegiatan yang mendatangkan keuntungan materi jika
    hanya akan juga mendatangkan kerugian bagi orang lain.
    Di bawah naungan Islam, manusia akan merasakan tumbuhnya
    solidaritas terhadap orang lain dan mengarahkan kebebasannya pada arah yang
    terkontrol secara baik tanpa ada perasaan bahwa ada hak yang terampas. Islam
    menjaga hak setiap orang. Dengan demikian, seorang muslim tidak akan
    merasakan kebebasan hakiki manakala berada dalam naungan selain nilai-nilai
    Islam, oleh karena dikenal dalam Islam dikenal limitasi kebebasan ekonomi : a)
    Pemilik hakiki segala sesuatu tidak lain adalah Allah SWT. Ia memiliki hak
    prerogatif untuk membatasi kegiatan penggalian dana yang dilakukan oleh
    manusia sesuai dengan tuntunan dan aturan yang ditetapkan-Nya. Hal ini
    dikarenakan Dia Maha Tahu hal-hal yang maslahat bagi manusia dan kondisikondisi
    terbaik bagi mereka. b) Tidak diperkenankan adanya satu keadaan yang
    membahayakan hak orang lain atau kepentingan publik. c) Adanya jaminan
    kepentingan kelompok lemah dari rivalitas dan persaingan dengan kelompok
    kuat sebagaimana tercermin dalam sasaran zakat, kewajiban memberikan
    nafkah bagi para kerabat, dan perhatian yang diberikan kepada golongan fakir
    17 Setiap larangan terhadap satu aktivitas tidak lain diarahkan agar perilaku itu sesuai dengan
    tujuan-tujuan Islam, ketinggian moral, dan kesucian jiwa, seperti riba‟, monopoli, manipulasi, penipuan
    dan setiap transaksi fiktif.
    18 Hadits Mursal diriwayatkan oleh malik dan Ahmad dari sahabat Ibnu „Abbas.
    Kapitalisme Runtuh Ekonomi Syariah Berkah
    92 | Volume IV/ Edisi 1/Mei 2013
    dan kelompok-kelompok masyarakat yang kekurangan. d) Adanya kewajiban
    suatu kelompok untuk melaksanakan kewajiban publik yang telah dibebankan
    kepada mereka seperti pengadaan sarana pendidikan, rumah sakit, jalan umum
    dan fasilitas umum lainnya.
    Ketiga, Jaminan Sosial. Salah satu karakter kodrati adalah kenyataan
    yang menunjukkan bahwa masing-masing manusia memiliki perbedaan fisik,
    karakter jiwa, dan kemampuan intelektual. Mereka berbeda dalam kekuatan
    fisik dan susunan tulang tubuh yang dimiliki. Mereka juga berbeda dalam
    keteguhan hati, kekuatan untuk bersikap sabar dan keberanian jiwa. Batas
    kecerdasan, kepekaan reaksi terhadap kondisi sosial, dan karakter-karakter
    personal manusia lainnya juga dimiliki dalam kapasitas berbeda.
    Selama perbedaan ini masih tampak dalam potensi, bakat, karakter
    jasmani dan jiwa, maka hasil pekerjaan yang ditunjukkan oleh manusia tidak
    hadir dalam bentuk tunggal yang pada akhirnya mempengaruhi manusia dalam
    menghasilkan kekayaan. Untuk membantu orang yang tidak memungkinkan
    untuk menghasilkan kekayaan secara mandiri, maka Islam menggariskan
    adanya jaminan sosial dan keberimbangan antar anggota masyarakat sebagai
    bentuk penolakan adanya kesenjangan mencolok dalam level penghasilan.19
    Kapitalisme Runtuh Ekonomi Syariah Berkah
    Ketika sistem ekonomi kapitalisme mengalami kerapuhan dan
    keruntuhan, maka peluang (chance) ekonomi syariah makin terbuka luas untuk
    berkembang dan menjadi solusi sistem perekonomian dunia. Gejala tersebut
    semakin menunjukkan realitanya ketika 75 negara di dunia telah
    mempraktekkan sistem ekonomi dan keuangan Islam, baik di Asia, Eropa,
    Amerika maupun Australia. Demikian pula dalam bidang akademis, beberapa
    universitas terkemuka di dunia sedang giat mengembangkan kajian akademis
    tentang ekonomi syariah. Harvard University merupakan universitas yang aktif
    mengembangkan forum dan kajian-kajian ekonomi syariah tersebut. Di Inggris
    setidaknya enam universitas mengembangakan kajian-kajian ekonomi syari‟ah.
    19 Centre of Islami Economic Studies, al-Iqtishad al-Islami, hal. 99
    Mashudi
    Volume IV/Edisi 1/Mei 2013 | 93
    Demikian pula di Australia oleh Mettwally dan beberapa negara Eropa seperti
    yang dilakukan Volker Ninhaus.
    Di Indoinesia, justru sebaliknya, masih banyak pakar ekonomi dari
    kaum muslimin yang masih memiliki paradigma sekuler sehingga belum
    tertarik kepada ekonomi Islam karena belum mempelajari dan belum mengerti
    tentang ekonomi Islam tersebut. Seandainya mereka secara jujur dan pikiran
    yang jernih mempelajarinya, niscaya mereka akan tertarik dan berdecak kagum
    melihat keunggulan ekonomi ilahiyah ini.
    Ketika sistem ekonomi kapitalisme mengalami keruntuhan, eksistensi
    ekonomi syariah yang baru tumbuh dalam tiga dekade terakhir, makin memiliki
    prospek yang positif dan cerah. Ekonomi Syari‟ah20 merupakan sistem
    ekonomi post-capitalist yang berperan sebagi solusi ekonomi dunia. Semoga para
    ilmuwan ekonomi Islam saat ini dapat mengisi peluang besar yang sangat
    strategis itu dengan ijtihad ekonomi yang lebih kreatif dan inovatif berdasarkan
    nilai-nilai syari‟ah untuk mewujudkan tata ekonomi dunia yang berkeadilan.
    Kegagalan kapitalisme membangun kesejahteran umat manusia di muka
    bumi, maka isu kematian ilmu ekonomi semakin meluas di kalangan para
    cendikiawan dunia. Banyak pakar yang secara khusus menulis buku tentang The
    Death of Economics tersebut, antara lain Paul Omerod, Umar Ibrahim Vadillo,
    Critovan Buarque, dsb.21
    Paul Omerod dalam buku The Death of Economics (1994), sebagaimana
    dalam Agustianto, enuliskan bahwa ahli ekonomi terjebak pada ideologi
    kapitalisme yang mekanistik yang ternyata tidak memiliki kekuatan dalam
    membantu dan mengatasi resesi ekonomi yang melanda dunia. Mekanisme
    pasar yang merupakan bentuk dari sistem yang diterapkan kapitalis cenderung
    pada pemusatan kekayaan pada kelompok orang tertentu. Senada dengan buku
    Omerod, muncul pula Umar Vadillo dari Scotlandia yang menulis buku, ”The
    20 Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau UUS dan pihak lain yang
    memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.
    21 Agustianto, Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) dan Dosen Ekonomi
    Syariah Pascasarjana PSTTI UI dalam Kematian Ilmu Ekonomi Kapitalisme dan Peluang Ekonomi Syariah.
    Kapitalisme Runtuh Ekonomi Syariah Berkah
    94 | Volume IV/ Edisi 1/Mei 2013
    Ends of Economics” yang mengkritik secara tajam ketidakadilan sistem moneter
    kapitalisme. Kapitalisme justru telah melakukan ”perampokan” terhadap
    kekayaan negara-negara berkembang melalui sistem moneter fiat money yang
    sesungguhnya adalah riba.
    Dari berbagai analisa para ekonom dapat disimpulkan, bahwa teori
    ekonomi telah mati karena beberapa alasan. Pertama, teori ekonomi Barat
    (kapitalisme) telah menimbulkan ketidakadilan ekonomi yang sangat dalam,
    khususnya karena sistem moneter yang hanya menguntungkan Barat melalui
    hegemoni mata uang kertas dan sistem ribawi. Kedua, Teori ekonomi
    kapitalisme tidak mampu mengentaskan masalah kemiskinan dan
    ketimpangan pendapatan. Ketiga, paradigmanya tidak mengacu kepada
    kepentingan masyarakat secara menyeluruh, sehingga ada dikotomi antara
    individu, masyarakat dan negara. Keempat, Teori ekonominya tidak mampu
    menyelaraskan hubungana antara negara-negara di dunia, terutama antara
    negara-negara maju dan negara berkembang. Kelima, terlalaikannya pelestarian
    sumber daya alam.
    Alasan-alasan inilah yang oleh Mahbub al-Haq (1970) dianggap sebagai
    dosa-dosa para perencana pembangunan kapitalis. Kesimpulan ini begitu jelas
    apabila pembahasan teori ekonomi dihubungkan dengan pembangunan di
    negara-negara berkembang. Sementara itu perkembangan terakhir
    menunjukkan bahwa kesenjangan antara negara-negara berpendapatan tinggi
    dan negara-negara berpendapatan rendah, tetap menjadi indikasi bahwa
    globalisasi belum menunjukkan kinerja yang menguntungkan bagi negara
    miskin. (The World Bank, 2002).
    Karena kegagalan kapitalisme itulah, maka sejak awal, Joseph
    Schumpeter meragukan kapitalisme. Dalam konteks ini ia mempertanyakan,
    “Can Capitalism Survive”?. No, I do not think it can. (Dapatkah kapitalisme
    bertahan?. Tidak, saya tidak berfikir bahwa kapitalisme dapat bertahan).
    Selanjutnya ia mengatakan, ”Capitalism would fade away with a resign shrug of the
    shoulders”, Kapitalisme akan pudar/mati dengan terhentinya tanggung jawabnya
    untuk kesejahteraan.22
    22 Simak Heilbroner dalam salah satu statemen di tahun 1992.
    Mashudi
    Volume IV/Edisi 1/Mei 2013 | 95
    Sejalan dengan pandangan para ekonom di atas, pakar ekonomi Fritjop
    Chapra mengungkapkan bahwa ekonomi konvensional (kapitalisme) yang
    berlandaskan sistem ribawi, memiliki kelemahan dan kekeliruan yang besar
    dalam sejumlah premisnya, terutama rasionalitas ekonomi yang telah
    mengabaikan moral. Kelemahan itulah menyebabkan ekonomi (konvensional)
    tidak berhasil menciptakan keadilan ekonomi dan kesejahteraan bagi umat
    manusia.23 Yang terjadi justru sebaliknya, ketimpangan yang semakin tajam
    antara negara-negara dan masyarakat yang miskin dengan negara-negara dan
    masyarakat yang kaya, demikian pula antara sesama anggota masyarakat di
    dalam suatu negeri. Lebih lanjut mereka menegaskan bahwa untuk
    memperbaiki keadaan ini, tidak ada jalan lain kecuali mengubah paradigma dan
    visi, yaitu melakukan satu titik balik peradaban, dalam arti membangun dan
    mengembangkan sistem ekonomi yang memiliki nilai dan norma yang bisa
    dipertanggungjawabkan . 24
    Ekonomi Syariah : dari Constitutum menuju Constituendum
    Constitutum berarti memperbincangkan, mengevaluasi peran dan menilai
    perangkat hukum yang selama ini berlaku di masyarakat, apakah sesuai dengan
    kebutuhan masyarakat ataukah justeru sebaliknya. Sedangkan constituendum
    dimaknai upaya mewujudkan hukum yang progresif, hukum yang dipandang
    efektif menyejahterakan masyarakatnya.25
    Berbagai studi tentang hubungan hukum dan pembangunan ekonomi
    menunjukkan bahwa pembangunan ekonomi tidak akan berhasil tanpa
    pembaharuan hukum. Memperkuat institusi-institusi hukum adalah “precondition
    23 Selanjutnya simak Fritjop Chapra dalam, The Turning Point, Science, Society and The Rising
    Culture (1999) dan Ervin Laszio dalam buku 3rd Millenium, The Challenge and The Vision (1999),
    24 Selanjutnya simak titik balik peradaban versi Fritjop Chapra sangat sesuai dengan
    pemikiran Kuryid Ahmad ketika memberi pengantar buku Umar Chapra, ”The Future of Economics : An
    Islamic Perspective (2000), yang mengharuskan perubahan paradigma ekonomi. Hal yang sama juga
    ditulis oleh Amitai Etzioni dalam buku, ”The Moral Dimension : Toward a New Economics”(1988), yakni
    kebutuhan akan paradigm shift (pergeseran paradigma) dalam ekonomi. Sejalan dengan pandangan para
    ilmuwan di atas, Critovan Buarque, ekonom dari universitas Brazil dalam buknya, “The End of
    Economics” Ethics and the Disorder of Progress (1993), melontarkan sebuah gugatan terhadap paradigma
    ekonomi kapitalis yang mengabaikan nilai-nilai etika dan sosial.
    25 Disarikan dari kuliah Prof. Satjipto Rahardjo dan Prof. Soetandjo Wignyjosoebroto pada
    Program Doktor Ilmu Hukum (PDIH) Unidip Semarang.
    Kapitalisme Runtuh Ekonomi Syariah Berkah
    96 | Volume IV/ Edisi 1/Mei 2013
    for economic change”, “crucial to the viability of new political system”, and “ an agent of
    social change”. Agar hukum dapat berperan dalam pembangunan ekonomi
    nasional maka hukum di Indonesia harus memenuhi lima kualitas, yaitu:
    kepastian (predictability), stabilitas (stability), keadilan (fairness), pendidikan
    (education), dan kemampuan SDM di bidang hukum (special abilities of the lawyer).
    Kebutuhan akan kepastian fungsi hukum besar sekali, khususnya bagi
    negara-negara dimana sebagian besar rakyatnya baru pertama kali memasuki
    hubungan-hubungan ekonomi melampaui lingkungan sosial yang
    tradisional.Hukum harus dapat menjamin investasi asing, bagaimana
    penyelesaian yang adil dan jaminan hukum terhadap hasil yang mereka
    peroleh.
    Stabilitas adalah potensi hukum menyeimbangkan dan mengakomodasi
    nilai-nilai atau kepentingan-kepentingan yang saling bersaing dalam masyarakat
    sehingga akan berdampak timbulnya stabilitas. Oleh karena itu pemenuhan
    akan kebutuhan perundang-undangan yang mentranformasikan nilai-nilai
    syariah sebagai konsekuensi dari tumbuhnya kesadaran beragama dari
    masyarakat untuk melaksanakan ajaran agamanya menjadi faktor penting untuk
    diperhatikan sebagai bagian dari upaya pertumbuhan ekonomi.
    Keadilan (fairness) adalah bagaimana hukum menjamin adanya
    perlindungan, perlakuan yang sama dan adanya standar tingkah laku
    pemerintah untuk memelihara mekanisme pasar dan pencegahan ekses-ekses
    birokratis yang berlebihan. Ketiadaan standar keadilan merupakan masalah
    terbesar yang dihadapi negara-negara berkembang. Dalam kurun waktu yang
    lama, hal tersebut bisa menjadi penyebab utama hilangnya legitimasi
    pemerintah.
    Pendidikan berkaitan erat dengan pemberian tujuan, yaitu kemampuan
    hukum sebagai suatu kekuatan pembentuk kebiasaan-kebiasaan (habits) yang
    dapat memperkuat kebiasaan lama atau meciptakan respon baru dan kondisikondisi
    tertentu. Di Indonesia, hukum (undang-undang) belum dapat
    sepenuhnya berfungsi pendidikan, atau melakukan fungsi social change. Yang
    diharapkan di Indonesia adalah bagaimana hukum dapat mendisiplinkan
    masyarakat dan menciptakan lingkungan usaha yang sehat. Sedangkan SDI
    (sumber daya Insani) bermakna bahwa sarjana hukum, memainkan peranan
    Mashudi
    Volume IV/Edisi 1/Mei 2013 | 97
    yang penting untuk membawa perubahan kepada sistem norma-norma dan
    nilai-nilai baru dalam tiap tahap pembangunan. Maka dalam rangka
    mendorong pemulihan perekonomian dituntut adanya kemampuan khusus
    para sarjana hukum untuk m\enjalankan hukum tersebut.
    Oleh karena itu dibutuhakan political will karena kemunculan ekonomi
    syariah pada ranah politik hukum.26 Dari penjelasan tersebut, politik hukum
    adalah arahan atau garis resmi yang dijadikan dasar pijak dan cara untuk
    membuat dan melaksanakan hukum dalam rangka mencapai tujuan bangsa dan
    negara. Politik hukum merupakan upaya menjadikan hukum sebagai proses
    pencapaian tujuan negara. Politik hukum dapat dikatakan juga sebagai jawaban
    atas pertanyaan tentang mau diapakan hukum itu dalam perspektif formal
    kenegaraan guna mencapai tujuan negara.27 Kendatipun secara yuridis,
    penerapan hukum ekonomi syariah di Indonesia memiliki dasar yang sangat
    kuat, sebagaimana dalam ketentuan Pasal 29 UUD 1945.
    Itulah sebabnya menurut Jimly Asshiddiqie, Prinsip Ketuhanan Yang
    Maha Esa diwujudkan melalui prinsip hirarki norma dan elaborasi norma.
    Dalam konteks sistem hirarki norma, perlu dibedakan antara pengertian syariat
    dengan fiqh dan dengan qanun. Menurut logika sistem hirarki itu, maka dalam
    prinsip pertama, hukum suatu negara berisi norma-norma yang tidak boleh
    bertentangan dengan norma yang terkandung di dalam syariat agama-agama
    yang dianut oleh warga masyarakat. Sedangkan dalam prinsip yang kedua,
    norma-norma yang tercermin dalam rumusan-rumusan hukum negara,
    haruslah merupakan penjabaran atau elaborasi normatif ajaran-ajaran syari‟at
    agama yang diyakini oleh warga negara.28
    Perkembangan politik hukum ekonomi syariah diawali di bidang
    perbankan, yaitu dengan keluarnya UU No. 7 Tahun 1992 tentang
    26 Menurut Moh.Mahfud MD, politik hukum adalah legal policy yang akan atau telah
    dilaksanakan secara nasional oleh Pemerintah Indonesia yang meliputi: pertama, pembangunan hukum
    yang berintikan pembuatan dan pembaruan terhadap materi-materi hukum agar dapat sesuai dengan
    kebutuhan; kedua, pelaksanaan ketentuan hukum yang telah ada termasuk penegasan fungsi-fungsi
    lembaga dan pembinaan para penegak hukum.
    27 Simak Agustianto, Politik Hukum dalam Ekonomi Syariah, makalah lepas.
    28 Agus tianto, ibid.
    Kapitalisme Runtuh Ekonomi Syariah Berkah
    98 | Volume IV/ Edisi 1/Mei 2013
    Perbankan29 yang kemudian diubah dengan UU No. 10 Tahun 199830 tentang
    Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992. Eksistensi bank syariah
    semakin diperkuat kuat dengan adanya UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank
    Indonesia, yang menyatakan bahwa Bank Indonesia dapat menerapkan
    kebijakan moneter berdasarkan prinsip-prinsip syariah.31 Kedua UU tersebut
    menjadi landasan hukum bagi perbankan nasional untuk menerapkan sistem
    perbankan ganda atau dual banking system.. Bahkan melalui PBI No.
    8/3/PBI/2006 telah dikeluarkan kabijakan office chanelling
    Perbankan syariah memiliki kekhususan dibandingkan dengan
    perbankan konvensional. Pengaturan mengenai perbankan syariah di dalam
    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah
    diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 belum spesifik
    sehingga perlu diatur secara khusus dalam suatu undang-undang tersendiri.
    Sementara itu, berdasarkan rekapitulasi hasil pengamatan secara makro
    Agustianto32 menuturkan bahwa perkembangan industri perbankan dan
    keuangan syariah dalam satu dasawarsa belakangan ini mengalami kemajuan
    yang sangat pesat, seperti perbankan syariah, asuransi syariah, pasar modal
    syariah, reksadana syariah, obligasi syariah, pegadaian syariah, Baitul Mal wat
    Tamwil (BMT). Demikian pula di sektor riil, seperti Hotel Syariah, Multi Level
    Marketing Syariah, dsb. Perkembangan perbankan menurut data Bank
    Indonesia mengalami kemajuan yang spektakuler. 33
    Untuk mengembangkan dan memajukan bank syariah setidaknya ada
    10 pilar yang harus diperhatikan, yakni : peningkatan pelayanan dan
    profesionalisme, inovasi produk, sumber daya insani, perluasan jaringan
    29 Berdasarkan UU No. 7 Tahun 1992 itu bank syariah dipahami sebagai bank bagi hasil.
    Selebihnya bank syariah harus tunduk kepada peraturan perbankan umum yang berbasis konvensional.
    30 Dengan diberlakukannya UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No. 7
    Tahun 1992 tentang Perbankan, landasan hukum bank syariah menjadi cukup jelas dan kuat, baik dari
    segi kelembagaannya maupun landasan operasionalnya. Dalam UU ini „prinsip syariah‟ secara definitif
    terakomodasi.
    31 Simak UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia Pasal 1 angka 7 dan pasal 11).
    32 Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) dan Dosen Pascasarjana PSTTI UI
    Kekhususan Ekonomi dan Keuangan Islam.
    33 Agustianto, Sekjen Ikatan Ahli Ekonomi Islam Indonesia (IAEI) dan Mahasiswa
    Program Doktor Ekonomi Islam UIN Jakarta, dalam salah satu beliau yang berjudul : 10 Pilar
    Pengembangan Bank Syariah.
    Mashudi
    Volume IV/Edisi 1/Mei 2013 | 99
    kantor, peraturan yang mendukung, syari‟ah compliance, edukasi yang
    kontinyu, sinergi, bagi hasil yang kompetitif, dan reorientasi ke sektor riil.
    Model Dinamika adalah sebuah rumusan yang terdiri dari delapan
    prinsip kebijaksanaan politik yang terkait dengan prinsip yang lain secara
    interdisipliner dalam membentuk kekuatan bersama dalam satu lingkaran
    sehingga awal dan akhir lingkaran tersebut tidak dapat dibedakan, terdiri atas :
  2. Kekuatan pemerintah tidak dapat diwujudkan kecuali dengan implementasi
    Syariah; 2. Syariah tidak dapat dilaksanakan kecuali dengan pemerintahan; 3.
    Pemerintah tidak dapat memperoleh kekuasaan kecuali dari rakyat; 4.
    Masyarakat tidak dapat ditopang kecuali oleh kekayaan; 5. Kekayaan tidak
    dapat diperoleh kecuali dari pembangunan; 6. Pembangunan tidak dapat
    dicapai kecuali melalui keadilan; 7. Keadilan merupakan standar yang akan
    dievaluasi Allah pada umat-Nya; 8. Pemerintah dibebankan dengan adanya
    tanggung jawab untuk mewujudkan keadilan.
    Ikhtitam
    Ajaran welfare state Islami, mengupayakan agar setiap orang mengikuti
    ajaran Syariah dalam urusan duniawi dan ukhrawi. Negara harus tetap
    mengawasi semua tingkah laku yang dapat membahayakan pembangunan
    sosial ekonomi seperti ketidakjujuran, penipuan, dan ketidakadilan sebagai
    prasyarat kualitas yang dibutuhkan untuk keharmonisan sosial dan
    pembangunan berdasarkan keadilan. Selain itu, negara harus menjamin
    pemenuhan hukum dan menghormati hak milik individu serta menanamkan
    kesadaran kepada seluruh lapisan masyarakat.
    Apabila pemerintah melaksanakan peranannya secara efektif, maka
    akan menjadi sebuah kontribusi positif dalam pembangunan karena kebutuhan
    masyarakat akan terpenuhi, sehingga mereka akan termotivasi melalui kerja
    keras yang cermat dan efisien. Namun, jika hal itu tidak terlaksana, maka yang
    terjadi adalah kehancuran. Sumber daya yang dibutuhkan negara untuk
    kepentingan itu, diperoleh melalui sistem pajak yang adil dan efisien. Begitu
    pula, kalau dunia telah resah gelisah dengan ekonomi kapitalisme dan
    sosialisme, maka ekomoni syariah di Indonesia hendaknya diberdayakan secara
    sungguh-sungguh untuk mengawal kesejahteraan umat.
    Kapitalisme Runtuh Ekonomi Syariah Berkah
    100 | Volume IV/ Edisi 1/Mei 2013
    DAFTAR PUSTAKA
    Agustianto dalam Makalah berjudul : a. Politik Hukum dalam Ekonomi Syariah; b.
    Membangun Sinergi Untuk Kebangkitan Ekonomi Indonesia; c. Kematian Ilmu
    Ekonomi Kapitalisme dan peluang Ekonomi Syariah; dan d. Ekonomi Syariah
    dan Peradilan Agama.
    A.K, Syakmin, Mengkritisi Pandangan Mochtar Kusuma Atmaja Yang Mengintrodusir
    Hukum Sebagai Sarana Pembaharuan Masyarakat di Indonesia, Draft
    Makalah, Tidak diterbitkan, Palembang, tanpa tahun.
    Azlan Khalil Shamsudin dan Siti Khursiah Mohd Mansor, Pengantar Ekonomi
    Islam, iBook, 2006.
    Darmodiharjo, Darji dan Sidharta, Pokok-Pokok Filsafat Hukum, Gramedia
    Pustaka Utama, Jakarta, 1995.
    Inpres Nomor 1 Tahun 1991 Tentang KHI.
    Khairi, Nuri Dkk, Membedah Peradilan Agama, PPHIM Jateng, 2001.
    Kusumaatmadja, Mochtar, dalam Soetandyo Wignjosoebroto, Dari Hukum
    Kolonial Ke Hukum Nasional: Dinamika Sosial Politik dan Perkembangan
    Hukum di Indonesia, Jakarta, Rajawali Press, 1994.
    ———-. Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Hukum Nasional, PT.
    Binacipta, Bandung, 1986.
    Mahkamah Agung, Pedoman Teknis Administrasi dan Teksin Peradilan Agama,
    2009 (Buku II).
    Mustafa Dakian, Sistem Kewangan Islam, Utusan Publications, 2005.
    Manan, Abdul, Prof. Dr. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan
    Peradilan Agama, Jakarta, 2000.
    Mujahidin, Ahmad, DR. Pembaharuan Hukum Acara Perdata Peradilan Agama dan
    Mahkamah Syari‟ah di Indonesia, Jakarta, 2008.
    Muntaqo, Firman, Efektifitas Hukum Sebagai Alat Rekayasa Sosial, Jurnal Hukum
    Progressif, PDIH Undip Semarang, 2005
    Mashudi
    Volume IV/Edisi 1/Mei 2013 | 101
    Paton, G.W. A Text-book of Jurisprudence, 2nd. Ed, Oxford University Press,
    London, 1951.
    Purbacaraka, Purnadi dan Chidir Ali, Disiplin Hukum, Citra Aditya Bhakti,
    Bandung, 1990.
    Peraturan Pemerintah. Nomor 9 Tahun 1975 Tentang Pelaksanaan Undang-
    Undang Nomor 1 Tahun 1974.
    Peraturan Mahkamah Agung 2 Tahun 2008 Tentang Kompilasi Hukum Ekonomi
    Syari‟ah.
    Peraturan Mentri Agama Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Pencatatan Nikah.
    Rasjidi Lily, Filsafat Hukum: Apakah Hukum Itu?” CV. Remadja Karya,
    Bandung, 1988.
    Rahardjo, Satjipto, Ilmu Hukum, Alumni, Bandung, 2002.
    ———-, Hukum Adat Dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia (Perspektif
    Sosiologi Hukum), Makalah disampaikan pada Lokakarya Hukum Adat
    diselenggarakan oleh Mahkakamah Konstitusi 4-6 Juni 2005.
    Rasyidi, Lili, Dasar-Dasar Filsafat Hukum, Citra Aditya, Bandung, 1990.
    Seidman, Robert B. dalam Ronny Hanitijo Soemitro, The Law of
    Nontransferability of Law Menurut Robert B. Seidman, Badan Penerbit
    Universitas Diponegoro, Semarang, 1998.
    Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 08 Tahun 2008 Tentang Eksekusi
    Putusan Badan Arbritrase Syari‟ah.
    Sarimah Hanim Aman Shah, Ekonomi dari Perpektif Islam, Penerbit Fajar Bakti,
    2006.
    Surtahman Kastin Kasan dan Sanep Ahmad, Ekonomi Islam: Dasar dan Amalan,
    Dewan Bahasa dan Pustaka, Edisi Kedua, 2005.
    Surtahman K.H. dan Sanep Ahmad, Ekonomi Islam: Dasar dan Amalan, DBP,
    2005, xx-xxi.
    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.
    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama.
    Kapitalisme Runtuh Ekonomi Syariah Berkah
    102 | Volume IV/ Edisi 1/Mei 2013
    Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perobahan atas Undang-Undang
    Nomor 7 Tahun 1989.
    Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 Tentang Perobahan kedua Undang-
    Undang Nomor 7 Tahun 1989.
    Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
    Undang-Undang N 21 2008 Tentang Perbankan Syari‟ah.
    Virginia Hooker and Amin Saikal (editors), Islamic Perspectives on the New
    Millenium, ISEAS, 2004.

