1 ARTIKEL TENTANG HUKUM EKONOMI SYARIAH

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/308991458
EPISTEMOLOGI HUKUM EKONOMI ISLAM (MUAMALAH)
Article · April 2012
DOI: 10.28918/religia.v15i1.126
CITATIONS
2
READS
9,272
1 author:
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Islamic Accounting View project
KONSTRUKSI HUKUM EKONOMI SYARIAH DALAM FIQH ANGGARAN YANG BEBASIS AKUNTANSI SYARIAH View project
Agus Arwani
IAIN Pekalongan, Indonesia, Jawa Tengah
24 PUBLICATIONS 2 CITATIONS
SEE PROFILE
All content following this page was uploaded by Agus Arwani on 11 October 2016.
The user has requested enhancement of the downloaded file.
EPISTEMOLOGI HUKUM EKONOMI
ISLAM (MUAMALAH)
Agus Arwani*
Abstract: Islam adalah agama universal dan komprehensif.
Universal artinya bahwa Islam ditujukan untuk semua umat
manusia di bumi dan dapat diterapkan setiap saat hingga
berakhirnya waktu. Satu aspek penting yang berkaitan dengan
hubungan manusia adalah ekonomi. Paham ekonomi Islam
memiliki prinsip yang diturunkan dari Al-Qur’an dan Hadist.
Ekonomi Islam sebagai disiplin ilmu memiliki pondasi
epistimologi. Epistimologi ekonomi Islam berarti tinjauan
sumber ekonomi Islam termasuk metodologi dan kebenaran
ilmiah. Epistimologi Islam sebagai langkah awal untuk
mendiskusikan subjek filosofi pengetahuan. Pada sisi lain,
epistimologi Islam berpusat pada Tuhan, dalam pengertian
Tuhan sebagai sumber pengetahuan dan sumber kebenaran. Sisi
yang lain, epistimologi Islam berpusat pada manusia, dalam
pengertian manusia sebagai aktor pencari pengetahuan
(kebenaran). Epistimologi hukum ekonomi Islam
membutuhkan ijtihad yang menggunakan alasan rasio.
Epistimologi hukum ekonomi Islam menggunakan metode
deduksi dan induksi.
Islam is a religion of universal and comprehensive. Universal
means that Islam is for all mankind on earth and can be applied
in every time and place until the end of time. One important
aspect related to human relations is economic. Islamic doctrine
of economics have principles derived Quran and Hadith.
Islamic economics as a discipline, thus having an
epistemological foundation. Islamic economic epistemology
means reviewing the origin (source) of Islamic economics, its
methodology and scientific validity. Islamic economic
epistemology means reviewing the origin (source) of Islamic
economics, its methodology and scientific validity. Islamic

  • Dosen Luar Biasa STAIN Pekalongan
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    126
    Epistemology take Islam as a starting point to discuss the
    subject of philosophical knowledge, on the one hand the
    Islamic epistemology centered on God, in the sense of God as
    the source of knowledge and the source of all truth. On the
    other hand, Islamic epistemology centered in humans, in the
    sense of humans as actors seeker of knowledge (truth).
    Epistemology of Islamic economic law required ijtihad using
    the ratio/reason. Epistemology of Islamic economic law, used
    deduction and induction method.
    Kata kunci: Ekonomi Konvensional, Epistemologi, Hukum,
    Ekonomi Islam
    PENDAHULUAN
    Islam adalah agama yang universal dan komprehensif.
    Sebagai ajaran yang komprehensif, Islam meliputi tiga pokok
    ajaran, yaitu aqidah, syari’ah dan akhlak. Hubungan antara aqidah,
    syari’ah dan akhlak dalam sistem Islam terjalin sedemikian rupa
    sehingga merupakan sebuah sistem yang komprehensif. Syariah
    Islam terbagi kepada dua yaitu ibadah dan mu’amalah. Ibadah
    diperlukan untuk menjaga ketaatan dan keharmonisan hubungan
    manusia dengan khaliq-Nya. Mu’amalah dalam pengertian umum
    dipahami sebagai aturan mengenai hubungan antar manusia.
    Salah satu aspek penting yang terkait dengan hubungan antar
    manusia adalah ekonomi. Ajaran Islam tentang ekonomi memiliki
    prinsip-prinsip yang bersumber al-Qur’an dan Hadits. Prinsipprinsip
    umum tersebut bersifat abadi, seperti prinsip tauhid, adil,
    maslahat, kebebasan, dan tanggung jawab, persaudaraan, dan
    sebagainya. Prinsip-prinsip ini menjadi landasan kegiatan ekonomi
    di dalam Islam yang secara teknis operasional selalu berkembang
    dan dapat berubah sesuai dengan perkembangan zaman dan
    peradaban yang dihadapi manusia.
    Ekonomi menjadi kebutuhan dasar dalam memenuhi
    kesejahteraan manusia, dalam ekonomi konvensional, kesejahteraan
    diartikan sebagai kepuasan diri sebesar besarnya sedang dalam
    ekonomi Islam kesejahteraan diartikan sebagai kesuksesan hidup di
    dunia dalam menjalankan tugasnya sebagai Kholifah untuk
    beribadah kepada Allah. Tiga hal ini menjadi dasar utama dalam
    menjalankan ekonomi Islam.
    Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Agus Arwani)
    127
    Filsafat diartikan sebagai cara berfikir dalam menentukan
    mana yang baik dan buruk dan secara bijaksana melakukan yang
    baik, guna dari filsafat adalah untuk mengetahui hakikat sebenar
    benarnya suatu objek sehingga orang memahami dan
    mempelajarinya tidak keliru. Salah satu pengetahuan filsafat adalah
    epistemologi. Epistemologi akan membantu kita secara tidak
    langsung untuk memilih ataupun menyusun pengetahuan yang akan
    kita jadikan sebagai dasar dari sikap atau tindakan kita. Akan tetapi,
    bukan berarti ketika kita telah memilih atau menyusun suatu
    pengetahuan dengan pertimbangan-pertimbangan epistemologis,
    pengetahuan kita bisa dipastikan benar, karena saya yakin,
    anggaplah ini sebagai pandangan pribadi─ tidak ada orang atau
    metode apapun yang bisa menjamin suatu pengetahuan pasti benar,
    dan juga karena saya sependapat dengan pandangan bahwa
    pengetahuan hanya dianggap sebagai suatu analisis atas
    kemungkinan-kemungkinan yang pada gilirannya menjadi landasan
    untuk melakukan suatu perbuatan, yakni aspek rasional dari praktek,
    dimana saya juga yakin terdapat keputusan-keputusan yang kita buat
    yang tidak bisa diterjemahkan sebagai hal yang rasional. Dalam
    tulisan ini akan berusaha mengulas tentang epistemologi hukum
    ekonomi Islam (muamalah).
    PEMBAHASAN
    A. Pengertian Epistemologi
    Secara etimologi, epistemologi berasal dari kata
    Yunani episteme dan logos. Episteme berarti pengetahuan,
    sedangkan logos berarti teori, uraian atau alasan. Jadi epistemologi
    dapat diartikan sebagai teori tentang pengetahuan (Bakhtiyar, 2008:
    10). Dengan demikian, epistemologi merupakan salah satu cabang
    filsafat yang mengkaji secara mendalam dan radikal tentang asal
    mula pengetahuan, struktur, metode, dan validitas pengetahuan.
    Epistemologi pada hakikatnya membahas tentang filsafat
    pengetahuan yang berkaitan dengan asal-usul (sumber) pengetahuan,
    bagaimana memperoleh pengetahuan tersebut (metodologi) dan
    kesahihan (validitas) pengetahuan tersebut.
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    128
    B. Hukum Mu’amalah dan Ekonomi Islam
    Hukum mu’amalah merupakan rangkaian dari kata “hukum”
    dan kata “mu’amalah”. Kedua itu secara terpisah, merupakan kata
    yang digunakan dalam bahasa Arab dan terdapat dalam Al-Qur’an,
    juga berlaku dalam bahasa Indonesia. “hukum mu’amalah” sebagai
    suatu rangkaian kata telah menjadi bahasa Indonesia yang hidup dan
    terpakai. Dalam bahasa Indonesia kata ‘hukum’ secara mandiri
    menurut Amir Syarifuddin adalah seperangkat peraturan tentang
    tingkah laku manusia yang diakui sekelompok masyarakat, disusun
    orang-orang yang diberi wewenang oleh masyarakat itu, berlaku dan
    mengikat untuk seluruh anggotanya (Syarifuddin, 2011: 6).
    Adapun mu’amalah dari kata ‘amala yu’amilu mu’amalatan
    yang berarti: beraksi, bekerja, berproduksi, namun biasanya dengan
    kaitan hukumnya kata “mu’amalah” disandingkan dengan kata
    “fiqh” yang secara bahasa berarti “pemahaman” (Ali, 1996: 1323).
    Adapun pengertian ekonomi Islam yang terdiri dari dua kata
    ekonomi dan Islam. Ekonomi merupakan salah satu ilmu sosial yang
    mempelajari aktivitas manusia yang berhubungan dengan produksi,
    distribusi, dan konsumsi terhadap barang dan jasa. Istilah “ekonomi”
    sendiri berasal dari bahasa Yunani, yaitu ο􀀀κος (oikos) yang berarti
    “keluarga, rumah tangga” dan νόμος (nomos) yang berarti
    “peraturan, aturan, hukum”. Secara garis besar, ekonomi diartikan
    sebagai “aturan rumah tangga” atau “manajemen rumah tangga.”
    Sementara yang dimaksud dengan ahli ekonomi atau ekonom adalah
    orang yang menggunakan konsep ekonomi dan data dalam bekerja
    (http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi, 2012: 1).
    Menurut M. Akram Kan ekonomi Islam adalah “Islamic
    economics aims the study of he human falah (well-being) achieved
    by organizing the resources of the earth on the basic of cooperation
    and participation”. Secara lepas dapat diartikan bahwa ilmu
    ekonomi Islam bertujuan untuk melakukan kajian tentang
    kebahagian hidup manusia yang dicapai dengan mengorganisasikan
    sumber daya alam atas dasar bekerja sama dan partisipasi. Definisi
    yang dikemukakan Akram Kan memberikan dimensi normatif
    (kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat) serta dimensi positif
    (mengorganisasi sumber daya alam) (Huda dkk, 2007: 7).
    Berkaitan dengan ekonomi dan mu’amalah yaitu di mana
    kedua kata tersebut erat kaitannya dengan masalah pendistribusian
    Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Agus Arwani)
    129
    sumberdaya alam khususnya harta sehingga kajian ekonomi Islam
    menjadi bagian dari kajian fiqh mu’amalah. Muhammad Yusuf
    Musa berpendapat bahwa kajian fiqh mu’amalah itu mencakup
    tentang ketentuan-ketentuan hukum mengenai kegiatan
    perekonomian, amanah dalam bentuk titipan dan pinjaman, ikatan
    kekeluargaan, proses penyelesaian perkara lewat pengadilan dan
    bahkan soal distribusi harta waris (Rosyada, 1992: 70). Berdasarkan
    hal tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa fiqh mu’amalah adalah
    mengetahui ketentuan-ketentuan hukum tentang usaha-usaha
    memperoleh dan memperkembangkan harta, jula beli, hutang
    piutang, dan jasa penitipan di antara anggota-anggota masyarakat
    sesuai keperluan mereka, yang difahami dari dalil-dalil syara’ yang
    terinci (Rosyada, 1992: 71).