4 ARTIKEL TENTANG HUKUM EKONOMI SYARIAH

TANTANGAN EKONOMI SYARIAH DALAM MENGHADAPI MASA DEPAN
INDONESIA DI ERA GLOBALISASI
Anis Mashdurohatun
Fakultas Hukum Universitas Islam Sultan Agung Semarang
E-mail: ulmiftah19@yahoo.com
Abstract
In essence, globalization is the best means for Muslims to introduce the culture and the teachings of
Islam to all corners of the world. Islamic economic challenges including the State that in fact many
Muslim population tends to use the capitalist system; In economics and politics in view of the Islamic
State is not strong so it is difficult to prove that the Islamic Economic System is superior to the
capitalist and socialist, and Among the experts was still disagreement on the definition Islamic
Economic System. Islamic Economy Facing Future In Indonesia in the Era of Globalization needs to
consider several factors, namely Mastery Technologies, Sharia-based SME Development, Keeping the
Sharia Economic Excellence, namely Islamic economic system, and also the prohibition of usury.
Keywords: islamic economic, globalization, capitalism
Abstrak
Pada hakikatnya globalisasi merupakan sarana terbaik bagi umat Islam untuk memperkenalkan
budaya dan ajaran Islam ke seluruh penjuru dunia. tantangan ekonomi syariah diantaranya banyak
Negara yang notabene berpenduduk Islam cenderung menggunakan sistem kapitalis;Secara ekonomi
dan politik Negara Islam di pandang tidak kuat sehingga sulit untuk membuktikan bahwa Sistem
Perekonomian Islam lebih unggul daripada kapitalis dan sosialis;serta Diantara para ahli sendiri masih
silang pendapat tentang pengertian Sistem Perekonomian Islam. Ekonomi Syariah Dalam Menghadapi
Masa Depan Indonesia di Era Globalisasi perlu memperhatikan beberapa faktor, yaitu Penguasaan
Teknologi, Pengembangan UKM berbasis Syariah, Menjaga Keunggulan Ekonomi Syariah, yaitu sistem
ekonomi syariah, dan juga pelarangan riba.
Kata kunci: ekonomi syariah, globalisasi, kapitalisme
Pendahuluan
Globalisasi ekonomi sebenarnya sudah
terjadi sejak lama, masa perdagangan rempahrempah,
masa tanaman paksa (cultuur stelsel)
dan masa dimana modal swasta Belanda zaman
kolonial dengan buruh paksa. Pada ketiga periode
tersebut hasil bumi Indonesia sudah
sampai ke Eropah dan Amerika.1 Sebaliknya
impor tekstil dan barang-barang manufaktur.
1 Lihat antara lain Daniel Chirot,1986, Social Change in
The Modern Era , San Diego, New York: Harcourt Brace
Jovanovich, Inc hlm. 32-35; H.R.C. Wright,1961, East-
Indian Economic Problem of the Age of Cornwallis &
Raffles, London: Inzac and Company, Ltd., hlm. 16;
Robert Van Neil, 1964, ”The Function of Land Rent
Under the Cultivation Sistem in Java,” Journal of Asian
Studies 23, hlm. 359; dan R.E. Elson, 1984, Javanese
Peasants and the Colonial Sugar Industri, London:
Oxford University Press, hlm. 34-35.
betapapun sederhananya, telah berlangsung
lama.2
Globalisasi ekonomi sekarang ini adalah
manifestasi yang baru dari pembangunan kapitalisme3
sebagai sistem ekonomi internasional,
2 C.Fasseur,1986,” The Cultivation Sistem and Its Impact
on the Dutch Colonial Economy and the Indigenous
Society in Nineteenth Century Java,” dalam Two
Colonial Empires, ed, C.A, Bayly and D.H.A.Kolf,
Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers, hlm.137.
3 Kapitalisme, menurut Weber, menuntut suatu tatanan
normatif dengan tingkat yang dapat diperhitungkan
(calculability atau predictability) secara akurat. Hasil
penelitian Weber terhadap sistem-sistem hukum yang
ada di zamannya, sampai pada kesimpulan bahwa hanya
hukum modern yang rasional atau memiliki rasionalitas
formal yang bersifat logis yang mampu memberikan
tingkat perhitungan yang dibutuhkan. Legalisme
atau pandangan yang menempatkan peraturan perundang-
undangan sebagai sumber hukum utama dan
terpenting, dipandang memberikan dukungan kepada
perkembangan kapitalisme dengan memberikan suasana
Tantangan Ekonomi Syariah dalam Menghadapi Masa Depan Indonesia di Era Globalisasi 77
Seperti pada waktu yang lalu, untuk mengatasi
krisis, perusahaan multinasional mencari pasar
baru dan memaksimalkan keuntungan dengan
mengekspor modal dan reorganisasi struktur
produksi. Pada tahun 1950 an, investasi asing
memusatkan kegiatan penggalian sumber alam
dan bahan mentah untuk pabrik-pabriknya. Tiga
puluh tahun terakhir ini, perusahaan manufaktur
menyebar keseluruh dunia. Dengan pembagian
daerah operasi melampaui batas-batas
negara, perusahaan-perusahaan tak lagi memproduksi
seluruh produk disatu negara saja.
Manajemen diberbagai benua, penugasan
personel tidak lagi terikat pada bahasa, batas
negara dan kewarganegaraan.4
Pada masa lalu bisnis internasional hanya
dalam bentuk export import dan penanaman
modal. Kini transaksi menjadi beraneka ragam
dan rumit seperti kontrak pembuatan barang,
waralaba, imbal beli, “turnkey project,” alih
teknologi, aliansi strategis internasional, aktivitas
financial, dan lain-lain.5 Globalisasi menyebabkan
berkembangnya saling ketergantungan
pelaku-pelaku ekonomi dunia. Manufaktur,
perdagangan, investasi melewati batasbatas
negara. meningkatkan intensitas persaingan.
Gejala ini dipercepat oleh kemajuan
komunikasi dan transportasi teknologi.6
yang stabil dan dapat diperhitungkan. (lihat David M.
Trubek, “Max Weber on Law and The Rise of Capitalisme”,
Winconsin Law Review, Vol 3, 1992, hlm.

  1. Lihat juga Francis Fukuyama, 2001, Kemenangan
    Kapitalisme dan Demokrasi Liberal (Diterjemahkan dari
    judul asli The End of History and The Last Man)a
    Yogyakarta: Qalam, hlm. 406, 407; Anthony Giddens,
    1986, Kapitalisme dan Teori Sosial Modern (Suatu
    analisis karya-karya Marx, Durkheim dan max Weber),
    Jakarta: UI Press, hlm. 153,154. Lebih lanjut, menurut
    Max Weber, jika hukum hendak difungsikan dalam
    memfasilitasi kehidupan ekonomi, maka harus
    diciptakan hukum yang memiliki beberapa karakteristik,
    yakni: predictability,stability, fairness, education,
    special ability of the lawyer. Lihat Thomas N. Frank,
    “The New Development, Can American Law and Legal
    Institution Help Developing Countries?”, Wisconsin Law
    Review, 1989, hlm. 206.).
    4 Richard C. Breeden,”The globalization of Law and
    Business in the 1990s,” Wake Forest Law Review, vol.28
    No.3 1993, hlm. 514.
    5 S. Tamer Cavusgil, “Globalization of Markets and Its
    Impact on Domestic Institutions.” Global Legal Studies
    Journal, Vol 1, 1993, hlm. 83-86.
    6 Jaqnes Delors,1995, ”The Future of Free Trade in
    Europe and the World,” Fordham International Law
    Journal. Vol. 18, h. 723.
    Dampak dari globalisasi sangat kompleks,
    meliputi liberalisasi dalam sistem perdagangan
    dunia, peningkatan mobilitas tenaga kerja dan
    modal, pembentukan blok perdagangan dan
    penyebarluasan teknologi serta komunikasi.7
    Kwakwa menyatakan bahwa efek terpenting
    globalisasi adalah munculnya pergeseran
    dari sistem ekonomi nasional yang berbedabeda,
    ke arah ekonomi internasional dimana
    produksi menjadi mendunia dan modal serta
    uang bergerak secara cepat dan tidak terelakkan,
    melintasi batas Negara-negara. Globalisasi
    yang terjadi pada perusahaan dan pasar juga
    menggerogoti hukum nasional, dan dalam kasus
    tertentu dapat menyebabkan konflik antara
    kebijakan nasional dan kepentingan internasional.
    Sektor privat di wilayah internasional
    (diwakili oleh perusahaan-perusahaan transnasional)
    memainkan peran yang semakin signifikan
    dalam penentuan kebijakan ekonomi
    baik di tingkat nasional maupun global.
    Santos menyatakan bahwa besarnya arus
    import di negara-negara maju, serta aliran
    investasi asing (Foreign Direct Investment) ke
    negara-negara tersebut telah mengakibatkan
    peningkatan ketidakmerataan pendapatan, kehilangan
    pekerjaan dan rendahnya upah bagi
    pekerja kurang terampil. Sedangkan di negaranegara
    berkembang, globalisasi memberikan
    legitimasi bagi internasional untuk menekan
    Negara berkembang agar melakukan proses
    penyesuaian dan restrukturisasi kebijakan dan
    dengan demikian menerima hegemoni kapital
    internasional dalam wilayah Negara.8
    Kekhawatiran pada dampak globalisasi
    ekonomi tersebut,telah memicu para aktivis
    dunia melakukan aksi penentangan globalisasi
    ekonomi dan liberalisasi perdagangan, karena
    dikhawatirkan akan memperbesar kesenjangan
    7 Dian Rosita, 2010, ”Kedaulatan Negara dalam Pembentukan
    Hukum di Era Globalisasi ,”Jakarta; | http://
    http://www.leip.or.id/. Baca juga Damianus J. Hali,
    “Humanisme dan Peradaban Global”, Jurnal Hukum Pro
    Justitia Vol. 26 No. 2 April 2008 FH Unpar Bandung,
    hlm. 111-127; Victor Purba, “Peranan Hukum dalam
    Global Kompetisi pada Era Globalisasi”, Majalah Hukum
    Pro Justitia Tahun XII No. 2 April 1994 FH Unpar Bandung,
    hlm. 56-62.
    8 Kwakwa, Edward,2000,” Regulating The International
    Economy, What Role For The State,” dalam Michael
    Byers, hlm.217.
    78 Jurnal Dinamika Hukum
    Vol. 11 Edisi Khusus Februari 2011
    ekonomi, yang justru menciptakan petaka kemanusiaan.
    Pada sisi lain, berbagai pihak berharap
    pula agar WTO yang beranggotakan 147
    negara, akan mampu menjaga kepentingan anggotanya
    dari negara-negara berkembang sebagaimana
    ditegaskan dalam Putaran Doha,
    Qatar, tahun 2001.
    Putaran Doha menekankan perdagangan
    dunia yang lebih berimbang dengan memberikan
    akses lebih besar kepada negara-negara
    berkembang. Sebab jika perdagangan dunia
    berlangsung tidak seimbang, liberalisasi perdagangan
    akan menciptakan malapetaka ekonomi
    bagi negara-negara berkembang. Malapetaka
    ekonomi yang dikhawatirkan itu dapat
    saja terjadi, terutama karena kebanyakan negara
    berkembang saat ini belum siap menghadapi
    persaingan global. Perhatian pemerintah
    Negara-negara berkembang saat ini masih
    banyak tersedot ke berbagai persoalan dan kesulitan
    domestik. Kendatipun terdapat kekhawatiran
    bahwa liberalisasi perdagangan kurang
    lebih merupakan bentuk imperialisme baru
    (neoimperialism), dalam arti bahwa keterlibatan
    negara-negara sedang berkembang dalam
    aktivitas perdagangan bebas mengandung resiko
    yang sangat besar, namun keharusan ikutserta
    dalam dunia ekonomi global dan perdagangan
    bebas merupakan sesuatu yang tidak
    mungkin dihindarkan tanpa resiko terkucilkan
    dalam percaturan kehidupan dunia. Sedangkan
    Negara-negara maju dapat memaksakan pendapatnya
    yang merugikan negara-negara berkembang,
    sehingga muncul penilaian bahwa liberalisasi
    perdagangan tidak lebih merupakan
    bentuk penjajahan baru Negara-negara utara
    atas negara-negara selatan. 9
    Fenomena kebangkrutan perusahaan besar
    di Amerika Serikat membuktikan bahwa mereka
    hanya mengejar keuntungan dengan meng-
    9 Dochak Latief, Perekonomian Indonesia Di Tengah
    Liberalisasi Perdagangan dan Pertumbuhan Ekonomi
    Asia-Pasifik Abad-21, dalam Khudzaifah Dimyati & Kelik
    Wardiono ed., 2004, Problema Globalisasi Perspektif
    Sosiologi Hukum, Ekonomi dan Agama, Surakarta:
    Muhammadiyah University Pers, hlm. 166. Lihat juga
    Taryana Soenandar, “Perdagangan Bebas dan Harmonisasi
    Hukum: Kajian atas Doktron “Lex Mercatoria”,
    Jurnal Keadilan Vol. 1 No. 5 November-Desember 2001,
    hlm. 1-4.
    halalkan segala cara. Kasus Enron dan Arthur
    Andersen, memanipulasi akuntansi laporan keuangan
    untuk meningkatkan keuntungan, ternyata
    berdampak pada kehancuran raksasa
    tersebut.
    Krisis ekonomi kapitalis telah terjadi berulangkali.
    Dari Rusia sampai ke Venezuela dalam
    kurun waktu 50 tahun terakhir ini, menyebabkan
    penderitaan ekonomi, pendapatan menurun,
    kelaparan, kerusuhan, dan meningkatnya
    kriminalitas. Bila diperhatikan visi ekonomi
    kapitalis ternyata lebih mengutamakan pemilik
    modal, memperlakukannya sebagai motor penggerak,
    inisiator, leader dan otomatis akan
    menjadi penerima berkah. Di sisi lain, pekerja
    dan profesional sebegai pelengkap penderita
    saja. Kapitalisme mengabaikan aspek transendental,
    moral dan ketuhanan. Dasar filosofi
    rasionalisme sekuler inilah yang menyebabkan
    ketidakseimbangan yang berdampak pada kerusakan
    alam, kemiskinan, kerusuhan sosial,
    hingga menimbulkan berbagai krisis berkelanjutan.
    10
    Fondasi Kapitalisme adalah monetary based
    economy bukan real based economy, sehingga
    rente ekonomi yang diperoleh bukan
    berdasarkan hasil investasi produktif, namun
    dari investasi spekulatif. Kenyataan bahwa
    uang yang beredar melalui transaksi di Wall
    Street adalah US$ 3 triliun/hari, dimana 90%
    kegiatannya spekulatif tanpa kontribusi dalam
    perluasan lapangan kerja dan rakyat kecil.
    Sehingga uang sebesar itu tidak menyentuh
    pada rakyat kecil.
    Ekonomi kapitalis tidak pro-UMKM. Perusahaan
    kecil tetap saja kecil sesuai hukum Deminishing
    Marginal Return. Perusahaan-perusahaan
    besar yang mempengaruhi perekonomian
    dunia antara lain Protecter & Gamble, Ford
    General Motors (GM), Westing House & General
    Electric (GE) serta Siemens & AEG. Dari 200
    Multi National Corporation menguasai 25% pasar
    dunia, namun hanya menyerap 1% tenaga kerja.
    Presiden George Bush pada Maret 2008
    mengakui kelemahan sistem kapitalis dan se-
    10 Conrad Hendrarto, 2008, ”Ambruknya Kapitalis dan
    Saat Bangkitnya Ekonomi Syariah, hlm. 1-2.
    Tantangan Ekonomi Syariah dalam Menghadapi Masa Depan Indonesia di Era Globalisasi 79
    tuju mengatur kembali semua lembaga keuangan.
    Pada pertemuan G-8 tahun 2008, di Davos-
    Swiss, George Soros menegaskan gejolak pasar
    keuangan global tidak bisa diatasi dengan penurunan
    suku bunga atau penyuntikan dana.
    Banyaknya kepalsuan dalam laporan keuangan,
    dan maraknya praktek-praktek penipuan menyebabkan
    lembaga keuangan global terjerambab
    dalam kebangkrutan massal. Kondisi keuangan
    tersebut menunjukan bahwa sistem
    yang berjalan tidak Islami. Namun yang menjadi
    pertanyaan saat ini, walaupun Bush menyetujui
    perubahan sistem ekonomi dunia, dan
    Soros menyarankan pengaturan pasar uang
    ketat dan mengurangi kucuran kredit ke sektor
    spekulatif, apakah mereka melihat potensi
    ekonomi syariah? Inilah tantangan nyata bagi
    ekonomi syariah untuk membuktikan bahwa
    Islam itu rahmatan lil ’alamin.
    Sejarah pergerakan ekonomi Islam di
    Indonesia sebenarnya telah berlangsung sejak
    tahun 1911, yaitu sejak berdirinya organisasi
    Syarikat Dagang Islam yang dibidani oleh para
    entrepreneur dan para tokoh Muslim saat itu.
    Bahkan jika kita menarik sejarah jauh ke
    belakang, jauh sebelum tahun 1911, peran dan
    kiprah para santri (umat Islam) dalam dunia
    perdagangan cukup besar. Banyak penelitian
    para ahli sejarah dan antropologi yang membuktilan
    fakta tersebut.
    Clifford Geertz, antropolog AS terkemuka,
    menyatakan bahwa di Jawa, para santri
    reformis mempunyai profesi sebagai pedagang
    atau wirausahawan dengan etos entrepreneurship
    yang tinggi. Sementara dalam buku “The
    Religion of Java” (1960), Geertz menulis, Pengusaha
    santri (muslim) adalah mereka yang
    dipengaruhi oleh etos kerja Islam yang hidup di
    lingkungan di mana mereka bekerja. Fakta ini
    merupakan hasil studi, Clifford Geertz, dalam
    upaya untuk menyelidiki siapa di kalangan muslim
    yang memiliki etos entrepreneurship seperti
    “Etik Protestantisme”, sebagaimana yang
    dimaksud oleh Max Weber. Geertz menemukan,
    bahwa etos itu ada pada kaum santri yang
    ternyata pada umumnya memiliki etos kerja
    dan etos kewiraswastaan yang lebih tinggi dari
    kaum abangan yang dipengaruhi oleh elemenelemen
    ajaran Hindu dan Budha.
    Perkembangan bank syariah mulai terasa
    sejak dilakukan amandemen terhadap UU No.
    7/1992 menjadi UU No. 10/1998 yang memberikan
    landasan operasi yang lebih jelas bagi bank
    syariah. Sebagai tindak lanjut UU tersebut,
    Bank Indonesia (BI) mulai memberikan perhatian
    lebih serius terhadap pengembangan perbankan
    syariah, yaitu membentuk satuan kerja
    khusus pada April 1999. Satuan kerja khusus ini
    menangani penelitian dan pengembangan bank
    syariah (Tim Penelitian dan Pengembangan
    Bank Syariah dibawah Direktorat Penelitian dan
    Pengaturan Perbankan) yang menjadi cikal
    bakal bagi Biro Perbankan Syariah yang dibentuk
    pada 31 Mei 2001, dan sekarang resmi
    menjadi Direktorat Perbankan Syariah Bank
    Indonesia sejak Agustus 2003.
    Semakin banyakya jumlah bank syariah,
    struktur pasar syariah pun berubah dari monopoli
    menjadi oligopoli, yang menyebabkan
    semakin tingginya tingkat persaingan diantara
    bank syariah. Sehingga, agar mampu bersaing
    dengan bank konvensional, bank inipun mengubah
    strateginya. Sampai dengan Desember
    2003,pemain dalam industri perbankan syariah
    terdiri dari 2 bank umum syariah (BUS) dan 8
    unit usaha syariah (UUS) dari bank umum
    konvensional (BUK) yang seluruhnya memiliki
    jaringan kantor berjumlah 119 KCS (Kantor
    Cabang Syariah), serta 84 BPRS (Bank Perkreditan
    Rakyat Syariah). Peningkatan jumlah
    pemain dalam industri perbankan syariah
    terlihat cukup pesat bila dibandingkan keadaan
    akhir tahun 1998 yang hanya berjumlah 1 BUS
    dengan 8 KCS dan 78 BPRS.
    Minat investor untuk membuka kantor
    bank syariah tidak hanya terbatas di pulau Jawa
    tetapi juga telah menyebar ke pulau lainnya,
    antara lain: Sumatera (Banda Aceh,Medan,
    Padang, Palembang dan Pekanbaru); Kalimantan
    (Balikpapan dan Banjarmasin); Sulawesi
    (Makasar); Madura (Pamekasan); dan Irian Jaya
    (Jayapura).
    Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa
    berat sekali kalau negara-negara berkembang
    seperti Indonesia harus menghadapi globalisasi
    80 Jurnal Dinamika Hukum
    Vol. 11 Edisi Khusus Februari 2011
    kapitalisme dengan cara melawannya. Sejalan
    dengan perkembangan ekonomi dunia yang
    telah berlangsung sejak lama, pembagian kerja
    di dunia sudah berubah dan bangsa-bangsa di
    dunia harus pandai-pandai meninjau kembali
    siasat yang dipilihnya dalam rangka perubahan
    tersebut.11 Berdasarkan uraian latar belakang
    tersebut, penulis akan membahas mengenai
    tantangan ekonomi syariah dalam menghadapi
    masa depan indonesia di era globalisasi.
    Pembahasan
    Kepercayaan masyarakat merupakan jiwa
    industry perbankan.12 Perkembangan ekonomi
    syariah, terlihat dalam proses pertumbuhan
    perbankan syariah dari tahun ke tahun, walau
    pun pertumbuhan Bank Syariah agak melambat
    pada tahun 2005, tetapi lihak Bank Indonesia
    dan juga para stakeholder yang terlibat dalam
    pengembangan ekonomi dan perbankan Syariah
    masih mempunyai keyakinan bahwa Bank Syariah
    akan terus berkembang pada tahun 2006
    dan tahun-tahun selanjutnya seiring berkembangnya
    aplikasi-aplikasi ekonomi berbasiskan
    prinsip-prinsip Syariah di Indonesia.
    Pada hakikatnya globalisasi merupakan
    sarana terbaik bagi umat Islam untuk memperkenalkan
    budaya dan ajaran Islam ke seluruh
    penjuru dunia. Seperti yang telah tercantum
    dalam Al Quran bahwa tidak ada
    pemaksaan dalam agama, umat Islam dapat
    menawarkan budaya, ideologi, dan gaya hidup
    Islami, kepada dunia dengan menampilkan
    keteladanan Rasulullah dan para nabi lainnya.
    Tauhid, kesederhanaan, kejujuran, dan etika,
    merupakan di antara hikmah Islami yang saat
    ini dinanti umat manusia modern. Peluang
    inilah yang harus dimanfaatkan dengan baik
    oleh umat Islam dalam mewujudkan kehidupan
    dan masyarakat yang diridhoi oleh Allah.
    11 Satjipto Rahardjo, Pembangunan Hukum di Indonesia
    Dalam Konteks Situasi Global, dalam Khudzaifah Dimyati
    & Kelik Wardiono ed., 2004, Problema Globalisasi
    Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi dan Agama,
    Surakarta: Muhammadiyah University Pers, hlm. 12.
    12 Zulkarnain Sitompul, ”Analisis Hukum Kewenangan
    Lembaga Penjamin Simpanan Dalam Pembubaran Dan
    Likuidasi Perseroan Terbatas,” Jurnal Hukum Bisnis,
    Volume 28-No.3-Tahun 2009, hlm. 36.
    Tantangan Ekonomi Syariah dalam Menghadapi
    Masa Depan Indonesia di Era Globalisasi
    Ekonomi syariah berpotensi menggantikan
    posisi ekonomi konvensional, namun dalam
    penerapannya banyak kendala dan tantangan
    yang dihadapi antara lain masih diberlakukannya
    pajak ganda di perbankan syariah; belum
    siapnya dukungan SDM ekonomi syariah; tidak
    ada kurikulum ekonomi syariah di sekolah
    umum, sehingga pemahaman, kesadaran serta
    kepedulian masyarakat rendah; persepsi negatif
    sekelompok muslim dan non-muslim yang takut
    mengaplikasikan hukum syariah secara kafah;
    belum kuatnya dukungan parpol Islam untuk
    menerapkan ekonomi syariah; meningkatnya
    apresiasi masyarakat dan kegairahan memperluas
    pasar ekonomi syariah belum diikuti dengan
    edukasi yang memadai;
    Menurut identifikasi Bank Indonesia, yang
    disampaikan pada Seminar Akhir Tahun Perbankan
    Syariah 2005, kendala-kendala perkembangan
    Bank Syariah di samping imbas kondisi
    makro ekonomi, juga dipengaruhi oleh hal-hal
    sebagai berikut. Pertama, jaringan kantor pelayanan
    dan keuangan Syariah masih relatif
    terbatas; kedua, sumber daya manusia yang
    kompeten dan professional masih belum optimal;
    ketiga, pemahaman masyarakat terhadap
    Bank Syariah sudah cukup baik, namun
    minat untuk menggunakannya masih kurang;
    keempat, sinkronisasi kebijakan dengan institusi
    pemerintah lainnya berkaitan dengan transaksi
    keuangan, seperti kebijakan pajak dan
    aspek legal belum maksimal; kelima, rezim suku
    bunga tinggi pada tahun 2005; dan keenam,
    fungsi sosial Bank Syariah dalam memfasilitasi
    keterkaitan antara voluntary sector dengan
    pemberdayaan ekonomi marginal masih belum
    optimal.
    Untuk mengantisipasi kendala jaringan
    kantor pelayanan Bank Syariah, pihak BI yelah
    membuat regulasi tentang kemungkinan pembukaan
    layanan Syariah pada counter-counter
    Unit Kovensional Bank-Bank yang telah mempunyai
    Unit Usaha Syariah melalui PBI No.8/3/
    PBI/2006 tanggal 30 Januari 2006. Dengan demikian,
    diharapkan masalah jaringan pelayanan
    Tantangan Ekonomi Syariah dalam Menghadapi Masa Depan Indonesia di Era Globalisasi 81
    dan keuangan Syariah dapat diatasi karena
    masyarakat dapat dilayani dimana saja saat
    membutuhkan transaksi Bank Syariah.
    Bank Indonesia dan para stakeholder yang
    terlibat lainnya yakin bahwa pengembangan
    Bank Syariah dianggap masih mempunyai prospek
    yang tinggi, jika kendala jaringan dapat
    diatasi. Hal tersebut diyakini karena peluang
    yang besar dan dapat dilihat dari hal-hal sebagai
    berikut. Pertama, respon masyarakat
    yang antusias dalam melakukan aktivitas ekonomi
    dengan menggunakan prinsip-prinsip
    Syariah; kedua, kecenderungan yang positif di
    sektor non-keuangan/ ekonomi, seperti sistem
    pendidikan, hukum dan lain sebagainya yang
    menunjang pengembangan ekonomi Syariah
    nasional; ketiga, pengembangan instrumen
    keuangan Syariah yang diharapkan akan semakin
    menarik investor/ pelaku bisnis masuk
    dan membesarkan industri Perbankan Syariah
    Nasional; dan keempat, potensi investasi dari
    negara-negara Timur Tengah dalam industri
    Perbankan Syariah Nasional.
    Berkaitan dengan tantangan ekonomi syariah
    yang harus di hadapi oleh bangsa Indonesia
    untuk menuju kemajuan ekonomi syariah
    adalah sistem kapitalis khususnya, terlanjur
    mendominasi sistem perekonomian di dunia
    bahkan banyak Negara yang notabene berpenduduk
    Islam cenderung menggunakan sistem
    kapitalis walaupun dalam penerapannya terdapat
    modifikasi; secara ekonomi dan politik
    tidak Negara Islam yang di pandang kuat sehingga
    sulit untuk membuktikan bahwa sistem
    perekonomian Islam lebih unggul daripada kapitalis
    dan sosialis; dan di antara para ahli sendiri
    masih silang pendapat tentang pengertian
    Sistem Perekonomian Islam.13
    Hal-hal yang perlu diperhatikan ekonomi
    syariah dalam menghadapi masa depan Indonesia
    di Era Globalisasi, diantaranya adalah
    sebagai berikut. Pertama, penguasaan teknologi.
    Menurut sebagian ekonom perkembangan
    teknologi merupakan bagian yang paling penting
    dari determinan-determinan suatu pembangunan
    ekonomi.
    13 Muhammad, 2004, Ekonomi Mikro dalam Perpektif
    Islam, Yogyakarta: BPFE,hlm. 6-7.
    Lebih jauh lagi Schumpter mengatakan
    bahwa “Economic Growth does not follow a
    gradual, historical and continuous process; it
    occurs by discontinuous spurts in dynamic
    world. This dynamism and discontinuous
    process is facilitated by innovation leading to
    technological change.”14
    Islam menganjurkan adanya Inovasi dan
    perkembangan teknologi. Hanya saja Islam lebih
    menekankan Appropritate Technology bukan
    sophisticated technology. Suatu hal yang
    kurang dipahami oleh kebanyakan Negara
    muslim sehingga mereka banyak dirugikan oleh
    teknologi bukan mengambil kemanfaatan
    darinya.
    Ada tiga hal yang harus diperhatikan dalam
    konsep technological change dari sudut
    pandang Islam, yaitu (a) Rasulullah SAW perbah
    bersabda, ”barangsiapa melakukan suatu inovasi
    sehingga menemukan sesuatu yang baik
    maka baginya pahala dan orang yang mengambil
    manfaat darinya”; (b) Islam menyeru
    untuk melakukan eksplorasi dari apa yang ada
    di langit dan di bumi untuk kepentingan manusia.
    Dalam Qur’an terdapat tanda-tanda (S. Al-
    Jaatsiyah (25) : 13, ”dan dia menundukkan untukmu
    apa yang ada dilangit dan apa yang ada
    di bumi semuanya, (sebagai rahmat ) dari-Nya.
    Sesungguhnya pada yang demikian itu benarbenar
    terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah)
    bagi kaum yang berpikir”; dan (c) Islam memberikan
    proteksi dalam setiap inovasi yang
    diniati untuk kebaikan. Hal ini sesuai dengan
    semangat hadis: “Barang siapa berijtihat dan
    benar, maka baginya dua pahala, dan apabila
    ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu
    pahala.”15
    Kedua, pengembangan UKM yang berbasis
    syariah. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dalam
    ajaran Islam adalah ajaran yang sangat
    memperhatikan kepentingan kaum lemah. Dalam
    QS 59 ayat 7 Allah SWT melarang berputarnya
    harta (modal) hanya dikalangan orangorang
    kaya saja. Berdasarkan ayat ini, maka
    14 Schumpte, 1972, A. J. The History of Economic Analysis,
    London: Geoerge Allen And Unwin.
    15 Ahmad Izzan,2006,Referensi Ekonom Syariah Ayat-Ayat
    Al-quran yang berdimensi Ekonomi, Bandung: PT Remaja
    Rosdakarya
    82 Jurnal Dinamika Hukum
    Vol. 11 Edisi Khusus Februari 2011
    kita dapat mengambil pelajaran bahwasanya
    aktivitas perekonomian hendaknya melibatkan
    partisipasi aktif dari kelompok masyarakat
    kelas menengah kebawah, yang notabene mereka
    adalah mayoritas di suatu negara. Tidak
    hanya didominasi kelompok-kelompok elite
    saja.
    Pengembangan UKM sebagai institusi yang
    mampu mengaktifkan partisipasi masyarakat
    harus mendapat perhatian kita semua. Jika kita
    melihat kenyataan, maka pada umumnya negara-
    negara muslim di dunia saat ini berada
    dalam kategori negara berkembang, dimana
    mereka memiliki surplus jumlah tenaga kerja,
    kekurangan modal dan alat tukar perdagangan
    luar negeri, serta minimnya infrastuktur pendidikan
    dalam pengembangan teknologi. Dengan
    kondisi tersebut, maka pilihan untuk
    mengembangkan usaha kecil dan menengah
    (UKM) merupakan pilihan yang sangat tepat
    dalam rangka mereduksi pengangguran dan
    menyerap angkatan kerja yang ada dengan
    membuka lapangan pekerjaan baru. Bahkan
    menurut Imam Hasan al-Bana, dalam diskusinya
    tentang reformasi ekonomi dalam ajaran Islam,
    usaha kecil dan menengah ini akan mampu
    membantu menyediakan lapangan kerja produktif
    bagi keluarga miskin, dan kemudian akan
    meminimalisir tingkat kemiskinan yang ada.
    Muhammad Yunus pun menegaskan bahwa
    upah pekerjaan bukanlah jalan bahagia dalam
    mereduksi kemiskinan, tetapi mengembangkan
    usaha sendiri lebih memiliki potensi
    untuk mengembangkan basis aset seseorang.
    Fakta juga membuktikan bahwa strategi industrialisasi
    dalam skala besar ternyata belum
    mampu menyelesaikan problematika pengangguran
    dan kemiskinan secara global. Bahkan
    dalam sebuah studi yang dilakukan oleh Michigan
    State University, Amerika Serikat, di
    sejumlah negara, ternyata ditegaskan bahwa
    UKM telah memberikan kontribusi nyata yang
    sangat berharga didalam menciptakan lapangan
    pekerjaan dan meningkatkan pendapatan.
    Di samping itu, UKM ini pun mampu mengembangkan
    eksport dan mengoptimalkan SDM
    yang ada, walaupun dengan akses kredit yang
    sangat minim baik dari pemerintah maupun
    perbankan. Dalam studi tersebut, juga disimpulkan
    bahwa UKM ini telah secara konsisten
    mampu menghasilkan output per unit modal,
    lebih besar dengan dari apa yang telah dihasilkan
    oleh industri skala besar. UKM ini telah
    menjadi alat yang efektif didalam meningkatkan
    kontribusi sektor privat baik dalam pertumbuhan
    maupun pemerataan yang obyektif di
    negara-negara berkembang. Jika kita melihat
    pengalaman Jepang misalnya, maka salah satu
    kunci keberhasilan ekspor Jepang yang luar
    biasa tersebut adalah karena kemampuannya
    didalam membangun persaingan domestik di
    antara perusahaan-perusahaan yang memberikan
    sub kontrak pekerjaan mereka kepada
    industri UKM. Industri UKM di Jepang telah
    mampu menghasilkan 50 % dari total keseluruhan
    output industrinya, dan menyerap 75 %
    angkatan kerja Jepang. Begitu pula dengan
    bisnis retailnya, yang 75 persennya dikelola
    oleh usaha toko keluarga yang dilindungi oleh
    hukum.
    Di Jerman sendiri pun, kesadaran untuk
    mengembangkan usaha kecil menengah semakin
    besar, karena ternyata industri rumah
    tangga mampu memainkan peran signifikan
    dalam perekonomian Jerman. Tetapi jika kita
    melihat kondisi Indonesia, maka kita akan
    sangat miris melihat kenyataan bahwa UKM ini
    belum mendapatkan perhatian yang memadai
    dari pemerintah, padahal angka pengangguran
    kita sangat tinggi, yaitu 40 juta orang atau 18 %
    dari total keseluruhan jumlah penduduk.
    Strategi Pengembangan UKM
    UKM ini di negara-negara muslim termasuk
    Indonesia perlu didorong perkembangan.
    Tentunya membutuhkan perubahan yang sangat
    revolusioner dalam lingkungan sosial ekonomi.
    Pertama, harus ada perubahan gaya hidup dari
    ketergantungan terhadap produk impor menjadi
    kebiasaan mengkonsumsi produk domestik.
    Ini akan mendorong konsumsi produk dalam
    negeri yang akan menstimulasi berkembangnya
    industri dalam negeri.
    Kedua, harus ada perubahan sikap dan
    kebijakan dari pemerintah didalam memandang
    UKM, bahwa UKM ini harus mendapat dukungan
    Tantangan Ekonomi Syariah dalam Menghadapi Masa Depan Indonesia di Era Globalisasi 83
    penuh. Ketiga, industri UKM ini harus mendapat
    dukungan dalam mendapatkan input produksi
    yang lebih baik, teknologi yang tepat guna,
    teknik pemasaran yang efektif, dan pelayanan
    lain yang memungkinkan mereka memiliki
    kemampuan bersaing dengan industri besar,
    baik persaingan harga maupun kualitas.16