    C. Filsafat Hukum Ekonomi Islam (Mu’amalah)
    Filsafat sebagai proses berfikir yang sistematis dan radikal
    mempunyai objek material dan objek formal. Objek material filsafat
    adalah segala yang ada, baik yang tampak atau yang tidak tampak.
    Sebagian ahli filsafat membagi objek material filsafat atas tiga
    bagian, yaitu yang ada dalam alam empiris, yang ada dalam fikiran,
    dan yang ada dalam kemungkinan. Adapun objek formal filsafat
    adalah sudut pandang yang meneyeluruh, radikal, dan rasional
    tentang segala yang ada (Bakhtiar, 2008: 1).
    Ilmu ekonomi Islam (Islamic economics) memiliki
    landasan epistemologis layaknya sebagai disiplin ilmu. Membahas
    epistemologi hukum ekonomi Islam berarti mengkaji asal-usul
    (sumber) hukum ekonomi Islam, metodologinya dan validitasnya
    secara ilmiah.
    Pembahasan landasan filosofis untuk ilmu ekonomi Islam
    ini terdiri atas dimensi ontologis, epistemologis, dan aksiologis.
    Dengan tetap mempergunakan pendekatan historis dan ideologis
    (bahkan apologetis) yang cukup kental, pada dimensi ontologis
    terlihat bahwa tidak ada alasan untuk menolak eksistensi ilmu
    ekonomi Islam sebagai sebuah ilmu. Substansi rumusan tercermin
    dari statemen yang menyatakan bahwa ilmu ekonomi syari’ah
    adalah ilmu yang mempelajari tingkah laku manusia dalam rangka
    memenuhi kebutuhannya.
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    130
    Ilmu ini bersumber dari nilai-nilai ajaran Islam yang
    terdapat dalam Al Quran dan Sunnah yang realitas historisnya dapat
    ditemukan dalam khazanah literatur keislaman (kitab-kitab fikih dan
    qanun) yang materi pembahasannya dimulai sejak masa Nabi sampai
    dengan hari ini.
    Kekentalan pendekatan historis dan ideologis (dan bahkan
    apologetis itu) terlihat pada pembahasan yang mengharuskan orang
    untuk kembali melihat kejayaan Islam masa silam. Karena, cukup
    banyak bukti bahwa para pemikir muslim merupakan penemu,
    peletak dasar, dan pengembang banyak bidang ilmu. Nama-nama
    pemikir muslim bertebaran di sana-sini menghiasi area ilmu
    pengetahuan, termasuk juga ilmu ekonomi. Para pemikir muslim
    klasik itu tidak terjebak dalam pengotak-kotakan berbagai macam
    ilmu tersebut seperti yang dilakukan oleh para pemikir saat ini.
    Mereka melihat ilmu-ilmu tersebut sebagai “ayat-ayat” Allah yang
    bertebaran di seluruh alam.
    Dalam pandangan mereka, ilmu-ilmu itu walaupun sepintas
    terlihat berbeda-beda dan bermacam-macam jenisnya, namun pada
    hakikatnya berasal dari sumber yang satu, yakni dari Yang Maha
    Mengetahui seluruh ilmu. Yang Maha Benar, Allah SWT (Karim,
    2007: 1). Hal-hal itulah yang “menyebabkan” rumusan dimensi
    ontologis ilmu ekonomi Islam .
    Pada dimensi epistemologis, secara umum diskusi berkisar
    pada substansi masalah yang diungkap oleh tiga mazhab pemikiran
    ekonomi Islam dewasa ini; yaitu mazhab Baqir Sadr (Iqtishaduna),
    mazhab Mainstream, dan mazhab Alternatif-Kritis. Mazhab Baqir
    Sadr berpendapat bahwa ilmu ekonomi tidak pernah bisa sejalan
    dengan Islam. Ekonomi tetap ekonomi dan Islam tetap Islam.
    Keduanya tidak akan pernah dapat disatukan, karenanya berasal dari
    filosofi yang saling kontradiktif. Yang satu anti-Islam, yang lainnya
    Islam. Menurut mereka, perbedaan filosofis ini berdampak pada
    perbedaan cara pandang keduanya dalam melihat masalah ekonomi.
    Menurut ilmu ekonomi, masalah ekonomi muncul karena
    adanya keinginan manusia yang tidak terbatas sementara sumber
    daya yang tersedia untuk memuaskan keinginan manusia tersebut
    jumlahnya terbatas. Mazhab Baqir menolak pernyataan ini, karena
    menurut mereka, Islam tidak mengenal adanya sumber daya yang
    terbatas. Dalil yang dipakai adalah Al-Qur’an (54: 49). Pendapat
    Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Agus Arwani)
    131
    bahwa keinginan manusia itu tidak terbatas juga ditolak. Mazhab ini
    berkesimpulan bahwa keinginan yang tidak terbatas itu tidak benar,
    sebab pada kenyataannya keinginan manusia itu terbatas.
    (Adiwarman minta bandingkan pendapat ini dengan teori Marginal
    Utility, Law of Diminishing Returns, dan hukum Gossen).
    Mazhab Baqir juga berpendapat bahwa masalah ekonomi
    muncul karena adanya distribusi yang tidak merata dan adil sebagai
    akibat sistem ekonomi yang membolehkan eksploitasi pihak yang
    kuat terhadap pihak yang lemah. Yang kuat memiliki akses terhadap
    sumber daya sehingga menjadi sangat kaya. Sementara yang lemah
    tidak memiliki akses terhadap sumber daya sehingga menjadi sangat
    miskin. Karena itu masalah ekonomi bukan karena sumber daya
    yang terbatas, tetapi karena keserakahan manusia yang tidak
    terbatas.
    Sementara itu, mazhab Mainstream (mazhab kedua)
    berbeda pendapat dengan mazhab Baqir, mazhab ini justru setuju
    bahwa masalah ekonomi terjadi karena sumber daya yang terbatas
    yang dihadapkan pada keinginan manusia yang tidak terbatas.