    Keempat, UKM ini harus mampu meningkatkan
    skill dan kemampuannya. Tentu saja pemerintah
    harus menyediakan fasilitas training
    yang memadai dan institusi pendidikan yang
    berkualitas. Kelima, industri UKM ini harus
    diberi akses yang luas terhadap keuangan,
    dimana hal ini seringkali menjadi sumber
    masalah yang menghambat perkembangannya.
    Keenam, pemerintah harus mampu mengeliminasi
    berbagai hambatan yang akan merintangi
    perkembangan dan ekspansi industri UKM.
    Pencapaian tujuan untuk substitusi impor dan
    promosi ekspor tidak akan dapat direalisasikan
    melalui pengembangan UKM jika industri ini
    tidak dibantu untuk mampu mengembangkan
    efisiensi teknologi yang memungkinkan mereka
    untuk bersaing secara efektif. Karena itu adalah
    langkah yang tepat jika dikembangkannya
    teknologi tepat guna yang berbasis sumberdaya
    lokal. Hal ini sangat menguntungkan karena
    membutuhkan modal yang minimal, cocok
    diterapkan di negara-negara berkembang yang
    masih memiliki kelemahan dalam institusi pendidikannya,
    dan mampu melepaskan diri dari
    ketergantungan terhadap teknologi impor. Industri
    UKM ini pun harus didorong untuk dapat
    berkembang di daerah pedesaan dan kota-kota
    kecil. Hal ini akan mengurangi perbedaan dan
    ketimpangan pendapatan secara regional, mereduksi
    konsentrasi penduduk di daerah kotakota
    besar semata, meningkatkan pendapatan
    dan standar hidup, serta akan lebih memeratakan
    pendapatan dan kesejahteraan.
    Menjaga Keunggulan Ekonomi Islam (Islam sebagai
    Sistem Memiliki Aturan Sistem yang
    Berbeda dengan Sistem yang Lain)
    16 Lihat dan bandingkan dengan tulisan Syamsul Rizal,
    “Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan Menurut
    Perundang-undangan tentang Usaha Kecil”, Majalah
    Hukum Vol. 8 No. 2 Agustus 2003 FH USU Medan, hlm.
    158-172.
    Islam didasarkan pada tiga prinsip pokok
    yaitu : tauhid, khilafah dan adalah (keadilan),
    yang jelas pula merupakan sumber utama dari
    maqasyid dan strategi ekonomi Islam. Batu
    fondasi percayaan Islam adalah Tauhid. Bahwa
    alam teralih dirancang dengan sadar dan
    diciptakan oleh Wujud Tertinggi, Yang Esa dan
    tidak ada yang menyamai-Nya, bukan terjadi
    secara kebetulan. Dia terlibat secara aktif dalam
    hukum-hukum Alam. Segala sesuatu yang
    diciptakannya mempunyai tujuan. Tujuan inilah
    yang menjadikan wujudnya Alam ini dimana
    manusia adalah bagian darinya, berarti penting.
    Dan manusia adalah khalifah Tuhan di
    bumi, dan telah diberkahi dengan semua kelengkapannya.
    Konsep khalifah ini memiliki sejumlah
    implikasi, atau akibat yang wajar, yatu:
    persaudaraan universal , sumber-sumber daya
    adalah amanat, gaya hidup sederhana dan kebebasan
    manusia.
    Islam, dalam hal Ádalah (keadilan) berpandangan
    bahwa tanpa disertai keadilan sosial
    ekonomi, persaudaraan ,yang merupakan satu
    bagian integral dari konsep tauhid dan khilafah,
    akan tetap menjadi sebuah konsep yang berlubang
    yang tidak memiliki substansi. Keadilan
    adalah sebuah ramuan sangat penting dari
    maqashid, sulit untuk dapat memahami sebuah
    masyarakat Muslim yang ideal tanpa adanya
    keadilan di situ. Islam benar-benar tegas dalam
    tujuannya untuk membasmi semua jejak kezaliman
    dan masyarakat manusia. Kezaliman
    adalah sebuah istilah menyeluruh yang mencakup
    semua bentuk ketidakadilan, eksploitasi,
    penindasan dan kemungkaran, dimana seseorang
    mencabut hak-hak orang lain atau tidak
    memenuhi kewajiban kepada mereka. Penegakan
    keadilann dan pembasmian semua bentuk
    ketidakadilan telah ditekankan oleh Al Qurán
    sebagai misi utama dari semua Nabi yang diutus
    Tuhan.
    Komitmen Islam yang besar pada persaudaraan
    dan keadilan menuntut agar semua
    sumber daya yang tersedia bagi ummat manusia,
    amanat suci dari Tuhan digunakan untuk
    mewujudkan maqahid asy-Syariah, empat di
    antaranya cukup penting, yakni: pemenuhan
    kebutuhan, penghasilan yang diperoleh dari
    84 Jurnal Dinamika Hukum
    Vol. 11 Edisi Khusus Februari 2011
    sumber yang baik, distribusi pendapatan dan
    kekayaan yang adil dan pertumbuhan dan stabilitas.
    Tidak seperti kapitalisme dan sosialisme,
    tujuan-tujuan islam adalah suatu hasil
    mutlak dn logis dari filsafat yang mendasarinya.
    Untuk masyarakat Muslim mewujudkan tujuantujuannya,
    diperlukan suatu strategi yang juga
    merupakan hasil logis dari filsafat yang mendasarinya.
    Strategi ini meliputi regorganisasi seluruh
    sistim ekonomi dengan empat unsur penting
    yang saling mendukung. Pertama, suatu mekanisme
    filter yang disepakati masyarakat, yaitu
    moral, dengan mengubah skala preferensi individu
    sesuai dengan tuntutan khilafah dan adalah;
    kedua, suatu sistim motivasi yang kuat
    untuk mendorong individu agar berbuat sebaikbaiknya
    bagi kepentingannya sendiri dan masyarakat,
    dengan dasar pertanggung jawaban
    kepada Tuhan dan Hari Akhir; ketiga, restrukturisasi
    seluruh ekonomi, dengan tujuan mewujudkan
    maqashid meskipun sumber-sumber
    yang ada itu langka, dengan dasar lingkungan
    sosial yang kondusif untuk menaati aturanaturan
    pengamatan dengan tidak mengizinkan
    pemilikan materi dan konsumsi yang mencolok
    sebagai sumber pretise; dan keempat, suatu
    peran pemerintah yang berorientasi tujuan
    yang positif dan kuat.
    Pihak nasabah dalam dunia perbankan
    merupakan unsur yang sangat berperan sekali,
    mati hidupnya dunia perbankan berstandar
    kepada kepercayaan dari pihak masyarakat
    atau nasabah.17 Dari segi internal perbankan
    syariah dengan sedikit mengutip dari hasil
    Islamic Financial Institutions Forum di Bahrain
    tahun 1998, beberapa faktor kunci sebagai persiapan
    perbankan syariah menuju abad mendatang
    agar dapat hadir pada perbankan modern
    dan memiliki daya saing yang handal.
    Sumber daya manusia (SDM) merupakan faktor
    penentu dalam membangun bank syariah yang
    solid dan profesional. Bank syariah memerlukan
    17 Syamsul Hoiri, ”Lembaga Medisasi Perbankan: Sejauh
    Mana Efektivitasnya?,” Jurnal hukum Bisnis Volume 28-
    No.2-Tahun 2009, hlm. 47.
    SDM yang memiliki dua sisi kemampuan yaitu
    ketrampilan pengelolaan operasional (profesionalism)
    dan pengetahuan syariah yang dilengkapi
    dengan akhlak dan integritas yang tinggi.
    Faktor kedua adalah kemampuan bank dalam
    menyediakan produk dan jasa bank yang dapat
    memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan demikian
    akan berkaitan erat dengan kemampuan
    dalam pengembangan produk yang kompetitif
    dan melayani segmen nasabah potensial. Pengembangan
    produk bank akan berperan kuat
    SDM bank, institusi pengawas produk dan jasa
    bank yaitu dewan pengawas syariah dan dewan
    syariah nasional.
    Namun demikian keahlian dan pengetahuan
    SDM bank akan menjadi pemain utama yang
    menentukan. Faktor ketiga adalah pengembangan
    teknologi bank termasuk teknologi sistem
    informasi. Teknologi sistem informasi yang
    tepat guna akan menjadikan bank beroperasi
    lebih efisien. Di beberapa negara kaya minyak
    di timur tengah (Bahrain, Arab Saudi, Kuwait,
    Qatar, UAE) kecanggihan teknologi informasi
    bank syariah sangat menonjol, sehingga mampu
    menyediakan data dan pelayanan jasa kepada
    masyarakat melalui produk-produk bank yang
    modern seperti phone banking, smart card,
    financing/investment products, dan lain-lain.
    Faktor-faktor tersebut merupakan penentu keberhasilan
    yang bersifat mendasar, tentunya
    masih banyak faktor lain yang juga turut menentukan
    keberhasilan bank syariah dengan
    memperhatikan kondisi lingkungan bisnis, geografis,
    sektor industri yang potensil, serta heterogenitas
    budaya masyarakat di suatu daerah
    atau negara yang tentunya berbeda. Namun
    demikian kita semua patut bersyukur dengan
    perkembangan perbankan syariah yang mulai
    menunjukkan eksistensinya sebagai suatu sistem
    perbankan yang memiliki manfaat dalam
    perekonomian umat muslim khususnya serta
    bagi anggota masyarakat non-muslim lainnya
    sebagai rahmat bagi seluruh umat manusia
    menjelang millenium baru, suatu tantangan
    pengembangan dan juga suatu harapan bagi
    kemajuan perekonomian.
    Ada 5 (lima) keunggulan Bank Syariah
    yang belum diketahui oleh banyak orang.
    Tantangan Ekonomi Syariah dalam Menghadapi Masa Depan Indonesia di Era Globalisasi 85
    Pertama, fasilitas selengkap bank konvensional.
    Banyak orang yang berpikiran bahwa karena
    perbankan syariah masih baru, jenis transaksi
    yang dapat dilakukan hanya sedikit. Anggapan
    tersebut dulu mungkin bisa dimengerti, tapi
    sekarang sama sekali tidak benar. Bank Syariah
    saat ini sangat modern. Semua jenis transaksi
    mulai dari tabungan, deposito, kredit usaha,
    kredit rumah, kliring, dan sebagainya dapat
    dilakukan dengan nyaman.
    Mayoritas Bank Syariah terhubung dengan
    jaringan online ATM Bersama sehingga Anda
    dapat tarik tunai dan transfer realtime dari/ke
    bank lain dengan mudah. Beberapa Bank ada
    yang menggratiskan biaya untuk ini. Beberapa
    Bank Syariah yang memberikan layanan Internet
    Banking, SMS Banking, bahkan kartu kredit
    syariah sehingga lebih praktis.
    Kedua, manajemen finansial yang lebih
    aman. Tragedi finansial kredit subprime tahun
    2007 nyaris tidak menggoyahkan investasi yang
    berbasis syariah. Di saat banyak bank investasi
    dan bank-bank besar bangkrut maupun membutuhkan
    kucuran dana, banyak Bank Syariah
    baru yang justru bermunculan atau buka cabang.
    Krisis ekonomi justru telah memuktikan
    bahwa manajemen finansial berbasis syariah
    jauh lebih aman dibandingkan ekonomi liberal
    yang dianut bank konvensional.
    Ketiga, anda berkontribusi langsung
    memperkuat bank syariah anda. Bank konvensional
    menentukan sendiri suku bunga pinjaman
    maupun simpanan berdasarkan ketetapan Bank
    Indonesia. Ada kemungkinan meski kondisi bank
    kurang baik, tetap dapat “memberikan” bunga
    simpanan tinggi dan bunga kredit rendah. Hal
    ini dapat membahayakan bank tersebut. Bank
    Syariah memberikan nisbah (”bunga” simpanan)
    berdasarkan perkembangan finansial perusahaan.
    Secara tidak langsung Anda menjadi “pemegang
    saham” di Bank Syariah Anda. Setiap simpanan
    Anda akan memperkuat investasi bank.
    Setiap pinjaman Anda akan memperkuat keuntungan
    bank. Semakin usaha Anda berkembang,
    bank juga semakin berkembang karena kredit
    yang diberikan menggunakan skema bagi-hasil.
    Semakin maju bank, semakin banyak pula
    keuntungan bank yang dapat dibagikan sebagai
    nisbah kepada para nasabah.
    Keempat, membantu orang yang butuh
    dizakati. Bank Syariah mengeluarkan 2,5% dari
    keuntungan tahunannya untuk dizakatkan.
    (Anda sendiri tentunya masih harus berzakat
    bila Anda muslim.) Namun bank konvensional
    tidak mempunyai kewajiban berzakat. Dengan
    menggunakan layanan Bank Syariah, secara
    tidak langsung Anda turut berzakat dan membantu
    mereka yang membutuhkan.
    Kelima, satu langkah awal menuju halal.
    Transparansi informasi mengenai produk bank
    sangat diperlukan untuk memberikan kejelasan
    kepada nasabah mengenai manfaat dan risiko
    yang melekat pada produk tersebut. Selama ini
    nasabah bank khususnya nasabah kecil selalu
    saja berada di pihak yang dirugikan bila berhadapan
    dengan bank.18 Kredit yang diberikan
    oleh bank syariah mempunyai persyaratan yang
    bertujuan agar aktivitas yang berhubungan
    dengan bank syariah bersifat halal. Bisnis yang
    dibiayai bank syariah, sesuai ketentuan yang
    berlaku, juga membatasi kemungkinan terlibatnya
    kegiatan yang diharamkan oleh syariat
    Islam. Hal ini sama sekali tidak membatasi
    nasabah bank syariah harus muslim, justru
    agama apa pun boleh, asal halal pemakaiannya.
    Meskipun nasabah tersebut muslim, tapi jika
    pemakaian dana atau usaha yang dijalankannya
    tidak halal, maka dia tidak diperkenankan
    untuk mengambil kredit di Bank Syariah.
    Larangan Islam terhadap Mekanisme Ekonomi
    Berbasis Bunga
    Ada perbedaan pendapat dalam Islam
    bahwa setiap laba yang berlebih-lebihan dalam
    pertukaran barang atau uang ataupun penumpukan
    barang tanpa memperdulikan perbedaan
    baik dan buruknya adalah sama dengan riba,
    termasuk laba lebih yang didapat dari pertukaran
    emas dan perak sedang logam tersebut
    tetap serupa seperti semula juga merupakan
    riba. Dalam Islam, meskipun diakui adanya hak
    atas benda, tetapi di dalamnya terdapat hak-
    18 Zulkarnain Sitompul, ”Antisipasi Krisis Perbankan Jilid
    Dua: Sudah Siapkah Pranata Hukum Melindungi Nasabah
    dan Memperkuat Industri Perbankan?,” Jurnal Hukum
    Bisnis, Volume 28-No.1-Tahun 2009, hlm. 48.
    86 Jurnal Dinamika Hukum
    Vol. 11 Edisi Khusus Februari 2011
    hak pihak lain seperti, kepentingan umum,
    orang miskin, yang pendistribusiannya melaui
    zakat infaq, dan sedekah. Penimbunan harta
    dengan mengabaikan orang miskin dan anak
    yatim tidak dapat diterima oleh Al-Qur’an. Pelarangan
    riba di dalam Al-Qura’an tidak terlepas
    dari prinsip-prinsip ini. Apabila diperhatikan
    lebih lanjut, maka penimbunan (penyimpanan)
    harta dalam bentuk emas dan perak
    tanpa tujuan tertentu merupakan kejahatan
    besar; “Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat
    lagi pencela, yang mengumpulkan harta dan
    menghitung-hitungnya, dan mengira bahwa
    hartanya itu dapat mengekalkannya”.
    Adapun dampak yang disebabkan dari
    praktek riba dalam masyarakat adalah sebagai
    berikut. Pertama, dampak riba dari segi kognisi.
    Kelebihan manusia dengan makhluk lainnya
    di antaranya adalah ”Manusia memiliki kemampuan
    untuk mengembangkan ilmu pengetahuan
    yang berpangkal dari kecerdasan otak
    atau intelektualitas yang disebut dengan kemampuan
    kognitif.”19 Dengan kemampuan kognitif
    ini, manusia dapat mengalami perubahan
    tingkah laku secara sadar dan cepat. Termasuk
    kemampuan mengadakan reaksi terhadap rangsangan
    dari luar. Oleh karena itu Islam menganjurkan
    agar kemampuan berfikir ini dibangun
    pada seseorang sesuai dengan fitrah manusia
    yang cenderung untuk menerima kebenaran Al-
    Qur’an dan aturan-aturan yang ada di dalam
    Islam. Bila kita lihat ayat-ayat Al-Qur’ân bahwa
    Allah telah meletakkan kaedah-kaedah dasar
    untuk berfikir ilmiyah, yaitu: ”Sebuah proses
    berfikir yang diawali dengan pengamatan,
    menghimpun data, menarik kesimpulan, dan
    terakhir memverivikasi (pemeriksaan tentang
    kebenaran laporan, pernyataan) kembali kebenaran
    kesimpulan yang telah diambil.”20
    Ada beberapa kesalahan di dalam berfikir
    bagi orang-orang yang cenderung untuk menghalalkan
    riba dan berhubungan dengan sistem
    ribawi. Kesalahan itu adalah sebagai berikut:
    berfikir yang menyimpang dari fitrah manusia-
    19 M. Arifin dan Aminuddin Rasyad, 1997, Materi Pokok
    Dasar-dasar Pendidikan, Cet. VI, Jakarta: Ditjen
    Binbaga Islam, hlm. 117.
    20 M. Usman Najati, 2003, Psikologi dalam Tinjauan
    Hadith Nabi, terj. Wawan Djunaedi Soffandi, Cet. I,
    Jakarta: Mustaqim, hlm. 184.
    wi, dan berfikir egoisme dan untuk keuntungan
    pribadi serta tidak mempedulikan kemeslahatan
    orang banyak.
    Abdul Mujib (dengan mengutip pendapat
    Ibnu Mansur dan Al-jurjany) dalam hal berfikir
    menyimpang dari fitrah manusia, menjelaskan
    bahwa ”Fitrah adalah kondisi konstitusi dan
    karakter yang dipersiapkan untuk menerima
    agama.”21 Dengan demikian orang yang tidak
    mengindahkan perintah agama berarti telah
    menyimpang dari fitrah manusiawi yang benar.
    Berfikir egoisme dan untuk keuntungan
    pribadi serta tidak mempedulikan kemeslahatan
    orang banyak. Berfikir taqlid dan mengekor
    pada sistem riba dari orang kafir dengan tidak
    melakukan verivikasi terlebih dahulu tentang
    kebenaran pendapat tersebut. Padahal Rasulullah
    mengingatkan umat manusia agar tidak
    mengikuti dan bertaqlid kepada pendapat
    orang lain dalam melakukan aktivitasnya
    sebagaimana taqlid orang buta yang tidak lagi
    bisa melihat dengan jelas.
    Kedua, dampak riba dari segi afeksi.
    Afeksi merupakan ”Hal-hal yang menyangkut
    dengan sesuatu yang berhubungan dengan sikap,
    perasaan, tata nilai, minat dan apresiasi”.
    22 Nilai-nilai afektif ini yang berpengaruh
    bagi seorang muslim dalam menata kehidupannya
    di dunia dan dalam berhubungan dengan
    masyarakat. Orang yang memiliki sikap (akhlak)
    yang baik di dalam masyarakat akan disegani
    dan dihormati.
    Orang yang telah terpengaruh dengan
    riba akan mengalami sikap dan emosional yang
    tidak stabil dalam hidupnya. Dari ketidakstabilan
    dalam hidup akan melahirkan sifat-sifat dan
    sikap-sikap yang tercela yang sangat dibenci
    dalam ajaran Islam. Sifat atau sikap tercela
    yang dapat merusak pribadi dan masyarakat
    akibat dari praktek riba adalah sombong; kikir;
    timbulnya sifat tamak; dan hilangnya rasa kasih
    sayang. Dalam hal ini A.M. Saefuddin mengutip
    pandangan Sayid Qutb menjelaskan: ”Perbuatan
    riba hanya akan merusak nurani akhlak dan
    perasaan tiap individu terhadap saudaranya
    21 Abdul Mujib, 2000, Fitrah dan Kepribadian Islam
    Sebuah Pendekatan Psikologis, Cet. I, Jakarta: Darul
    Falah, April, hlm. 34.
    22 M. Arifin dan Aminuddin Rasyad, op.cit, hlm. 118
    Tantangan Ekonomi Syariah dalam Menghadapi Masa Depan Indonesia di Era Globalisasi 87
    sejama’ah, dan merusak kehidupan sosial yang
    ditimbulkan oleh sifat loba, tamak, egois, curang
    dan spekulatif”.23
    Rasa kasih sayang merupakan ciri khas
    Rasulullah, para sahabat dan umat Islam secara
    keseluruhan. Terutama sekali kasih sayang sesama
    muslim itu sendiri. Rasa kasih sayang
    adalah ”Perasaan halus dan belas kasihan di dalam
    hati yang membawa kepada berbuat amal
    yang utama, memberi maaf dan berlaku ihsan”.
    24
    Ketiga, dampak riba dari segi perilaku.
    Dari sisi lain, pengaruh dari praktek riba akan
    melahirkan perilaku yang menyimpang dari
    aturan agama dan menyebabkan kerusakan individu
    dan sosial. Di antara perilaku yang menyimpang
    yang lahir dari praktek riba adalah
    berperilaku boros; terjadinya pemerasan orang
    kaya terhadap orang miskin; dan dampak riba
    dari segi persepsi.
    Akibat dari persesi yang seperti ini akan
    dapat merusak hubungan sesama manusia. A.M.
    Saifuddin dalam hal ini menegaskan bahwa
    sistem riba akan memperlebar jurang pemisah
    antara sesama manusia, dan mempercepat proses
    pemelaratan dan kesengsaraan hidup, baik
    secara individu, jama’ah, negara maupun bangsa,
    akan sistem yang berlaku bagi kemeslahatan
    segelintir manusia pelaku riba, dan berakibat
    negatif bagi orang banyak karena merusak
    moral, turunnya wibawa dan harga diri. Peredaran
    harta menjadi tidak merata, sementara
    pertumbuhan ekonomi terus berjalan menuju
    tujuan akhir, sebagaimana kita saksikan sekarang
    ini yaitu sentralisasi yang sangat dominan
    di bawah tangan segelintir manusia yang
    paling jahat dan paling tidak memeliki tanggung
    jawab moral dan tidak kenal haram dan
    halal.25
    Keempat, dampak riba dari segi rohani.
    Rasulullah mengajak para sahabatnya untuk
    senantiasa beriman kepada Allah, mendekatkan
    diri kepadanya, melakukan segala sesuatu yang
    diridhai Allah, meyakini keesaan Allah dan me-
    23 A.M. Saefuddin, 1987, Ekonomi dan Masyarakat Dalam
    Perspektif Islam, Cet. I, Jakarta: Rajawali, hlm. 240.
    24 M. Hasbi As-Siddiqiey,1977, Al-Islam, jilid I, Cet. V,
    Jakarta: Bulan Bintang, hlm. 479.
    25 A.M. Saifuddin, op.cit , hlm. 233-234.
    minta pertolongan kepada Allah Akan tetapi
    sebaliknya bagi orang yang berdosa dan para
    pemakan riba akan sangat merugikan mereka
    sendiri dan mendapat siksa dari Allah baik di
    dunia maupun di akhirat. Adapun dampak riba
    bagi para pemakan riba dalam agama dan dari
    segi rohani adalah sebagai berikut: para
    pemakan riba tidak cenderung untuk membantu
    fakir miskin; dan riba merupakan perbuatan
    yang bathil dan mendapat siksa dari Allah.
    Penutup
    Simpulan
    Ada beberapa tantangan ekonomi syariah
    yang harus di hadapi oleh bangsa Indonesia
    untuk menuju kemajuan ekonomi syariah.
    Pertama, sistem kapitalis terlanjur mendominasi
    sistem perekonomian di dunia bahkan
    banyak Negara yang notabene berpenduduk
    Islam cenderung menggunakan sistem kapitalis
    walaupun dalam penerapannya terdapat modifikasi;
    kedua, sulitnya untuk membuktikan bahwa
    Sistem Perekonomian Islam lebih unggul
    daripada kapitalis dan sosialis , karena Negara
    Islam di pandang tidak kuat secara ekonomi
    dan politik; dan ketiga, pengertian Sistem Perekonomian
    Islam diantara para ahli sendiri
    masih silang pendapat;
    Ekonomi syariah dalam menghadapi masa
    depan indonesia di era globalisasi kiranya perlu
    menyiapkan diri dengan memperhatikan beberapa
    faktor, diantaranya adalah penguasaan
    teknologi; pengembangan ukm berbasis syariah;
    dan menjaga keunggulan ekonomi syariah,
    yaitu sistem ekonomi syariah, dan juga pelarangan
    riba.
    Daftar Pustaka
    As-Siddiqiey, M Hasbi. 1977. Al-Islam, jilid I.
    Cetakan. V. Jakarta: Bulan Bintang;
    Breeden, Richard C. ”The globalization of Law
    and Business in the 1990”. Wake Forest
    Law Review. vol. 28 No.3. 1993;
    Cavusgil, S Tamer. “Globalization of Markets
    and Its Impact on Domestic Institutions”.
    Global Legal Studies Journal. Vol 1.
    1993;
    88 Jurnal Dinamika Hukum
    Vol. 11 Edisi Khusus Februari 2011
    Chirot, Daniel. 1986. Social Change in The Modern
    Era. San Diego. New York: Harcourt
    Brace Jovanovich. Inc;
    Delors, Jaqnes. ”The Future of Free Trade in
    Europe and the World”. Fordham International
    Law Journal. Vol. 18 1995.;
    Dimyati, Khudzaifah & Kelik Wardiono (ed).
  2. Problema Globalisasi Perspektif
    Sosiologi Hukum, Ekonomi dan Agama.
    Surakarta: Muhammadiyah University
    Pers;
    Edward, Kwakwa. 2000. ”Regulating The International
    Economy, What Role For The
    State” dalam Michael Byers;
    Fasseur, C. 1986. ”The Cultivation Sistem and
    Its Impact on the Dutch Colonial Economy
    and the Indigenous Society in Nineteenth
    Century Java”. dalam Two Colonial
    Empires, ed, C.A, Bayly and DH.A.Kolf.
    Dordrecht: Martinus Nijhoff Publishers;
    Frank, Thomas N. “The New Development, Can
    American Law and Legal Institution Help
    Developing Countries?”. Wisconsin Law
    Review. 1989;
    Fukuyama, Francis. 2001. Kemenangan Kapitalisme
    dan Demokrasi Liberal (Diterjemahkan
    dari judul asli The End of History and
    The Last Man) Yogyakarta: Qalam;
    Giddens, Anthony. 1986. Kapitalisme dan Teori
    Sosial Modern (Suatu analisis karya-karya
    Marx, Durkheim dan Max Weber). Jakara:
    UI Press;
    Hali, Damianus J. “Humanisme dan Peradaban
    Global”. Jurnal Hukum Pro Justitia Vol.
    26 No. 2. April 2008. Bandung: FH Unpar;
    Hendrarto, Conrad. 2008. ”Ambruknya Kapitalis
    dan Saat Bangkitnya Ekonomi Syariah;
    Hoiri, Syamsul. ”Lembaga Medisasi Perbankan:
    Sejauh Mana Efektivitasnya?”. Jurnal Hukum
    Bisnis. Vol. 28 No.2. Tahun 2009;
    Izzan, Ahmad. 2006. Referensi Ekonom Syariah
    Ayat-Ayat Al-quran yang berdimensi Ekonomi.
    Bandung: PT Remaja Rosdakarya;
    Muhammad. 2004. Ekonomi Mikro dalam Perspektif
    Islam. Yogyakarta: BPFE;
    Mujib, Abdul. 2000. Fitrah dan Kepribadian Islam
    Sebuah Pendekatan Psikologis. Cetakan
    I. Jakarta: Darul Falah. April;
    Najati, M Usman. 2003. Psikologi dalam Tinjauan
    Hadith Nabi. terj. Wawan Djunaedi
    Soffandi. Cetakan I. Jakarta: Mustaqim;
    Neil, Robert Van. 1964. ”The Function of Land
    Rent Under the Cultivation Sistem in Java”.
    Journal of Asian Studies 23. London:
    Oxford University Press;
    Purba, Victor. “Peranan Hukum dalam Global
    Kompetisi pada Era Globalisasi”. Majalah
    Hukum Pro Justitia. Tahun 12 No. 2 April.
  3. Bandung: FH Unpar;
    R E Elson, 1984, Javanese Peasants and the Colonial
    Sugar Industri. London: Oxford
    University Press;
    Rahardjo, Satjipto. Pembangunan Hukum di Indonesia
    Dalam Konteks Situasi Global,
    dalam Khudzaifah Dimyati & Kelik Wardiono
    (ed.), 2004, Problema Globalisasi
    Perspektif Sosiologi Hukum, Ekonomi dan
    Agama. Surakarta: Muhammadiyah University
    Pers, hlm. 12;
    Rasyad, Aminuddin dan M. Arifin. 1997. Materi
    Pokok Dasar-dasar Pendidikan. Cet. VI.
    Jakarta: Ditjen Binbaga Islam;
    Rizal, Syamsul. “Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan
    Menurut Perundang-undangan tentang
    Usaha Kecil”. Majalah Hukum. Vol.
    8 No. 2. Agustus 2003. Medan: FH USU;
    Rosita, Dian. 2010. ”Kedaulatan Negara dalam
    Pembentukan Hukum di Era Globalisasi”.
    Jakarta; | http:// http://www.leip.or.id/;
    Saefuddin, A M. 1987. Ekonomi dan Masyarakat
    Dalam Perspektif Islam. Cetakan I.
    Jakarta: Rajawali;
    Schumpte. 1972. A. J. The History of Economic
    Analysis. London: Geoerge Allen And
    Unwin;
    Sitompul, Zulkarnain. ”Analisis Hukum Kewenangan
    Lembaga Penjamin Simpanan Dalam
    Pembubaran Dan Likuidasi Perseroan Terbatas”.
    Jurnal Hukum Bisnis. Vol. 28 No.
  4. Tahun 2009;
    Sitompul, Zulkarnain. ”Antisipasi Krisis Perbankan
    Jilid Dua: Sudah Siapkah Pranata Hukum
    Melindungi Nasabah dan Memperkuat
    Industri Perbankan?”. Jurnal Hukum Bisnis.
    Vol 28 No.1. Tahun 2009;
    Soenandar, Taryana. “Perdagangan Bebas dan
    Harmoni-sasi Hukum: Kajian atas Doktron
    “Lex Mercatoria”. Jurnal Keadilan Vol. 1
    No. 5 November-Desember 2001;
    Trubek, David M. “Max Weber on Law and The
    Rise of Capi-talisme”. Winconsin Law
    Review. Vol 3. 1992;
    Wright, HRC. 1961. East-Indian Economic Problem
    of the Age of Cornwallis & Raffles.
    London: Inzac and Company. Ltd.