    Memang benar misalnya, bahwa total permintaan dan penawaran
    beras di seluruh dunia berada pada titik equilibrium. Namun jika kita
    berbicara pada tempat dan waktu tertentu, maka sangat mungkin
    terjadi kelangkaan sumber daya. Bahkan ini yang seringkali terjadi.
    Dalil yang dipakai adalah al-Qur’an (2: 155 dan 102: 1-5). Dengan
    demikian, pandangan mazhab ini tentang masalah ekonomi hampir
    tidak ada bedanya dengan pandangan ekonomi konvensional.
    Kelangkaan sumber dayalah yang menjadi munculnya masalah
    ekonomi. Bila demikian, di manakah letak perbedaan mazhab
    Mainstream ini dengan ekonomi konvensional?
    Perbedaannya terletak dalam cara menyelesaikan masalah
    tersebut. Dilema sumber daya yang terbatas versus keinginan yang
    tak terbatas memaksa manusia untuk melakukan pilihan-pilihan atas
    keinginannya. Kemudian manusia membuat skala prioritas
    pemenuhan keinginan, dari yang paling penting sampai yang paling
    tidak penting. Dalam ekonomi konvensional, pilihan dan penentuan
    skala prioritas dilakukan berdasarkan selera pribadi masing-masing.
    Manusia boleh mempertimbangkan tuntutan agama, boleh juga
    mengabaikannya. Hal demikian dalam bahasa Al-Qur’an disebut
    “pilihan dilakukan dengan mempertaruhkan hawa nafsunya”.
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    132
    Tetapi dalam ekonomi Islam, keputusan pilihan ini tidak
    dapat dilakukan semaunya saja. Perilaku manusia dalam setiap aspek
    kehidupannya termasuk ekonomi selalu dipandu oleh Allah lewat
    Quran dan Sunnah. Tokoh-tokoh mazhab ini di antaranya M. Umer
    Chapra, M.A. Mannan. M. Nejatullah Siddiqi, dan lain-lain.
    Mazhab ketiga adalah mazhab Alternatif-Kritis. Mazhab
    yang di antara pelopornya adalah Timur Kuran (Ketua Jurusan
    Ekonomi di University of Southern California) dan Jemo (Yale,
    Cambridge, Harvard, Malaya) ini mengritik dua mazhab
    sebelumnya. Mazhab Baqir dikritik sebagai mazhab yang berusaha
    untuk menemukan sesuatu yang baru yang sebenarnya sudah
    ditemukan oleh orang lain. Sementara mazhab Mainstream
    dikritiknya sebagai jiplakan dari ekonomi neoklasik dengan
    menghilangkan variabel riba dan memasukkan variabel zakat serta
    niat.
    Mazhab ini adalah sebuah mazhab yang kritis. Mereka
    berpendapat bahwa analisis kritis bukan saja harus dilakukan
    terhadap sosialisme dan kapitalisme, tetapi juga kepada ekonomi
    Islam itu sendiri. Mereka yakin Islam pasti benar, tetapi ekonomi
    Islam belum tentu benar karena ekonomi Islam adalah hasil
    penafsiran orang Islam atas Al-Qur’an dan As-Sunnah, sehingga
    nilai kebenarannya tidak mutlak. Proposisi dan teori yang diajukan
    oleh ekonomi Islam harus selalu diuji kebenarannya sebagaimana
    yang dilakukan terhadap ekonomi konvensional (Karim, 2002: 5).
    Filsafat ekonomi, merupakan dasar dari sebuah sistem
    ekonomi yang dibangun. Berdasarkan filsafat ekonomi yang ada
    dapat diturunkan tujuan-tujuan yang hendak dicapai, misalnya
    tujuan kegiatan ekonomi konsumsi, produksi, distribusi,
    pembangunan ekonomi, kebijakan moneter, kebijakan fiskal, dan
    sebagainya. Filsafat ekonomi Islam didasarkan pada konsep triangle:
    yakni filsafat Tuhan, manusia dan alam. Kunci filsafat ekonomi
    Islam terletak pada manusia dengan Tuhan, alam dan manusia
    lainnya. Dimensi filsafat ekonomi Islam inilah yang membedakan
    ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya kapitalisme dan
    sosialisme. Filsafat ekonomi yang Islami, memiliki paradigma yang
    relevan dengan nilai-nilai logis, etis dan estetis yang Islami yang
    kemudian difungsionalkan ke tengah tingkah laku ekonomi manusia.
    Dari filsafat ekonomi ini diturunkan juga nilai-nilai instrumental
    Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Agus Arwani)
    133
    sebagai perangkat peraturan permainan (rule of game) suatu
    kegiatan (http://shariaeconomics.wordpress.com, Agustianto , 2012:
    1).
    Salah satu poin yang menjadi dasar perbedaan antara sistem
    ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya adalah pada
    falsafahnya, yang terdiri dari nilai-nilai dan tujuan. Dalam ekonomi
    Islam , nilai-nilai ekonomi bersumber Al-Qur’an dan hadits berupa
    prinsip-prinsip universal. Di saat sistem ekonomi lain hanya terfokus
    pada hukum dan sebab akibat dari suatu kegiatan ekonomi, Islam
    lebih jauh membahas nilai-nilai dan etika yang terkandung dalam
    setiap kegiatan ekonomi tersebut. Nilai-nilai inilah yang selalu
    mendasari setiap kegiatan ekonomi Islam .