5 ARTIKEl TENTANG HUKUM EKONOMI SYARIAH

Perspektif Hukum sebagai Landasan…..(Zulfi Diane Zaini) 929
PERSPEKTIF HUKUM SEBAGAI LANDASAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI INDONESIA (SEBUAH PENDEKATAN FILSAFAT)
Oleh : Dr. Zulfi Diane Zaini, S.H., M.H.1
ABSTRACT The role of law in economic development of a nation is something that cannot be ignored its existence. So it is very obvious, if the law of a nation is effective, economic development would be easy to implement. But otherwise if the law has not effective function, it can definitely be an adverse impact on economic development. This condition also exists to Indonesia as a country which is still developing the economic area. Moreover, when Indonesia declared in its constitution as a legal state (rechtstaat). From this it is also implied that Indonesia wants two things: Firstly, the law is expected to function, and secondly, the law can serve, then economic development would be easy to be realized. The economic nationalism spirit in the globalization era shows increasing realization of the urgency to be the national economy which is strong, tough and independent. Economic Democracy is based on the popular and family, as well as cooperative efforts animates economic behavior of individuals and communities. Thus Indonesia Economic Law in the form of the Margin of Appreciation becomes benchmark for the justification of the legal norms which is enforced so the core values of Pancasila as the national ideology is kinship with the community life ideal form in society, is society kinship, so in the field of economics, Pancasila ideology wants kinship (familial Economic Democracy Article 33 of the 1945 Constitution), which is realized through the welfare state. Keywords: Law, Basis, Economic ABSTRAK
Peranan hukum dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan keberadaannya. Sehingga sangat jelas, jika kondisi hukum suatu bangsa itu efektif, maka pembangunan ekonomi
1 Penulis adalah Dosen Tetap Fakultas Hukum dan Program Magister Hukum Universitas Bandar Lampung (UBL)
930 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
pun akan mudah untuk dilaksanakan. Namun, sebaliknya jika hukum tidak mampu berperan secara efektif, maka dapat dipastikan akan berdampak buruk terhadap pembangunan ekonomi. Kondisi tersebut juga berlaku bagi Indonesia sebagai sebuah negara yang sedang giat-giatnya melakukan pembangunan ekonomi. Apalagi, tatkala Indonesia menyatakan diri dalam konstitusinya sebagai negara hukum (rechtstaat). Dari sini tersirat pula bahwa Indonesia menghendaki dua hal; Pertama, hukum diharapkan dapat berfungsi; dan Kedua, dengan hukum dapat berfungsi, maka pembangunan ekonomi pun akan mudah untuk direalisasikan.
Semangat nasionalisme ekonomi dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri. Demokrasi Ekonomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan, serta usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat. Dengan demikian Hukum Ekonomi di Indonesa dalam wujud Margin of Appreciation dijadikan tolak ukur bagi pembenaran terhadap norma-norma hukum yang diberlakukan sehingga nilai utama Pancasila sebagai Ideologi bangsa yaitu kebersamaan dengan bentuk ideal kebersamaan hidup bermasyarakat, adalah masyarakat kekeluargaan, sehingga dalam bidang ekonomi, ideologi Pancasila menghendaki kebersamaan (kekeluargaan Demokrasi Ekonomi Pasal 33 UUD 1945), yang diwujudkan melalui Negara Kesejahteraan.
Kata Kunci : Hukum, Landasan, Ekonomi
A. PENDAHULUAN

  1. Latar Belakang.
    Hukum sangat dibutuhkan untuk mengatur kehidupan bermasyarakat di dalam semua aspek kehidupan, baik dalam aspek kehidupan social, kehidupan politik, budaya, pendidikan dan yang cukup penting adalah fungsi dan peranannya dalam mengatur kegiatan ekonomi. Dalam kegiatan ekonomi inilah justru hukum sangat diperlukan karena sumber-sumber ekonomi yang terbatas disatu pihak dan tidak terbatasnya permintaan atau kebutuhan akan sumber ekonomi dilain pihak sehingga konflik antara sesama warga dalam memperebutkan sumber-sumber ekonomi tersebut akan sering terjadi. Namun
    Perspektif Hukum sebagai Landasan…..(Zulfi Diane Zaini) 931
    demikian berdasarkan pengalaman umat manusia sendiri, peranan hukum tersebut haruslah terukur sehingga tidak mematikan inisiatif dan daya kreasi manusia yang menjadi daya dorong utama dalam pembangunan ekonomi. Semua perubahan yang terjadi dalam masyarakat tidak mungkin terjadi apabila manusia tidak mempunyai kesempatan dan keluasan untuk berpikir dan berkreasi. Karenanya diperlukan berbagai bentuk aturan yang mengatur bagaimana manusia agar bisa melaksanakan kegiatannya dengan aman, tidak saling mengganggu atau bahkan saling menghancurkan sehingga kesempatan untuk mengembangkan ilmu pengetahuan menjadi terhambat. Dengan demikian diperlukan peranan hukum yang bertujuan untuk melindungi, mengatur dan merencanakan kehidupan ekonomi sehingga dinamika kegiatan ekonomi dapat diarahkan kepada kemajuan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Hukum bukan hanya dapat membatasi dan menekan saja, akan tetapi juga memberi kesempatan bahkan mendorong masyarakat untuk menemukan berbagai penemuan yang dapat menggerakkan kegiatan perekonomian suatu negara.
    Sebagaimana diketahui bahwa Ilmu hukum adalah ilmu yang termasuk dalam kelompok ilmu praktis dengan menempati kedudukan istimewa dalam klasifikasi ilmu dengan alasan karena sifatnya sebagai ilmu normatif yang mengandung sifat khas tersendiri. Obyek telaahannya juga berkenaan dengan tuntutan berprilaku dengan cara tertentu yang kepatuhannya tidak sepenuhnya bergantung pada kehendak bebas yang bersangkutan, melainkan dapat dipaksakan oleh kekuatan publik.2 Peranan hukum dalam pembangunan ekonomi suatu bangsa merupakan sesuatu yang tidak dapat diabaikan keberadaannya. Sehingga sangat jelas, jika kondisi hukum suatu bangsa itu efektif, maka pembangunan ekonomi pun akan mudah untuk dilaksanakan. Namun, sebaliknya jika hukum tidak mampu berperan secara efektif, maka dapat dipastikan akan berdampak buruk terhadap pembangunan ekonomi.
    2 Endang Sutrisno, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta, 2007, hlm.16.
    932 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
    Kondisi ini tentu berlaku pula bagi Indonesia sebagai sebuah negara yang sedang giat-giatnya melakukan pembangunan ekonomi. Apalagi, tatkala Indonesia menyatakan diri dalam konstitusinya sebagai negara hukum (rechtstaat). Dari sini tersirat pula bahwa Indonesia menghendaki dua hal; Pertama, hukum diharapkan dapat berfungsi; dan Kedua, dengan hukum dapat berfungsi, maka pembangunan ekonomi pun akan mudah untuk direalisasikan.
    Sejalan dengan pemikiran tersebut, jika dikaji dari sisi politik hukum acapkali pembentukan hukum, khususnya hukum ekonomi tak selalu sinkron dengan harapan-harapan tersebut. Sebagai faktor yang menjadi pemicu tidak adanya kesinkronan ini karena banyak kepentingan yang berkembang di seputar pembentukan hukum. Politik hukum yang berkembang berupa adanya tarik menarik antara kepentingan nasional dan asing, sehingga hukum yang dapat dijadikan sarana bagi pembangunan ekonomi akan menjadi sia-sia karena yang dikedepankan justru kepentingan asing yang dominan.
    Perkembangan globalisasi ekonomi dan kerjasama ekonomi di dunia internasional sedikit banyak telah menggambarkan adanya polarisasi dalam artian substansi permasalahan di bidang hubungan ekonomi sebagai dampak dari upaya pengaturan yang dilakukan oleh Negara-negara ataupun pelaku ekonomi Negara-negara maju. Upaya pengaturan baik secara global melalui World Trade Organization (selanjutnya disingkat dengan WTO), regional melalui berbagai kerjasama sekawasan serta bilateral melalui berbagai kerjasama bilateral ternyata tidak mengurangi munculnya berbagai penyimpangan dari norma-norma yang telah disepakati.
    Merupakan suatu keharusan bagi suatu negara tatkala merumuskan suatu peraturan perundang-undangannya senantiasa memperhatikan pada aspek kepentingan nasional (national interests). Untuk dapat mencapai hal demikian, maka faktor politik hukum akan sangat menentukan. Bagi beberapa negara pola pemikiran ini menjadi sarana yang cukup efektif.
    Berangkat dari persoalan tersebut di atas, peranan politik hukum dalam konteks hukum sangat memegang peranan yang sangat strategis. Melalui pendekatan politik hukum, hukum yang dibentuk pun setidaknya akan banyak
    Perspektif Hukum sebagai Landasan…..(Zulfi Diane Zaini) 933
    memperhatikan kepada kepentingan nasional. Pengertian kepentingan nasional bukan berarti dimaknai dalam arti yang sempit, namun kepentingan nasional merupakan titik tolak dalam upaya memasuki dunia global.
    Dari prinsip kepentingan nasional pemerintah selanjutnya mengambil langkah strategis dalam upaya meraup manfaat ekonomi dan manfaat ekonomi tersebut dapat dirasakan oleh bangsa Indonesia sendiri bukan oleh bangsa lain yang menikmati hasil dari pembentukan hukum tersebut. Dengan kenyataan tersebut, sudah sewajarnya apabila pemerintah dalam menjalankan orientasi politik hukum lebih mengedepankan pembentukan instrumen-instrumen hukum yang terkait dengan permasalahan tersebut.
    Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam upaya melakukan perkembangan dalam pembangunan nasional terutama yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi, secara umum dapat dijelaskan bahwa keterkaitan antara regulasi /pengaturan sistem dan pelaksanaan kegiatan perekonomian di Indonesia sebagai upaya untuk menjaga stabilitas sistem perekonomian di Indonesia akan berkorelasi pula dengan Hukum Ekonomi secara keseluruhan. Karena, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia menyangkut pemikiran hukum dan kaidah-kaidah hukum dalam sistem ekonomi Indonesia yang terarah (Verwaltungswirtschaft), sedangkan Hukum Ekonomi Sosial Indonesia menyangkut pemikiran hukum dan kaidah-kaidah hukum yang memikirkan bagaimana dapat meningkatkan kesejahteraan Warga Negara Indonesia sebagai perseorangan, dan tetap memelihara harkat dan martabat kemanusiaan manusia Indonesia, serta tetap menjunjung tinggi hak-hak hidup yang sama dari pihak yang lemah dalam sistem ekonomi yang terarah tersebut.
    Dengan demikian, konsep dasar pemikiran Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia adalah Ekonomi Indonesia dalam arti pembangunan dan peningkatan ketahanan ekonomi nasional secara makro, sedangkan dasar pemikiran Hukum Ekonomi Sosial adalah kehidupan Ekonomi Indonesia yang berperikemanusiaan dan pemerataan pendapatan, dimana setiap Warga Negara Indonesia berhak atas kehidupan dan pekerjaan yang layak.
    934 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
    Dalam hubungan tersebut, maka segala usaha pembangunan ekonomi Indonesia bertujuan untuk menciptakan kesejahteraan tiap-tiap dan masing-masing Warga Negara Indonesia, sehingga pembangunan ekonomi Indonesia harus menjunjung tinggi hak-hak hidup manusia yang asasi.3 2. Identifikasi Masalah. Dari paparan yang telah dikemukakan dalam latar belakang tersebut di atas, maka paper ini memuat permasalahan yang akan dibahas yakni :
    a. Bagaimana refleksi pendekatan filsafat ilmu terhadap ilmu hukum sehingga dapat mewujudkan nilai-nilai keadilan dan kepastian dalam masyarakat ?
    b. Bagaimana Hukum Dapat Berperan Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi Di Indonesia?
  2. Kerangka Pemikiran.
    Hukum, menurut Mohtar Kusumaatmadja, jika diartikan dalam arti yang luas, bahwa hukum tidak saja merupakan keseluruhan azas-azas dan kaidah-kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses (process) yang mewujudkan berlakunya kaidah-kaidah tersebut dalam kenyataan.4 Selanjutnya, dapat dikatakan bahwa dimana ada masyarakat, disana ada hukum. Dengan demikian suatu unsur pokok dalam hukum adalah bahwa hukum adalah sesuatu yang berkenaan dengan manusia, dimana manusia hidup dalam suatu komunitas yang disebut dengan masyarakat.5
    Tujuan utama hukum adalah untuk mewujudkan ketertiban (order). Tujuan tersebut sejalan dengan fungsi utama hukum, yaitu mengatur. Ketertiban merupakan syarat dasar bagi adanya suatu masyarakat. Kebutuhan akan ketertiban merupakan fakta dan kebutuhan objektif bagi setiap
    3 CFG. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta, Bandung, 1988, hlm. 50. 4 Chidir Ali, Badan Hukum, Alumni, Bandung, 1991, hlm. 1 5 Chidir Ali, Ibid.
    Perspektif Hukum sebagai Landasan…..(Zulfi Diane Zaini) 935
    masyarakat manusia.6 Para penganut teori hukum positif menyatakan “kepastian hukum” sebagai tujuan hukum, dimana ketertiban atau keteraturan, tidak mungkin terwujud tanpa adanya garis-garis perilaku kehidupan yang pasti. Keteraturan hanya akan ada jika ada kepastian dan untuk adanya kepastian hukum haruslah dibuat dalam bentuk yang pasti pula (tertulis).7
    Indonesia sebagai Negara hukum (Rechtsstaat/the rule of law), sebagaimana yang telah ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 (Amandemen ke 4) bahwa Indonesia adalah Negara Hukum. Sebagaimana diketahui bahwa ide dasar negara hukum Indonesia tidaklah terlepas dari ide dasar tentang „rechtsstaat” atau Negara Hukum yang dianut oleh Belanda yang meletakkan dasar perlindungan hukum bagi rakyat pada asas legalitas, yaitu semua harus bersifat positif, hal tersebut berarti hukum harus dibentuk secara sadar.8
    Dalam suatu rechtsstat yang modern, fungsi peraturan perundang-undangan bukanlah hanya memberikan bentuk kepada nilai-nilai dan norma-norma yang berlaku dan hidup dalam masyarakat, dan Undang-Undang bukanlah hanya sekedar produk fungsi negara di bidang pengaturan. Selanjutnya, peraturan perundang-undangan adalah salah satu metoda dan instrumen ampuh yang tersedia untuk mengatur dan mengarahkan kehidupan masyarakat menuju cita-cita yang diharapkan. Dalam praktik memang demikian yang dilakukan oleh pembentuk Undang-Undang, karena saat ini kekuasaan pembentuk Undang-Undang adalah terutama memberikan arah dan menunjukkan jalan bagi terwujudnya cita-cita kehidupan bangsa melalui hukum yang dibentuknya.9
    6 Lili Rasjidi dan IB. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 1993, hlm. 127. 7 Ibid. 8 Chairijah, Peran Program Legislasi Nasional Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan pada Pelatihan Penyusunan dan Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta, 2008. hlm. 4-5. 9 Endang Sutrisno, Opcit, hlm. 104-105.
    936 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
    Dalam kaitannya dengan pembangunan hukum, Pancasila dapat disebut sebagai bingkai dari Sistem Hukum Pancasila, sebuah sistem yang khas di Indonesia dan berbeda dari sistem hukum negara-negara lain. Meski belakangan banyak pihak yang merasa tidak efektif untuk menyebut Sistem Hukum Pancasila sebagai sebuah sistem hukum yang khas, namun harus ada keberanian untuk mengangkatnya kembali sebagain paradigma dalam pembangunan hukum Indonesia. Satjipto Rahardjo, menyebut bahwa hukum Pancasila mencerminkan kekhasan bangsa Indonesia yang penuh dengan sikap kekeluargaan dan gotong royong yang karenanya memang berbeda dengan sistem hukum yang lain.10
    Sistem Hukum Pancasila berbeda dari Sistem Hukum Eropa Kontinental yang hanya menekankan pada legisme, civil law, administrasi, kepastian hukum, dan hukum-hukum tertulis yang negara hukumnya disebut Rechtstaat. Sistem hukum Pancasila juga berbeda dengan sistem hukum Anglo Saxon yang hanya menekankan pada peranan yudisial, common law, dan substansi keadilan yang negara hukumnya disebut dengan the Rule of Law.11
    Sistem ekonomi di Indonesia adalah Sistem Ekonomi Pancasila yang lahir dalam jantung bangsa yakni Pancasila dan UUD-45 beserta tafsirannya. Karena itu, sistem ekonomi Pancasila bersumber langsung dari Pancasila khususnya sila kelima, yaitu : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dan amanat Pasal 27 ayat (2), Pasal 33-34 UUD-45 (Amandemen ke 4). Sila kelima ini menjelaskan bahwa semua orientasi berbangsa dan bernegara, politik ekonomi, hukum, sosial dan budaya, adalah dijiwai semangat keadilan menyeluruh dan diperuntukkan bagi seluruh rakyat Indonesia.12 Dengan
    10 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta, 2007, hlm. 7. 11 Ibid. 12 Khusus dalam hal ekonomi diperjelas lagi dalam Pasal 27 ayat (2) berbunyi; tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Sedangkan Pasal 33 berbunyi;
    1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan;
    2) Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasasi oleh Negara;
    Perspektif Hukum sebagai Landasan…..(Zulfi Diane Zaini) 937
    demikian, keberadaan sistem Ekonomi Pancasila sudah ada dengan Pancasila sebagai landasan idiilnya dan UUD1945 sebagai landasan konstitusionalnya.
    Dalam pembangunan hukum nasional dibutuhkan kesamaan pemahaman terhadap tujuan yang ingin dicapai, sehingga pembangunan hukum yang dilakukan oleh berbagai pihak dapat bersinergi mencapai tujuan yang disepakati secara nasional. Selanjutnya, pembinaan hukum nasional diarahkan untuk mencapai tujuan terbentuk dan berfungsinya sistem hukum nasional,13 demikian pula yang terdapat dalam pengaturan hukum ekonomi khususnya yang berkaitan dengan pengaturan semua kegiatan perekonomian di Indonesia.
    Dalam pembangunan ekonomi akan sangat berpengaruh pada perkembangan Hukum dan Perkembangan bidang ekonomi yang keduanya tidak akan berjalan dengan maksimal tanpa dilandasi oleh Peraturan Perundangan-undangan yang baik. Pengaturan hukum berkaitan erat dengan pembangunan pada umumnya dan khususnya bagi pembangunan ekonomi.14
    Di Indonesia konsepsi pembaharuan hukum yaitu hukum sebagai sarana pembaharuan dalam pembangunan masyarakat (Mohtar Kusumaatmadja, yang diilhami oleh konsep “law as a tool of social engineering” Roscoe Pound) telah memberikan peran penting kepada hukum dalam pembangunan, khususnya pembangunan ekonomi. Konsepsi hukum sebagai sarana pembaharuan dan pembangunan masyarakat, hukum harus tampil di depan dan memberi arah dalam pembaharuan dan pembangunan. Pembangunan hukum harus dapat mengantisipasi pembangunan masyarakat
    3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;
    4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan dan kesatuan ekonomi nasional;
    5) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan Pasal ini diatur dalam Undang-Undang.
    13 Ady Kusnadi, Penelitian Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, (Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional), FH-UNPAD, 2008, hlm. 189. 14 Djuhaendah Hasan, Fungsi Hukum Dalam Perkembangan Ekonomi Global, Bandung, 2008, hlm. 23.
    938 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
    ke depan. Dengan demikian pembaharuan hukum dan pembentukan hukum harus melihat ke depan, pembentukan hukum tidak boleh hanya untuk kepentingan hari ini tetapi harus memprediksi kemungkinan-kemungkinan yang terjadi untuk waktu yang akan datang seiring dengan perkembangan masyarakat dan teknologi.15 Dalam perkembangannya Hukum Ekonomi Indonesia kemudian menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan Hukum perdagangan internasional yang merupakan bidang hukum yang berkembang dengan cepat, dan ruang lingkupnya pun cukup luas. Hubungan-hubungan dagang yang sifatnya lintas batas dapat mencakup banyak jenisnya, dari bentuknya yang sederhana, yaitu dari barter, jual beli barang atau komoditi (produk-produk pertanian, perkebunan dan sejenisnya), hingga hubungan atau transaksi perdagangan yang kompleks.
    Kompleksnya hubungan atau transaksi perdagangan internasional disebabkan oleh adanya jasa teknologi (khususnya teknologi informasi) sehingga transaksi-transaksi dagang semakin berlangsung dengan cepat, hal tersebut tampak dengan lahirnya transaksi-transaksi yang disebut dengan e-commerce. 16
    Untuk memahami kegiatan ekonomi sebagai suatu rangkaian pembangunan ekonomi Indonesia, selain dilihat dari kajian normatif, juga dapat dikaji secara filosofis agar dapat memberikan penjelasan mengenai gejala-gejala fisik atau sosial yang terjadi atas dasar pengaturan hukum yang telah dirumuskan dan ditetapkan. Dapat dijelaskan misalnya, jatuhnya batu, bukan lagi dijelaskan karena hakikat batu yang memang cenderung dan seharusnya menyatu dengan asalnya yaitu bumi, locus naturalis, melainkan melalui teori-teori gravitasi yang dibangun dari hukum-hukum yang menguraikan keteraturan-keteraturan dalam berbagai gejala alam.17
    15 Ibid, hlm. 24 16 Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005, hlm. 1. 17 Soerjanto Poespowardojo, Pembangunan Nasional Dalam Perspektif Budaya Sebuah Pendekatan Filsafat, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta, 1998, hlm. 60.
    Perspektif Hukum sebagai Landasan…..(Zulfi Diane Zaini) 939
    Cara pandang demikian yang kemudian membuat orang terhindar dari penafsiran hukum secara legalistik. Apa dan bagaimana hukum tersebut seharusnya berlaku, dapat dirumuskan dengan tingkat keakuratan yang tinggi sehingga dapat digunakan sebagai landasan Pembangunan Ekonomi. Namun demikian, untuk dapat memahami hakekat hukum yang semaksimal mungkin dibutuhkan alat penafsiran yang menggunakan metode ilmiah (scientific method).18
    Menurut Richard Posner, dari keseluruhan ilmu sosial yang metodenya pernah digunakan untuk menjelaskan hukum, ilmu ekonomilah yang paling menjanjikan, karena universalitas dan karena ketepatannya, dan dengan menggunakan disiplin ekonomi maka konsep-konsep hukum dapat dijelaskan secara kualitatif sehingga memiliki akurasi yang lebih maksimal.19
    Secara umum keseluruhan yang menjelaskan keterkaitan diantara beberapa konsep dalam ilmu pengetahuan yang berkembang akan dikembalikan pada pola berfikir yang bertumpu secara filosofi. Dapat dijelaskan bahwa filsafat dan ilmu tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya, sebab keduanya saling melengkapi serta terkait erat. Ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat eksistensi filsafat.20 Hubungan antara filsafat dengan ilmu bahwa ilmu merupakan kumpulan pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan ilmu dengan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Adapun ciri-ciri keilmuan tersebut didasarkan pada jawaban yang diberikan ilmu terhadap ketiga pertanyaan pokok, yaitu : 21
    a. Apakah yang ingin kita ketahui? ;
    b. Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan?;
    c. Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita?
    18 Anthony T. Kronman, The Lost Lawyer Failing Ideals of the Legal Profession, Harvard University Press, Cambridge, 1993, hlm. 229. 19 Richard A. Posner, Economic Analysis of Law, Little Brown Co, Boston, 1983, hlm. 120. 20 Jujun S. Suriasumantri, Ilmu Dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia & LEKNAS-LIPI, Jakarta, 1984, hlm. 4 21 Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi Dan Aksiologi Pengetahuan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007, hlm. 18.
    940 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
    Dapat dianalisis bahwa filsafat mempelajari masalah-masalah tersebut di atas dengan sedalam-dalamnya dan hasil dari pengkajiannya merupakan dasar bagi eksistensi ilmu. Ketiga pertanyaan mendasar tersebut akhirnya berujung pada masalah ontologi yang membahas mengenai apa yang ingin kita ketahui dan seberapa jauh kita ingin tahu. Kemudian bagaimana cara kita mendapatkan pengetahuan mengenai objek tersebut ? dan untuk menjawab pertanyaan tersebut maka digunakan pendekatan epistimologi yakni teori pengetahuan. Akhirnya dalam menjawab pertanyaan ketiga tentang nilai kegunaan dan nilai pengetahuan tersebut maka digunakan pendekatan axiologi yakni teori tentang nilai.22 Jadi setiap bentuk pemikiran manuia pada dasarnya dapat dikembalikan dalam dasar-dasar ontologi, epistimologi serta axiologi dari pemikiran yang bersangkutan. Analisis kefilsafatan dengan mendasarkan diri pada ketiga landasan tersebut akhirnya dapat membawa pada hakikat pemikiran manusia, sehingga akan mempelajari ilmu ditinjau dari titik tolak yang sama guna memperoleh deskripsi yang sedalam-dalamnya.
    Dari sudut gambaran filsafat ilmu terhadap ilmu hukum dapat diketahui bahwa sebagai ilmu dan dari landasan axiologi, ilmu hukum juga memiliki kemanfaatan untuk kepentingan umat manusia. Filsafat memiliki banyak makna, akan tetapi filsafat juga dapat diartikan sebagai suatu cara berfikir yang radikal dan menyeluruh, serta mengupas sesuatu sedalam-dalamnya.23
    Tidak ada satupun dalam hidup ini terlepas dari pengamatan kefalsafahan, sehingga tidak ada satu pernyataanpun sekalipun sederhana yang diterima begitu saja tanpa pengkajian secara seksama. Fislsafat mempertanyakan dan mengkaji segala sesuatu dari kegiatan berfikir dari awal hingga akhir secara mendalam hingga menyentuh pada suatu hal yang paling hakiki tentang sesuatu.24
    22 Ibid, hlm. 22-23 23 Sidharta, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika Aditama, Bandung, 2006, hlm. 4 24 Tim Dosen Filsafat Ilmu-Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2007, hlm.7.
    Perspektif Hukum sebagai Landasan…..(Zulfi Diane Zaini) 941
    Filsafat juga dapat berarti pandangan hidup. Sebagai ilmu, filsafat merupakan suatu proses yang terus bergulir dan tidak pernah mengenal kata selesai. Sebaliknya, Filsafat sebagai pandangan hidup merupakan suatu produk (nilai-nilai atau sistem nilai) yang diyakini kebenarannya dan dapat dijadikan pedoman berprilaku oleh suatu individu atau masyarakat.25 Filsafat Ilmu sendiri merupakan bagian dari cabang filsafat secara keseluruhan, melalui filsaf ilmu dapat dilakukan telaahan secara filosofi yang berkehendak untuk menjawab beberapa pertanyaan tentang hakikat ilmu.26 Filsafat ilmu merupakan bagian dari epistimologi (filsafat pengetahuan) yang secara spesifik mengkaji hakikat ilmu (pengetahuan ilmiah).27
    Suatu kajian yang mendasarkan pada karakteristik dan kepribadianya, maka Ilmu Hukum yang memiliki karakter yang khas merupakan Ilmu tersendiri (sui generis). Ilmu Hukum yang merupakan kajian dogmatik memiliki suatu karakteristik sendiri yang tidak dapat dibandingkan (diukur dan dinilai) dengan bentuk ilmu lain yang manapun. Ilmu Hukum memiliki berbagi ciri sebagai berikut :28
    a) Ilmu Hukum memiliki suatu sifat empirik analitikal, yang berarti bahwa ia
    memberikan suatu pemaparan dan analisis tentang isi (dan struktur) dari Hukum yang berlaku;
    b) Ilmu Hukum mensistematisasi gejala-gekala hukum yang dipaparkan dan
    dianalisis;
    c) Ilmu Hukum menginterpretasi hukum yang berlaku;
    d) Ilmu Hukum menilai hukum yang berlaku (relatif bersifat normatif). Hal tersebut mengandung arti bahwa tidak hanya objeknya terdiri atas kaidah-kaidah, akan tetapi Ilmu hukum memiliki suatu dimensi pengkaidahan (menetapkan norma). Jadi, dogmatika hukum bebas nilai, dan secara langsung berkaitan dengan ide hukum (cita hukum), dengan perwujudan “tujuan” dari hukum. Ilmu Hukum Dogmatik dalam penilaian-penilaian dan keputusan-keputusannya mau memberikan sumbangan pada realisasi dari tujuan ilmu hukum yakni keadilan dan kebebasan;
    25 Ibid. 26 The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu (Edisi Ke-Dua Diperbaharui), Penerbit Liberty, Yogyakarta, 2000, hlm.9 27 Jujun S. Suriasumantri, Filsfat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 2003, hlm. 33. 28 Meuwissen, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum (terjemahan B. Arief Sdharta), Refika Aditama, Bandung, 2007, hlm. 55.
    942 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
    e) Berkaitan dengan arti praktikal dari Ilmu Hukum Dogmatik, berkaitan erat dengan dimensi normatif.
    Ilmu Hukum sebagai ilmu yang sui generis (tersendiri) dengan kualitas keilmiahannya, cukup sulit jika dikelompokkan dalam salah satu cabang pohon ilmu, baik cabang ilmu pengetahuan alam, cabang ilmu pengetahuan sosial maupun cabang ilmu pengetahuan humaniora. Namun demikian, berdasarkan karakteristik keilmuan, maka menurut Bernard Arief Sidharta, Ilmu Hukum pada akhirnya termasuk dalam kelompok ilmu praktis yaitu praktis normologis sebagai Ilmu Normatif.29
    Selanjutnya, juga dijelaskan oleh Lili Rasjidi, bahwa salah satu pengaruh yang paling menonjol dari perkembangan Ilmu Hukum adalah dominasi pendekatan mekanis analitis dalam epistimologi Ilmu Hukum.30 Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa dalam kajian Ilmu Hukum akibatnya adalah dominannya teori-teori hukum normatif di dalam khasanah dan ruang lingkup bidang Ilmu Hukum secara keseluruhan.
    Sebagai suatu sistem ajaran, disiplin hukum mencakup antara lain : ajaran yang menentukan apakah yang seharusnya dilakukan (preskriptif); dan ajaran yang senyatanya dilakukan (deskriptif) di dalam hidup. Selanjutnya unsur-unsur hukum mencakup: unsur Idiil serta unsur riil, yang keduanya mencakup hasrat susila dan rasio manusia, hasrat susila menghasilkan asas-asas hukum (rechtsbeginzelen), misalnya : tidak ada hukuman tanpa kesalahan. Kemudian rasio manusia menghasilkan pengertian-pengertian hukum (rechtsbegrippen) misalnya : subjek hukum, hak dan kewajiban.31
    B. PERSPEKTIF HUKUM SEBAGAI LANDASAN PEMBANGUNAN EKONOMI INDONESIA (SEBUAH PENDEKATAN FILSAFAT)
  3. Refleksi Pendekatan Filsafat Ilmu Terhadap Ilmu Hukum Dalam Perwujudan Nilai-Nilai Keadilan Dan Kepastian Dalam Masyarakat.
    29 Ibid, hlm. 113. 30 Lili Rasjidi dan IB Wyasa Putra, Opcit, hlm. 4. 31 Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Alumni, Bandung, 1982, hlm. 14.
    Perspektif Hukum sebagai Landasan…..(Zulfi Diane Zaini) 943
    Sebagaimana diketahui bahwa ilmu hukum mempunyai objek kajian hukum, karenanya kebenaran hukum yang hendak diungkapkan harus didasarkan pada sifat-sifat yang melekat pada hakekat hukum itu sendiri. Untuk menjelaskan keilmuan hukum secara utuh dan menyeluruh maka dapat dilihat pada metode kajiannya, yaitu : Pendekatan dari sudut filsafat ilmu dan pendekatan dari sudut pandang teori hukum, yang dapat diuraikan sebagai berikut : a. Pendekatan dari sudut Filsafat Ilmu : Filsafat ilmu membedakan ilmu dari 2 (dua) sudut pandangan, yaitu pandangan positivistik yang melahirkan ilmu empiris dan pandangan normatif yang melahirkan ilmu normatif. Dengan demikian, Ilmu Hukum memiliki 2 (dua) sisi dan memfokuskan pada kajian yang berbeda. Pada satu sisi Ilmu Hukum dengan karakter aslinya sebagai ilmu normatif dan pada sisi lainnya Ilmu Hukum mempunyai segi-segi empiris. Adapun sisi empiris tersebut yang menjadi kajian Ilmu Hukum Empiris seperti Sociological Jurisprudence dan Socio-Legal Jurisprudence.
    b. Pendekatan dari Sudut Pandang Teori Hukum :
    Ilmu Hukum dibagi atas 3 (tiga) lapisan utama yaitu : dogmatik hukum, teori hukum (dalam arti sempit) dan filsafat hukum. Ketiga lapisan tersebut pada akhirnya memberi dukungan pada praktik hukum, yang masing-masing mempunyai karakter dan metode yang khas. Persoalan tentang metode dalam Ilmu Hukum merupakan bidang kajian teori hukum (dalam arti sempit).