    Sistem ekonomi Islam sangat berbeda dengan ekonomi
    kapitalis, sosialis maupun komunis. Ekonomi Islam bukan pula
    berada di tengah-tengah ketiga sistem ekonomi itu. Sangat bertolak
    belakang dengan kapitalis yang lebih bersifat individual, sosialis
    yang memberikan hampir semua tanggungjawab kepada warganya
    serta komunis yang ekstrem, ekonomi Islam menetapkan bentuk
    perdagangan serta perkhidmatan yang boleh dan tidak boleh di
    transaksikan (http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_syariah, 2012:
    1). Ekonomi dalam Islam harus mampu memberikan kesejahteraan
    bagi seluruh masyarakat, memberikan rasa adil, kebersamaan dan
    kekeluargaan serta mampu memberikan kesempatan seluas-luasnya
    kepada setiap pelaku usaha
    Syari’ah membimbing aktivitas ekonomi, sehingga sesuai
    dengan kaidah-kaidah syariah. Sedangkan akhlak membimbing
    aktivitas ekonomi manusia agar senantiasa mengedepankan
    moralitas dan etika untuk mencapai tujuan. Akhlak yang terpancar
    dari iman akan membentuk integritas yang membentuk good
    corporate governance dan market disiplin yang baik
    (http://shariaeconomics.wordpress.com, Agustianto, 2012: 2).
    Filsafat hukum fiqh mu’amalah atau falsafah al-tasyri’ fî almu’âmalat
    istilah sesuatu yang berkaitan dengan hukum Islam
    meliputi tujuan hukum (maqâshid), prinsip hukum (mabâdi’ atau
    mâhiyat), asas hukum atau usus al-hukm, kaidah hukum, dan
    wasatiyyât wa al-harâkiyah fî alhukm (Atang, 2011: 142).
    Sedangkan Hasbi Ash Shiddieqy menambahkan ciri khas, serta
    watak dan tabi’at yang merupakan landasan pembentukan dan
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    134
    pembinaan hukum Islam (Atang, 2011: 37). Maka berdasarkan hal
    tersebut dalam makalah ini penulis akan membahas tujuan,prinsip,
    asas, kaidah, dan ciri khas serta tabi’at sebagai substansi dari filsafat
    hukum mu’amalah.
    D. Prinsip Hukum Ekonomi Islam
  1. Prinsip aqidah, atau prinsip tauhid. Prinsip ini merupakan
    fondasi hukum Islam, yang menekankan bahwa:
    a. Harta benda yang kita kuasai hanyalah amanah dari Allah
    sebagai pemilik hakiki. Kita harus memperolehnya dan
    mengelolanya dengan baik (al-thayyibât) dalam rangka dan
    mencari kemanfaatan karunia Allah (ibtighâ min fadhillah).
    b. Manusia dapat berhubungan langsung dengan Allah.
    Ekonomi Islam adalah ekonomi yang berdasarkan ketuhanan.
    Sistem ini bertitik tolak dari Allah, bertujuan akhir kepada
    Allah, dan menggunakan sarana yang tidak lepas dari syari’at
    Allah (Qardhawi, 1987 dan Shomad, 2010: 86).
  2. Prinsip Keadilan, Mencakup seluruh aspek kehidupan,
    merupakan prinsip yang penting (Permono, 2008: 45).
    Sebagaimana Allah memerintahkan adil di antara sesama
    manusia dalam banyak ayat antara lain:
    “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan
    berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah
    melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
    Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat
    mengambil pelajaran” (QS. an-Nahl: 90)
    “Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada
    Rasul-Nya yang berasal dari penduduk kota-kota maka adalah
    untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim, orangorang
    miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya
    harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya
    saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka
    terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka
    tinggalkanlah; dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya
    Allah sangat keras hukuman-Nya.” (QS. al-Hasyr: 9)
  3. Prinsip al-Ihsân (berbuat kebaikan), pemberian manfaat kepada
    orang lain lebih daripada hak orang lain itu.
    Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Agus Arwani)
    135
  4. Prinsip al-Mas’ûliyah (accountabillty), pertanggungjawaban
    yang meliputi beragam aspek, yakni: pertanggungjawaban
    antara individu dengan individu (mas’ûliyah al-afrâd),
    pertanggungjawaban dalam masyarakat (mas’ûliyah almujtama’).
    Manusia dalam masyarakat diwajibkan
    melaksanakan kewajibannya demi terciptanya kesejahteraan
    anggota masyarakat secara keseluruhan serta tanggung jawab
    pemerintah (mas’ûliyah al-daulah) tanggung jawab ini
    berkaitan dengan baitul mal (Permono, 2008: 78).
  5. Prinsip keseimbangan. Prinsip al-Wasathiyah (al-‘itidal,
    moderat, keseimbangan), syariat Islam mengakui hak pribadi
    dengan batas-batas tertentu. Syari’at menentukan keseimbangan
    kepentingan individu dan kepentingan masyarakat.
  6. Prinsip kejujuran dan kebenaran. Prinsip ini merupakan sendi
    akhlakul kariimah.
    a. Prinsip transaksi yang meragukan dilarang, akad transaksi
    harus tegas, jelas dan pasti. Baik benda yang menjadi objek
    akad, maupun harga barang yang diakadkan itu.
    b. Prinsip transaksi yang merugikan dilarang. Setiap transaksi
    yang merugikan diri sendiri maupun pihak kedua dan pihak
    ketiga dilarang.
    c. Prinsip mengutamakan kepentingan sosial. Prinsip ini
    menekankan pentingnya kepentingan bersama yang harus
    didahulukan tanpa menyebabkan kerugian individu.
    Sebagaimana kaidah fiqhiyah: “bila bertentangan antara
    kemaslahatan sosial dan kemaslahatan individu, maka
    diutamakan kepentingan kemaslahatan sosial”.
    d. Prinsip manfaat. Objek transaksi harus memiliki manfaat,
    transaksi terhadap objek yang tidak bermanfaat menurut
    syariat dilarang.
    e. Prinsip transaksi yang mengandung riba dilarang.
    f. Prinsip suka sama suka (saling rela, ‘an taradhin). Prinsip ini
    berlandaskan pada firman Allah Swt:
    “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling
    memakan harta sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali
    dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka samasuka
    di antara kamu..” (QS. an-Nisâ’: 29).
    g. Prinsip Milkiah, kepemilikan yang jelas.