    Menurut Gustav Radbruch, keberadaan hukum dimaksudkan untuk memberikan rasa keadilan, kepastian dan kegunaan, dimana dari ketiga nilai tersebut selalu terjadi pertentangan.32 Oleh karena itu untuk mewujudkan
    32 Theo Huijbers, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta, 1982, hlm. 162.
    Selanjutnya, menurut Gustav Radbruch dalam pengertian hukum dapat dibedakan pada tiga aspek yang ketiga-tiganya diperlukan untuk sampai pada pengertian hukum yang memadai. Aspek yang pertama adalah : Keadilan dalam arti sempit. Keadilan ini berarti kesamaan hak untuk semua orang di depan Pengadilan.
    944 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
    hukum yang benar harus saling melengkapi dan tidak saling mengecualikan. Pengutamaan satu diantara yang lain dan nilai dasar hukum tersebut akan berakibat pada timbulnya ketidak cocokan diantara nilai-nilai hukum tersebut. Berdasarkan pada landasan axiologinya yaitu teori tentang nilai, sebagai nilai dari Ilmu Pengetahuan dan Ilmu Hukum selalu mengacu pada nilai-nilai keadilan dan kepastian, karena keduanya disamping sebagai salah satu tujuan hukum yang paling banyak dikaji dan diperdebatkan, juga sebagai sasaran utama yang hendak dicapai oleh manusia melalui pelaksanaan hukum yang semakin lama semakin kompleks. Nilai-nilai tersebut pada akhirnya dapat mempengaruhi proses pengembangan hukum yang memiliki makna kegiatan manusia berkenaan dengan adanya dan berlakunya hukum di dalam masyarakat.
    Prinsip-prinsip hukum berupa kepastian dan keadilan hukum dimaksudkan sebagai nilai-nilai dasar mengenai apa yang dikehendaki manusia dari keberadaan dan keberlakuan hukum.33 Hukum dengan nilai-nilainya hendak mewujudkan bahwa kehadirannya dimaksudkan untuk melindungi dan memajukan nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat. Dalam konteks tersebut, nilai-nilai dasar dari hukum dimaksudkan sebagai nilai instrumental, yaitu hukum tersebut bernilai sebagai sarana untuk mencapai tujuan kebahagiaan dan keadilan dalam masyarakat.
    Hukum merupakan kristalisasi nilai-nilai yang terdapat dalam masyarakat, namun demikian dalam hukum biasanya nilai-nilai tersebut digambarkan sebagai berpasangan, akan tetapi tidak jarang pula bertentangan. Nilai-nilai tersebut, misalnya : ketertiban dan ketentraman, kepastian hukum dan kesebandingan, kepentingan umum dan kepentingan individu.34 Dengan demikian, tidak adanya keserasian dan harmonisasi
    Aspek yang kedua adalah tujuan keadilan atau finalitas, aspek ini menentukan isi hukum, sebab isi hukum harus sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai. Aspek yang ketiga adalah kepastian hukum atau legalitas, aspek ini menjamin bahwa hukum dapat berfungsi sebagai peraturan yang harus ditaati. 33 Meuwissen, (terjemahan B. Arief Sidharta), Opcit, hlm. 8. 34 Satjipto Rahardjo, Sosiologi Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta, 1998, hlm. 69.
    Perspektif Hukum sebagai Landasan…..(Zulfi Diane Zaini) 945
    diantara nilai-nilai tersebut yang terdeskripsikan dalam masyarakat akan mengganggu tujuan dan jalannya proses penegakkan hukum. Fokus utama dari pertentangan sebenarnya terletak pada persoalan bagaimana hukum positif dengan jaminan kepastiannya dapat mewujudkan nilai-nilai moral, khususnya keadilan yang dijunjung tinggi oleh masyarakat dan bentuk keadilan apakah yang diharapkan dan atau seharusnya menjadi landasan dalam hukum buatan manusia tersebut yang khususnya terdapat dalam hukum positif. Hak mempunyai hubungan dengan kewajiban sebagai refleksi keseimbangan dalam hidup bermasyarakat, keseimbangan tersebut yang dapat mewujudkan perpaduan antara keadilan hukum, keadilan sosial dan keadilan moral terwujud. Jadi keadilan merupakan bagian utama dari cita hukum.
    Pandangan tentang keadilan menurut konsep Aristoteles35 , dibedakan antara keadilan distributif yakni : mempersoalkan bagaimana negara atau masyarakat membagi atau menebar keadilan kepada orang-orang sesuai dengan kedudukannya, sedangkan keadilan komutatif merupakan keadilan yang tidak membedakan posisi atau kedudukan orang perorang untuk mendapatkan perlakukan hukum yang sama. Dimana, kedua bentuk keadilan tersebut tetap harus mengikuti azas persamaan.
    John Rawls mengkonsepsikan keadilan sebagai fairness, yang mengandung azas-azas bahwa orang yang merdeka dan rasional yang berkeinginan untuk mengembangkan kepentingan-kepentingan hendaknya memperoleh suatu kedudukan yang sama pada saat akan memulainya dan itu merupakan syarat-syarat yang fundamental bagi masyarakat.36
    Dengan demikian, keadilan menjadi fairness (wajar, alamiah) apabila tatanan yang ada dapat diterima oleh semua orang secara adil, melalui penerimaan dengan ikhlas dari semua unsur golongan, kelompok, ras, etnik, agama tanpa tekanan, yang dapat menciptakan masyarakat yang berkeadilan.
    35 Ibid. 36 John Rawls, Teori Keadilan, Penerbit Qalam, Yogyakarta, 2005, hlm. 50-51.
    946 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
    Tanpa kelengkapan instrumen hukum dengan cita-cita luhur, keadilan akan menjadi sulit tercapai. Oleh karenanya hak dan kewajiban serta tanggung jawab yang melekat pada hukum pada hakikatnya merupakan komitmen hukum dalam melindungi kepentingan orang per orang. 2. Peranan Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi Di Indonesia.
    Pada era global pembangunan hukum ditandai dengan kecenderungan tuntutan kebutuhan pasar yang dewasa ini semakin mengglobal. Dalam kondisi semacam itu, produk-produk hukum yang dibentuk lebih banyak bertumpu pada keinginan pemerintah, karena tuntutan pasar. Tuntutan kebutuhan ekonomi telah mampu menimbulkan perubahan-perubahan yang amat fundamental baik dalam hal fisik maupun sosial politik dan budaya yang mapu melampaui pranata-pranata hokum yang ada. Produk hukum yang ada lebih meangarah pada upaya untuk memberi arahan dalam rangka menyelesaikan konflik yang berkembang dalam kehidupan ekonomi.37 Pembangunan hukum yang tertuju pada kehidupan perekonomian saat ini harus mampu mengarah dan memfokuskan pada aturan-aturan hukum yang diharapkan mampu memperlancar roda dinamika ekonomi dan pembangunan yang tidak melepaskan diri dari sistem demokrasi ekonomi dengan mengindahkan akses rakyat untuk mencapai efisiensi dan perlindungan masyarakat golongan kecil.
    Adam Smith (1723-1790) melahirkan ajaran mengenai Keadilan (justice), yang menyatakan bahwa tujuan keadilan adalah untuk melindungi dari kerugian (the end of justice is to secure from injury).38 Ajaran Smith tersebut menjadi dasar hubungan yang tidak dapat dipisahkan antara hukum dan ekonomi, dan antara ekonomi dengan politik mempunyai hubungan yang
    37 Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Di Indonesia, LP3IS, Jakarta, 2001, hlm 9. 38 R.L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, e.d, Lectures on Jurisprudence, Liberty Fund, Indianapolis, 1982, hlm. 9.
    Perspektif Hukum sebagai Landasan…..(Zulfi Diane Zaini) 947
    erat, dan kemudian dikenal dengan istilah ekonomi-politik (political economy).39 Adapun salah satu tujuan dari ekonomi-politik adalah menyediakan sejumlah daya bagi negara atau pemerintah agar mampu menjalankan berbagai tugas dan fungsinya dengan baik, dimana ekonomi-politik berusaha untuk merumuskan bagaimana memakmurkan rakyat dan pemerintah sekaligus. Dalam era global eksistensi hukum dipandang penting, karena perubahan di berbagai bidang menuntut adanya norma atau rule of law dapat memberikan arahan pada cita-cita mulia sebagaimana pertama kali ide liberalisasi perdagangan lahir yang menghendaki adanya pemerataan ekonomi dan mensejahterakan masyarakat dunia yang selama ini dianggap tidak adil akibat praktik kolonialisme.
    David M. Trubek (Guru Besar dari University of Wisconsin) menyatakan bahwa “rule of law” merupakan hal yang sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi dan akan memberikan dampak yang luas bagi “reformasi” sistem ekonomi di seluruh dunia, yang berdasarkan pada teori apa yang dibutuhkan untuk pembangunan dan bagaimana peranan hukum dalam perubahan ekonomi.40
    Pentingnya dikaji kembali teori hukum sebagai dasar dalam pembangunan dan peranan hukum dalam pembangunan ekonomi tidak lain karena secara umum pelaku ekonomi dalam memandang kegiatan perekonomian hanya pada pendekatan satu sisi saja, hal tersebut dapat dilihat pada kebijakan yang diterapkan oleh International Monetary Fund (IMF) dan Bank Dunia (World Bank), dirasakan telah mengakibatkan kebijakan ekonomi menjadi tidak terkontrol yang kemudian terjadinya market shock.41 Liberalisasi pasar keuangan tanpa disertai peraturan hukum yang efektif dan memadai akan menyebabkan terjadinya instabilitas ekonomi dan dapat memicu suku
    39 Adam Smith, An Inqury into the Nature and Causes of the Wealt of Nation, Penguin Book, London, 1979, hlm. 397. 40 David M. Trubek, “2002-2003, ELRC Annual Report : Law and Economic Development : Critiques and Beyond” disampaikan pada Spring Conference Harvard Law School, April 13-14 2003, hlm. 1. 41 Ibid.
    948 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
    bunga tinggi yang pada gilirannya akan menyulitkan sektor riil dan pelaku ekonomi menengah ke bawah.
    Selanjutnya Trubek juga menyatakan bahwa pada saat ini setiap negara membutuhkan suatu upaya yang sistematis untuk memahami keterkaitan antara hukum, sosial, ekonomi dan politik, jika tidak bisa dilakukan secara komprehensif, konsistensi dan koherensi, akan berdampak pada terjadinya krisis hukum (crisis of law).42
    Berdasarkan pendapat tersebut diatas, jika dikaitkan dengan dengan kondisi di Indonesia, landasan hukum yang digunakan dalam pembangunan ekonomi perlu dikaji kembali, dimana dalam memerankan hukum untuk pembangunan ekonomi Indonesia ke depan hukum tidak saja bersifat formalis akan tetapi hukum harus dibuat secara sistematis dan komprehensif (in concert) agar mempunyai arah dan tujuan yang jelas sesuai dengan apa yang akan dicapai dan instrumen yang digunakan untuk dapat mencapainya. Hal tersebut sejalan dengan analisis The European Bank for Reconstruction and Development (EBRD)43 berkenaan dengan infrastruktur hukum pada negara-negara yang sedang berkembang termasuk Indonesia serta transition economies yang menunjukkan korelasi cukup signifikan antara efektifitas sistem hukum dan pertumbuhan ekonomi. Dalam analisis dan kajian EBRD tersebut memperlihatkan pula keberhasilan reformasi perekonomian tergantung pada berfungsinya sistem hukum dengan baik.
    Burg’s menyatakan bahwa ada 2 (dua) unsur kualitas dari hukum yang harus dipenuhi agar sistem ekonomi dapat berfungsi dengan maksimal, yakni :44
    a. Stabilitas (stability), dimana hukum berpotensi untuk menjaga keseimbangan dan mengakomodasi kepentingan-kepentingan yang saling bersaing;
    42 David M. Trubek, “Toward a Social Theory of Law : An Essay on the Study of Law and Development”, The Yale Law Journal, (Vol. 82, 1 November 2000), hlm. 2. 43 Kartharina Pistor dan Philip A. Wellon, et al, Asian Development Bank, The Rule of Law and Legal Institutions in Asian Economic Development 1960-2000, Oxford University Press, New York, 2001, hlm. 25. 44 Soerjanto Poespowardojo, Opcit, hlm. 85
    Perspektif Hukum sebagai Landasan…..(Zulfi Diane Zaini) 949
    b. Meramalkan/Memprediksi (predictability), berfungsi untuk memprediksi akibat dari suatu langkah-langkah yang diambil khususnya akan menjadi sangat penting bagi negara yang sebagian besar rakyatnya memasuki hubungan-hubungan ekonomi yang melampaui lingkungan sosial dan tradisional.
    Berdasarkan konsep tersebut di atas, yakni diantara kedua unsur tersebut harus diperhatikan juga aspek yang paling penting yaitu “aspek keadilan” (“fairness”) seperti perlakukan yang sama dan standart pola tingkah laku pemerintah, yang diperlukan untuk menjaga mekanisme pasar dan mencegah birokrasi yang berlebihan.
    Setiap Negara membutuhkan landasan filosofis berbangsa dan bernegara. Atas landasan filosofis tersebut disusunlah visi misi dan tujuan Negara. Bagi Indonesia sendiri, landasan filosofis negara adalah Pancasila. Untuk itu Pancasila harus dilihat secara utuh sebagai suatu national guideness serta national standard, norm and principles yang di dalamnya juga memuat sekaligus human rights dan human responsibility, yang pada sisi lain Pancasila juga berguna sebagai margin of appreciation45, sebagaimana yang juga harus diimplementasikan dalam pelaksanaan Hukum Ekonomi di Indonesia. Dengan demikian Hukum Ekonomi di Indonesa dalam wujud Margin of Appreciation dijadikan tolak ukur bagi pembenaran terhadap norma-norma hukum yang diberlakukan sehingga nilai utama Pancasila sebagai Ideologi bangsa yaitu kebersamaan dengan bentuk ideal kebersamaan hidup bermasyarakat, adalah masyarakat kekeluargaan, sehingga dalam bidang ekonomi, ideologi Pancasila menghendaki kebersamaan (kekeluargaan Demokrasi Ekonomi Pasal 33 UUD 1945), yang diwujudkan melalui Negara Kesejahteraan.
    Dalam dunia yang makin menempatkan liberalisme sebagai arus utama pemikiran untuk mendatangkan kesejahteraan, Indonesia bergerak semakin jauh dari cita-cita membangun Negara Kesejahteraan, di dunia ini sekarang
    45 Muladi, Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia (Seminar Nasional Dalam Rangka Dies Natalis ke- 40 Universitas Pancasila), Jakarta 7 Desember 2006, hlm. 11-12.
    950 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
    dan kedepan liberalisme ekonomi dengan cirri ekonomi pasar bebas digunakan semakin luas. Namun dalam Negara kesejahteraan meskipun prinsi-prinsip ekonomi pasar diberlakukan kesejahteraan menjadi unsur penting tujuan bernegara. Hal tersebutlah yang membedakan dengan Negara yang menganut ekonomi pasar murni, dimana kesejahteraan bersama sekedar menjadi hasil sampingan, bukan tujuan.
    Penekanan yang harus mendapatkan perhatian adalah bahwa pengembangan dalam ilmu hukum Indonesia, pada akhirnya tidak hanya sekedar alih pengetahuan tentang hukum dan bukan pula sekedar pelatihan ketrampilan untuk menjalankan hukum tetapi juga termasuk di dalamnya pendidikan nilai-nilai yang menjadi basis sistem hukum nasional yang hendak dibangun dan bagi Indonesia nilai-nilai tersebut adalah nilai-nilai Pancasila.
    Selanjutnya, Pemerintah Indonesia harus berhati-hati dalam memilih dan melaksanakan strategi pembangunan ekonomi. Ada peringatan “teoritis” bahwa ilmu ekonomi Neoklasik dari Barat memang cocok untuk menumbuhkembangkan perekonomian nasional, tetapi tidak cocok atau tidak memadai untuk mencapai pemerataan dan mewujudkan keadilan sosial. Amanah Pancasila akan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang seharusnya dijadikan pedoman mendasar dari setiap kebijakan pembangunan ekonomi dan pengembangan hukum sebagai landasan pembagunan ekonomi. Nilai-nilai Pancasila yang relevan dan perlu diacu adalah sila terakhir, yakni keadilan sosial. Roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan ekonomi, sosial, dan moral. Ada kehendak kuat warga masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial yaitu tidak membiarkan terjadinya dan berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial.
    Semangat nasionalisme ekonomi dalam era globalisasi makin jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan mandiri. Demokrasi konomi berdasar kerakyatan dan kekeluargaan, serta usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi perorangan dan masyarakat.
    Perspektif Hukum sebagai Landasan…..(Zulfi Diane Zaini) 951
    Keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil, antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju perwujudan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Sebagaimana terjadi pemerintah Orde Baru yang sangat kuat dan stabil, memilih strategi pembangunan berpola “konglomeratisme” yang menomorsatukan pertumbuhan ekonomi tinggi dan hampir-hampir mengabaikan pemerataan. Hal inilah yang merupakan strategi yang berakibat pada “terjadinya krisis moneter” yang terjadi pada Tahun 1997 saat awal reformasi politik, ekonomi, sosial, dan moral.
    Sebagaimana yang dihadapi dunia saat ini, dimana dengan adanya krisis keuangan global saat ini telah mengakibatkan sistem hukum ekonomi di beberapa negara tidak dapat menjalankan fungsi dan perannya secara efektif. Kondisi tersebut dikhawatirkan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap stabilitas sistem keuangan dan mengancam kesinambungan perekonomian nasional. Krisis keuangan secara global yang saat ini terjadi di wilayah Amerika, Eropa maupun Asia pada dasarnya secara khusus bersumber dari masih lemahnya kualitas sistem keuangan yang ada di secara global di dunia.
    Reformasi keuangan yang terjadi pada awal Tahun 1980 an ternyata hanya memberikan peningkatan kuantitas lembaga-lembaga keuangan dan kuantitas aliran modal yang masuk (capital inflow) ke suatu Negara. Kondisi seperti ini, juga dilakukan oleh Indonesia pada saat itu, khususnya jika dikaitkan dengan liberalisasi perbankan yang berawal pada Tahun 1988 dimana kondisi tersebut merupakan salah satu faktor pemicu lemahnya sistem keuangan, khususnya pada sektor Lembaga Perbankan. Terjadinya gejolak di pasar uang, pasar valas dan pasar modal serta meningkatnya ketidakpastian (uncertainty) dapat mengabikatkan semakin memburuknya kinerja Lembaga Keuangan yang pada gilirannya dapat mengakibatkan runtuhnya kestabilan sektor keuangan.
    Secara keseluruhan jika kondisi krisis global yang terjadi pada saat ini tidak segera diantisipasi dan ditangani secara serius dan komprehensif oleh Pemerintah Indonesia maka akan berdampak pada krisis keuangan yang
    952 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
    semakin mendalam. Selanjutnya, kondisi tersebut tidak saja berdampak pada buruknya aspek likuiditas perbankan, akan tetapi juga pada solvabilitas dan rentabilitas dari lembaga perbankan secara nasional, mengingat lembaga perbankan merupakan pasar yang sangat dominan dalam industri keuangan di Indonesia46, maka secara sistematis sektor keuangan dapat mengalami kelumpuhan kembali sebagaimana kondisi yang terjadi kurun waktu Tahun 1997-1998 yang lalu. Mepertimbangkan dari dampak dan kerugian yang demikian besar terhadap kondisi perekonomian suatu Negara sebagai akibat dari instabilitas sistem keuangan tersebut serta langkah-langkah penyelesaian krisis (crisis resolution) yang juga membutuhkan waktu cukup lama, maka sudah saatnya stabilitas sistem keuangan fungsinya dioptimalkan dan perlunya kordinasi yang efektif dan komprehensif baik dari pihak pemerintah dan Bank Sentral sebagai pengambil kebijakan publik di setiap belahan negara-negara di dunia pada saat ini, termasuk di Indonesia pasca krisis keuangan dan perbankan Tahun 1997-1998. Akan tetapi, kondisi yang ada pada saat ini khususnya di Indonesia, belum maksimalnya konsep-konsep pemikiran secara yuridis maupun institusional (legal and institutional framework) dari masing-masing instutisi yang bertanggung jawab secara menyeluruh dalam menjaga stabilitas sistem keuangan tersebut. Berkaitan dengan hal tersebut di atas, dalam upaya melakukan perkembangan dalam pembangunan nasional terutama yang berkaitan dengan pembangunan ekonomi, secara umum dapat dijelaskan bahwa keterkaitan antara regulasi / pengaturan sistem pengamanan keuangan untuk menjaga stabilitas sistem keuangan di Indonesia akan berkorelasi pula dengan peranan Hukum dalam Pembangunan Ekonomi secara keseluruhan. Syarat mutlak berjalannya sistem ekonomi nasional yang berkeadilan sosial adalah berdaulat di bidang hukum dan politik, mandiri di bidang ekonomi, dan berkepribadian di bidang budaya.
    46 Mengutip pendapat Prof. Dr. Djuhaendah Hasan, S.H., bahwa Lembaga Perbankan merupakan jantungnya perekonomian di Indonesia.
    Perspektif Hukum sebagai Landasan…..(Zulfi Diane Zaini) 953
    Srategi pembangunan yang memberdayakan ekonomi rakyat merupakan strategi melaksanakan demokrasi ekonomi yaitu produksi dikerjakan oleh semua untuk semua dan di bawah pimpinan dan penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakat lebih diutamakan ketimbang kemakmuran orang seorang. Maka kemiskinan tidak dapat ditoleransi sehingga setiap kebijakan dan program pembangunan harus memberi manfaat pada mereka yang paling miskin dan paling kurang sejahtera. Inilah pembangunan generasi mendatang sekaligus memberikan jaminan sosial bagi mereka yang paling miskin dan tertinggal.
    C. PENUTUP
  4. Kesimpulan.
    a. Ilmu sebagai proses berfikir dapat memberikan arah yang jelas untuk mengkaji hakikat keilmuan dari ilmu hukum dan ilmu hukum merupakan ilmu yang mempunyai ciri khas tersendiri (sui generis). Pendekatan terhadap ilmu hukum dapat dilakukan dengan pendekatan filsafat ilmu yakni dari aspek ontologi, epistimologi dan aksiologi. Karena pendekatan filsafat ilmu dapat memberikan pencerahan dalam menjawab pertanyaan bahwa ilmu hukum adalah suatu ilmu. Ilmu hukum juga mempunyai nilai kegunaan dan kemanfaatan yang luas baik secara teoritis maupun praktis berdasarkan dinamika perkembangannya maupun fenomena dan fakta-fakta yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sehingga dapat memberikan kepastian hukum dan merupakan kebutuhan masyarakat yang sangat fundamental serta harapan akan hukum yang adil dapat terpenuhi. Oleha karena itu untuk mewujudkan hukum yang baik dalam masyarakat, maka prinsip keadilan merupakan suatu syarat yang harus dipenuhi, sehingga keberadaan hukum secara sederhana dapat diartikan disamping pasti juga adil.
    954 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
    b. Pembangunan ekonomi di suatu negara, secara khusus di Indonesia, bahwa hukum memiliki peranan yang besar untuk memberi peluang pembangunan ekonomi. Pelaksanaan roda pemerintahan yang demokratis, dengan menggunakan hukum sebagai instrumen yang efektif dalam merencanakan dan melaksanakan program pembangunan yang komprehensif, akan membawa negara menuju masyarakat dengan tingkat kesejahteraan yang di cita-citakan. Bagi Indonesia menciptakan persatuan, menggalakkan pembangunan dan mewujudkan kesejahteraan harus di lakukan secara bersamaan. Kondisi tersebut, dapat memberi peluang dalam terciptanya keharmonisan dalam pencapaian tujuan pembangunan ekonomi. Pada pelaksanaan pembangunan ekonomi harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila dan UUD 1945, sehingga dapat memberi pengaruh bagi warga negara untuk bekerja lebih giat lagi, karena prestasi mereka dilindungi dan di jamin oleh hukum, sehingga dengan sendirinya hasil kerja tersebut dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
  5. Saran.
    Bagi seluruh pejabat publik, aparat penegak hukum, serta pihak-pihak lainnya yang berkaitan dengan jalannya pemerintahan di Indonesia dapat memaknai dan menerapkan konsep rule of law secara keseluruhan dan tidak sepotong-potong serta dilaksanakan dalam waktu bersamaan, sebab pengecualian dan penangguhan dari salah satu unsurnya dapat merusak keseluruhan sistem hukum yang ada dalam pelaksanaan pembangunan ekonomi.
    Perspektif Hukum sebagai Landasan…..(Zulfi Diane Zaini) 955
    DAFTAR PUSTAKA
    A. Buku-Buku :
    Adam Smith, 1979, An Inqury into the Nature and Causes of the Wealt of Nation, Penguin Book, London.
    Ady Kusnadi, 2008, Penelitian Hukum Sebagai Sarana Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, (Pembangunan Hukum Bisnis Dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional), FH-UNPAD.
    Ahmad Tafsir, 2007, Filsafat Ilmu Mengurai Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Pengetahuan, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
    Anthony T. Kronman, 1993, The Lost Lawyer Failing Ideals of the Legal Profession, Harvard University Press, Cambridge.
    CFG. Sunaryati Hartono, 1988, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Bina Cipta, Bandung.
    Chidir Ali, 1991, Badan Hukum, Alumni, Bandung.
    Djuhaendah Hasan, 2008, Fungsi Hukum Dalam Perkembangan Ekonomi Global, Bandung.
    Endang Sutrisno, 2007, Bunga Rampai Hukum dan Globalisasi, Genta Press, Yogyakarta.
    Huala Adolf, 2005, Hukum Perdagangan Internasional, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.
    John Rawls, 2005, Teori Keadilan, Penerbit Qalam, Yogyakarta.
    Jujun S. Suriasumantri, 2003, Filsfat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.
    —————-, 1984, Ilmu Dalam Perspektif, Yayasan Obor Indonesia & LEKNAS-LIPI, Jakarta.
    Kartharina Pistor dan Philip A. Wellon, et al, 2001, Asian Development Bank, The Rule of Law and Legal Institutions in Asian Economic Development 1960-2000, Oxford University Press, New York.
    956 Jurnal Hukum, Vol XXVIII, No. 2, Desember 2012
    Lili Rasjidi dan IB. Wyasa Putra, 1993, Hukum Sebagai Suatu Sistem, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung.
    Meuwissen, 2007, Meuwissen Tentang Pengembangan Hukum, Ilmu Hukum, Teori Hukum, Dan Filsafat Hukum (terjemahan B. Arief Sdharta), Refika Aditama, Bandung.
    Moh. Mahfud MD, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, Pustaka LP3ES Indonesia, Jakarta.
    —————-, 2001, Politik Hukum Di Indonesia, LP3IS, Jakarta.
    Mochtar Kusumaatmadja, 1996, Fungsi Dan Perkembangan Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Penerbit Binacipta, Bandung.
    Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1982, Sendi-Sendi Ilmu Hukum dan Tata Hukum, Alumni, Bandung.
    Richard A. Posner, 1983, Economic Analysis of Law, Little Brown Co, Boston.
    Richard B. Mc. Kenzie dan Gordon Tullock, 1988, Modern Political Economy, An Introduction to Economics, Mc Graw-Hill, Inc, New York.
    R.L. Meek, D.D. Raphael dan P.G. Stein, e.d, 1982, Lectures on Jurisprudence, Liberty Fund, Indianapolis.
    Satjipto Rahardjo, 1998, Sosiologi Hukum, Muhammadiyah University Press, Surakarta.
    Sidharta, 2006, Moralitas Profesi Hukum Suatu Tawaran Kerangka Berpikir, Refika Aditama, Bandung.
    Soerjanto Poespowardojo, 1998, Pembangunan Nasional Dalam Perspektif Budaya Sebuah Pendekatan Filsafat, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia, Jakarta.
    Theo Huijbers, 1982, Filsafat Hukum Dalam Lintasan Sejarah, Kanisius, Yogyakarta.
    The Liang Gie, 2000, Pengantar Filsafat Ilmu (Edisi Ke-Dua Diperbaharui), Penerbit Liberty, Yogyakarta.
    Tim Dosen Filsafat Ilmu – Fakultas Filsafat UGM, 2007, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Penerbit Liberty, Yogyakarta.
    Perspektif Hukum sebagai Landasan…..(Zulfi Diane Zaini) 957
    B. Makalah, Jurnal dan Artikel Ilmiah :
    Anwar Nasution, 2004, Makalah tentang Stabilitas Sistem Keuangan: Urgensi, Implikasi Hukum dan Agenda Ke Depan, dalam Seminar Pembangunan Hukum Nasional VIII – BPHN.
    Chairijah, 2008, Peran Program Legislasi Nasional Dalam Pembangunan Hukum Nasional, Makalah disampaikan pada Pelatihan Penyusunan dan Perancangan Peraturan Perundang-Undangan Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia, Jakarta.
    David M. Trubek, “2002-2003, ELRC Annual Report : Law and Economic Development : Critiques and Beyond” disampaikan pada Spring Conference Harvard Law School, April 13-14 Tahun 2003.
    —————-, “Toward a Social Theory of Law : An Essay on the Study of Law and Development”, The Yale Law Journal, (Vol. 82, 1 November 2000).
    Jimly Asshiddiqie, Cita Negara Hukum Indonesia Kontemporer, Makalah, Jakarta, 2004
    Muladi, Pancasila Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Hukum Indonesia (Makalah) (Seminar Nasional Dalam Rangka Dies Natalis ke- 40 Universitas Pancasila), Jakarta 7 Desember 2006.

Tutorial Membuat Kutipan dan Daftar Pustaka dengan Mendeley

1.Buka Mendeley, lalu Klik tools lalu “Install MS Word Plugin” untuk mengaktifkan Mendeley pada Microsoft Word.

2. Klik “Add Files” untuk menambahkan file ke dalam Mendeley.

3. Seperti contoh, menambahkan 10 file PDF ke dalam Mendeley. ini adalah contoh file ke-1, setelah “add file” pilih file dan klik open.

4. ini adalah contoh file ke-2, setelah “add file” pilih file dan klik open.

5. lakukan langkah no 3 dan 4, hingga 10 fle PDF teropen dalam Mendeley. Hasilnya terlihat dalam Mendeley, yaitu 10 file PDF sudah ditambahkan.

6. Selanjutnya, buka dokumen Mendeley paling atas, lalu copy paragraf.

7. Lalu paste pada Microsoft Word.

8. Setelah itu, klik “Refences” lalu “Insert Citation” dan klik “Go To Mendeley” untuk menambahkan nama pengarang dan tahun terbit.

9. Setelah klik “Go To Mendeley” lalu klik “Cite”.

10. Untuk membuat Daftar Pustaka, tulis di lembar baru.

11. Klik “References” dan klik “Insert Biolography”. Dan secara otomatis Daftar Pustaka akan muncul dengan sendirinya.

12. Ulangi cara no 6-11 pada semua file PDF yang di upload dalam Mendeley tadi. Jika 10 file tadi sudah selesai di proses, akan menjadi seperti ini adalah contoh kutipan.

13. Dan ini adalah contoh hasil Daftar Pustaka.

Inilah Tutorial Membuat Kutipan dan Daftar Pustaka dengan Mendeley, semoga dapat membantu.

Langkah Instal dan Konfigurasi Mendeley

1.Ketik “google.com” dan search “mendeley for desktop” lalu tekan enter.

2. Setelah muncul seperti ini, klik “Mendeley Desktop – Download Mendeley Desktop Software”.

3. Lalu klik “Download Mendeley Desktop for Windows”.

4. Setelah muncul seperti ini, klik “Save File”.

5. Klik tanda unduh pada atas layar, lalu klik “Show All Downloads” dan tunggu sampai 100%.

6. Setelah download selesai, buka folder Downloads pada Libraries. Dan klik 2 kali pada file “Mendeley-Dekstop-1.19.3-win32”.

7. Setelah muncul Open File, klik “Run” untuk memulai instal.

8. Setelah muncul “Mendeley Desktop Setup”, klik Next.

9. Setelah muncul seperti ini, klik “I Agree”.

10. Saat muncul tampilan seperti ini, klik “Install”.

11. Tunggu sampai Installing selesai, dan klik “Next”.

12. Setelah penginstallan selesai seperti ini, klik “Finish” untuk selesai.

13. Setelah itu, Sig in Mendeley menggunakan Email dan Password. Untuk masuk kedalam Mendeley dan menginstall sudah selesai.

Itulah langkah install dan konfigurasi Mendeley, semoga dapat membantu.

Langkah-langkah Membuat Google Form

  1. Ketik “forms.google.com” pada mozila/chrome dan enter untuk mensearch.

2. Daftar atau login menggunakan email dan masukkan password.

3. Setelah muncul seperti ini, klik “Blank” untuk membuat form baru.

4. Ketik judul form pada bagian “Untitled form”.

5. Contoh judulnya seperti “Form About Sholat”.

6. Ketik pertanyaan pertama pada bagian “Untitles Question”. Contoh pertanyaan pertama adalah “Nama lengkap”. Klik bagian (Required) untuk wajib pengisian jawaban.

7. Tanda (+) pada tepi kanan layar, untuk menambahkan pertanyaan.

8. Contoh pertanyaan ke-2 adalah “Umur”.

9. Contoh pertanyaan ke-3 adalah “Apa yang anda ketahui tentang sholat?”.

10. Contoh pertanyaan ke-4 adalah “Pada umur berapa anda belajar sholat?”.

11. Dan klik bagian “Paragraph” dan ganti menjadi “Multiple choice” untuk mengajukan pilihan jawaban seperti contoh.

12. Contoh pertanyaan ke-5 adalah “Apa manfaat sholat bagi kehidupan anda?”.

13. Contoh pertanyaan ke-6 adalah “Apakah anda sering sholat sunnah sebelum dan sesudah sholat?” dan ganti bagian (Paragraph) menjadi (Checkboxes) untuk menceklis jawaban pertanyaan seperti contoh.

14. Contoh pertanyaan ke-7 adalah “Seberapa sering anda berdzikir sesudah sholat?”. Dan ganti bagian (Paragraph) menjadi (Linear scale) seperti contoh.

15. Contoh pertanyaan ke-8 adalah “Dimana anda sering melaksanakan sholat?”. Dan ganti bagian (Paragraph) menjadi (Multiple choice) lagi untuk pilihan jawaban pertanyaan.

16. Contoh pertanyaan ke-9 adalah “Bersama siapa anda melaksanakan sholat?”. Dan ganti bagian (Paragraph) menjadi (Checkboxes) untuk menceklis jawaban seperti contoh.

17. Contoh pertanyaan ke-10 adalah “Doa apa saja yang sering anda ucapkan ketika sholat?”.

18. Klik tanda tersebut untuk pengaturan.

19. Setelah klik pengaturan, dan pilih “THEME OPTIONS” untuk mengatur warna.

20. Di “THEME OPTIONS” tadi, pilih “Choose image…” jika ingin mengatur gambar latar lalu select.

21. Form sudah jadi secara otomatis, dan kirim form kepada teman dengan klik “SEND” pada bagian atas layar. Pada bagian “To” masukkan nama-nama Email teman anda, lalu klik send.

22. Seperti ini contoh nya.

23. Tunggu jawaban teman anda pada bagian “RESPONSES”.

Itulah langkah-langkah membuat google form, semoga dapat membantu.