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    136
    h. Prinsip Tiada Paksaan. Setiap orang memiliki kehendak yang
    bebas dalam menetapkan akad, tanpa tunduk kepada paksaan
    transaksi apapun, kecuali hal yang diharuskan oleh norma
    keadilan dan kemaslahatan masyarakat (Permono, 2008: 78-
    80).
    E. Asas Hukum Ekonomi Islam
  7. Tabâdul al-manâfi (pertukaran manfaat), kerjasama
    (musyârakah), dan kepemilikan
    Asas pertukaran manfaat (tabâdul al-manâfi) difahami dari QS.
    al-Imrân: 191. Ayat ini menerangkan bahwa segala yang
    diciptakan oleh Allah Swt memiliki nilai kebaikan dan manfaat
    bagi manusia. Firman Allah adalah aturan dan norma hukum
    yang bertujuan terciptanya kebaikan (al-mashâlih) manusia,
    dunia dan akhirat. Norma hukum tersebut oleh para ulama
    diinterpretasi sehingga melahirkan, salah satunya, norma fiqh
    muamalah. Norma fiqh muamalah sebagai bagian norma hukum
    Islam memiliki tujuan yang sama, yaitu al-mashâlih. Almashalih
    dapat diartikan manfaat atau kebaikan (Permono,
    2008: 160). Yang dimaksudkan untuk dapat mendistribusikan
    secara merata kepada seluruh manusia, dan seluruh elemen
    masyarakat, bukan sebuah monopoli demi kepentingan
    perorangan atau kelompok.
    Pertukaran manfaat mengandung pengertian
    keterlibatan orang banyak, baik secara individual maupun
    kelembagaan. Oleh karenanya, dalam pertukaran manfaat
    terkandung norma kerjasama (al-musyârakat). Disamping itu,
    pertukaran manfaat terkait dengan hak milik (haq al-milk)
    seseorang, karena perputaran manfaat hanya dapat terjadi dalam
    benda yang dimiliki, walaupun sebetulnya hak milik mutlak
    hanya ada pada Allah Swt, sementara manusia hanya memiliki
    hak pemanfaatan. Proses pertukaran manfaat melalui norma almusyârakat
    dan norma haq al-milk berakhir di norma alta’âwun
    (tolong- menolong). Dalam Islam al-ta’âwun hanya
    terjadi dalam kebaikan dan ketaqwaan (al-khairât atau al-birr
    wa al-taqwâ) serta dalam hal yang membawa manfaat bagi
    semua (Hakim, 2011: 160-161).
    Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Agus Arwani)
    137
  8. Pemerataan kesempatan, ‘an tarâdhin (suka sama suka atau
    kerelaan) dan ‘adam al-gharâr (tidak ada penipuan atau
    spekulasi)
    Asas pemerataan adalah kelanjutan, sekaligus salah satu
    bentuk penerapan prinsip keadilan dalam teori hukum Islam .
    Pada tataran ekonomi, prinsip ini menempatkan manusia
    sebagai makhluk yang memiliki kesempatan yang sama untuk
    memiliki, mengelola dan menikmati sumber daya ekonomi
    sesuai dengan kemampuannya. Di samping itu, asas ini adalah
    wujud operasional ajaran Islam tentang perputaran harta yang
    tidak boleh hanya berkisar dikalangan orang kaya (al-aghnia),
    sehingga atas dasar ini hak-hak sosial dirumuskan. Rumusan
    hak-hak sosial di antaranya ialah teori perpindahan hak milik,
    sewa menyewa, gadai, pinjam-meminjam dan utang piutang.
    Teori perpindahan hak milik diimplementasikan oleh hukum
    Islam dengan, contoh: jual beli yang bisa berupa akad
    murâbahah, salam atau ishtinâ’, zakat infaq, shadaqah, hibbah,
    dan waris, sewa menyewa dengan al-isti’ârat gadai dengan alrahn,
    dan pinjam meminjam dengan al-qardh. Teori-teori ini
    adalah sarana untuk menciptakan iklim perekonomian yang
    sehat sehingga lalu lintas perniagaan bisa dirasakan oleh semua
    lapisan masyarakat secara merata, tanpa adanya monopoli pihak
    tertentu.
    ‘An tarâdhin merupakan salah satu asas fiqh mu’amalah.
    Ia berarti saling merelakan atau suka sama suka. Kerelaan bisa
    berupa kerelaan melakukan suatu bentuk muamalah, dan atau
    kerelaan dalam menerima atau menyerahkan harta yang menjadi
    obyek perikatan, serta bentuk muamalah lainnya. Ia adalah salah
    satu prasyarata keabsahan transaksi bermuamalah di anatara
    para pihak yang terlibat. Disamping itu, ia merupakan
    kelanjutan dari azas pemerataan, dan bersinergi dengan asas
    ‘adam al-gharâr, arinya prilaku ‘an tarâdhin memungkinkan
    tertutupnya sifat-sifat gharâr dalam berbagai bentuk transaksi
    mu’amalah. Hal ini dapat terjadi, karena ’adam al-gharâr
    merupakan kelanjutan dari ‘an tharâdhin. Al-gaharâr ialah
    sesuatu yang tidak diketahui atau tidak jelas apakah ia ada atau
    tidak ada. Dalam gharâr ada unsur spekulasi bahkan penipuan
    yang dapat menghilangkan ‘an taradhin. ‘adam al-gharar
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    138
    mengandung arti bahwa pada setiap bentuk muamalah tidak
    boleh ada unsur tipu daya atau sesuatu yang menyebabkan salah
    satu pihak merasa dirugikan oleh pihak lain sehingga
    menyebabkan hilangnya unsur kerelaan dalam melakukan suatu
    transaksi.
  9. Al-bir wa al-taqwâ (Kebaikan dan taqwa)
    Asas al-birr wa al-taqwâ merupakan asas yang
    mewadahi seluruh asas muamalah lainnya. Yaitu segala asas
    dalam lingkup fiqh mu’amalah dilandasi dan diarahkan untuk
    al-birr wa al-taqwâ. Al-birr artinya kebijakan dan berimbang
    atau proporsional atau berkeadilan (Hakim, 2011: 182).
    Hukum Islam melalui asas kebaikan dan ketaqwaan
    menekankan bentuk-bentuk muamalat dalam kategori ‘an
    tarâdhin, ‘adam al-gharâr, tabâdul al-manâfi’, dan pemerataan
    adalah dalam rangka pemenuhan dan pelaksanaan saling
    membantu antara sesama manusia untuk meraih al-birr wa altaqwâ.
    Islam memberlakukan asas ini dalam semua aturan
    bermuamalah, termasuk ekonomi perbankan syari’ah, agar
    dipedomani oleh seluruh umat manusia tanpa melihat latar
    belakang kelompok dan agama yang dianut. Ia baru diboleh
    tidak dipedomani hanya untuk memeperlakukan orang kafir
    yang memerangi, membunuh dan mengusir umat Islam dari
    tempat tinggal mereka.
    Prinsip hukum Islam sebagai asas atau pilar kegiatan
    usaha dan pedoman perbankan syari’ah dalam mencapai
    tujuannya itu berkohorensi dengan al-birr wa al-taqwa. Artinya
    asas-asas hukum Islam seperti ’an taradhin, tabadul manafi’,
    ‘adam al-gharar, ta’awun, al-adl berorientasi kepada
    pemenuhan al-birr wa al-taqwa.
    F. Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Mu’amalah)
    Teori ekonomi Islam dibangun dari masalah faktual,
    sehingga kedekatan teori dengan teori lain, teori dengan praktek,
    saling berkaitan dalam ekonomi Islam. Ekonomi Islam dibangun
    bukan berdasarkan pandangan manusia sebagai makhluk ekonomi
    tetapi berdasarkan pandangan manusia yang diciptakan Tuhan
    Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Agus Arwani)
    139
    dengan berbekalkan fitrah. Dan didasarkan atas empat aksioma
    yaitu; equilbrium, free-will, unity, dan responbility.
    Epistemologi Islam mengambil titik tolak Islam sebagai
    subjek untuk membicarakan filasafat pengetahuan, maka di satu
    pihak epistemologi Islam berpusat pada Allah, dalam arti Allah
    sebagai sumber pengetahuan dan sumber segala kebenaran. Di lain
    pihak, epistemologi Islam berpusat pula pada manusia, dalam arti
    manusia sebagai pelaku pencari pengetahuan (kebenaran). Di sini
    manusia berfungsi subyek yang mencari kebenaran. Manusia
    sebagai khalifah Allah berikhtiar untuk memperoleh pengetahuan
    sekaligus memberi interpretasinya.
    Menurut Chouwdhury sumber utama dan permulaan dari
    segala ilmu pengetahuan (primordial stock of knowledge) adalah al-
    Qur’an, sebab ia merupakan alam Allah. Pengetahuan yang ada
    dalam al-Qur’an memiliki kebenaran mutlak (absolute), telah
    mencakup segala kehidupan secara komprehensif (complete) dan
    karenanya tidak dapat dikurangi dan ditambah (irreducible). Akan
    tetapi, al-Qur’an pada dasarnya tidak mengetahui pengetahuan yang
    praktis, tetapi lebih pada prinsip-prinsip umum. Ayat-ayat al-Qur’an
    diimplementasikan dalam perilaku nyata oleh Rasulullah, karena itu
    al-Sunnah juga adalah sumber ilmu pengetahuan berikutnya. Al-
    Qur’an dan Sunnah kemudian dapat dielaborasi dalam hukumhukum
    dengan menggunakan metode epistemological deduction,
    yaitu menarik prinsip-prinsip umum yang terdapat dalam kedua
    sumber tersebut untuk diterapkan dalam realitas individu
    (Muhammad, 2005: 5).
    Selanjutnya dalam epistemology hukum ekonomi Islam
    diperlukan ijtihad dengan menggunakan rasio/akal. Ijtihad terbagi
    kepada dua macam, yaitu ijtihad istinbathi dan ijtihad tathbiqi.
    Ijtihad istinbathi bersifat deduksi, sedangkan ijtihad tathbiqi bersifat
    induksi. Dari segi kuantitas orang yang berijtihad, ijtihad dibagi
    kepada dua, yaitu ijtihad fardi (individu) dan ijtihad jama’iy
    (kumpulan orang banyak). Ijtihad yang dilakukan secara bersama
    disebut ijma’ dan dianggap memiliki tingkat kebenaran ijtihad yang
    paling tinggi.
    Dalam membicarakan epistemologi hukum ekonomi Islam,
    digunakan metode deduksi dan induksi. Ijtihad tahbiqi yang banyak
    mengunakan induksi akan menghasilkan kesimpulan yang lebih
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    140
    operasional, sebab ia didasarkan pada kenyataan empiris.
    Selanjutnya, dari keseluruhan proses ini –yaitu kombinasi dari
    elaborasi kebenaran wahyu Allah dan As Sunnah dengan pemikiran
    dan penemuan manusia yang dihasilkan dalam ijtihad akan
    menghasilkan hukum dalam berbagai bidang kehidupan. Jika
    diperhatikan, maka sesungguhnya Shuratic proses ini merupakan
    suatu metode untuk menghasilkan ilmu pengetahuan yang memiliki
    akar kebenaran empiris (truth based on empirical process).
    Selanjutnya, dari sudut pandang epistemologi dapat
    diketahui bahwa ilmu ekonomi diperoleh melalui pengamatan
    (empirisme) terhadap gejala sosial masyarakat dalam memenuhi
    kebutuhan hidupnya. Pengamatan yang dilakukan kemudian
    digeneralisasi melalui premis-premis khusus untuk mengambil
    kesimpulan yang bersifat umum. Pada tahap ini, ilmu ekonomi
    menggunakan penalaran yang bersifat kuantitatif . Perubahan dan
    keajegan yang diamati dalam sistem produksi dan distribusi barang
    dan jasa kemudian dijadikan sebagai teori-teori umum yang dapat
    menjawab berbagai masalah ekonomi. Sebagai sebuah contoh dapat
    dilihat dari teori permintaan (demand) dalam ilmu ekonomi yang
    berbunyi “apabila permintaan terhadap sebuah barang naik, maka
    harga barang tersebut secara otomatis akan menjadi naik” . Teori
    tersebut diperoleh dari pengalaman dan fakta di lapangan yang
    diteliti secara konsisten oleh para ahli ekonomi. Berdasarkan cara
    kerja yang demikian, penemuan teori-teori ilmu ekonomi
    dikelompokkan ke dalam context of discovery (Naqvi, tt: 48-56).
    Berbeda dengan hal itu, fiqh mu’amalat diperoleh melalui
    penelusuran langsung terhadap al-Qur’an dan Hadits oleh para
    fuqaha. Melalui kaedah-kaedah ushuliyah, mereka merumuskan
    beberapa aturan yang harus dipraktekkan dalam kehidupan ekonomi
    umat. Rumusan-rumusan tersebut didapatkan dari hasil pemikiran
    (rasionalisme) melalui logika deduktif. Premis mayor yang
    disebutkan dalam wahyu selanjutnya dijabarkan melalui premispremis
    minor untuk mendapatkan kesimpulan yang baik dan benar.
    Dengan demikian, fiqh mu’amalat menggunakan penalaran yang
    bersifat kualitatif .
    Salah satu contoh yang dapat dikemukakan dalam kasus ini
    adalah kaedah ushuliyah yang berbunyi “al-ashlu fî al-asyyai alibâhah
    illa dalla dalîlu ‘alâ tahrîmihi (asal dari segala sesuatu
    Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Agus Arwani)
    141
    adalah dibolehkan kecuali datang sebuah dalil yang
    mengharamkannya). Jika diterapkan dalam ilmu ekonomi, maka
    seluruh transaksi bisnis pada dasarnya diperbolehkan jika tidak ada
    nash yang mengharamkannya. Pelarangan terhadap praktek bunga
    dan riba dalam perbankan konvensional hanya disebabkan adanya
    beberapa nash yang mengharamkannya (misalnya lihat QS al-
    Baqarah:275). Cara kerja seperti ini dalam filsafat ilmu dikenal
    dengan context of justification.
    Munculnya problem epistemologis sebagaimana disebutkan
    di atas bersumber dari paradigma metodologis yang disusun oleh
    para ulama mutaqaddimin. Bagi para ulama mutaqaddimin,
    misalnya, penyelidikan terhadap hukum didasarkan atas prinsip
    tab’iyyah al-aql li an-naql . Ini berarti bahwa analisis hukum adalah
    naqli atau analisis teks sesuai dengan anggapan tidak ada hukum di
    luar teks-teks naqliyah. Sementara itu, mereka tidak pernah
    mengembangkan suatu metode analisis sosial dan historis yang
    terartikulasi dengan baik, meskipun al-Ghazali telah membuat suatu
    paradigma pemaduan wahyu dan ra’yu dengan mengembangkan
    teori mashlahat dengan dasar logika induksi yang sesungguhnya
    memberi peluang bagi pengembangan analisis sosial. Dalam
    prakteknya, al-Ghazali kemudian al-Syatibi sebagai dua tokoh
    mashlahat dalam hukum Islam akhirnya jatuh juga dalam analisis
    tekstual seperti ulama-ulama lainnya.
    Analisis tekstual tersebut berkembang di kalangan ulama
    fuqaha secara konsisten dengan metodologi deduksi sebagai pilar
    utamanya. Padahal, prasyarat perkembangan sebuah ilmu
    pengetahuan adalah dengan menggabungkan metode deduksi dan
    induksi secara bersamaan. Sejarah perkembangan hukum Islam,
    metode induksi-deduksi juga dilakukan oleh Imam Syafi’i ketika dia
    melontarkan ijtihad baru berupa qaul jadîd untuk menggantikan qaul
    qadîm-nya. Perubahan fatwa Imam Syafi’i itu lebih didasarkan atas
    perbedaan lingkungan geografis kota Basrah dan kota Mesir.
    Perbedaan lingkungan geografis itu kemudian disesuaikan dengan
    kaedah deduktif dalam ilmu ushul fiqh yang berbunyi “taghayyar alahkâm
    bi al-taghyar al-azminah wa al-amkinah”. Perbedaan antara
    ilmu ekonomi dan fiqh mu’amalat dapat ditelurusi lebih dalam dari
    aspek aksiologisnya. Ilmu ekonomi pada hakikatnya bertujuan untuk
    membantu manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    142
    Sedangkan fiqh mu’amalat berfungsi untuk mengatur hukum
    kontrak (‘aqad) baik yang bersifat sosial maupun komersil .
    Secara pragmatis dapat disebutkan bahwa ilmu ekonomi
    lebih berorientasi materialis, sementara fiqh mu’amalat lebih
    terfokus pada hal-hal yang bersifat normatif. Atau dengan kata lain,
    ilmu ekonomi mempelajari teknik dan metode, sedangkan fiqh
    mu’amalat menentukan status hukum boleh tidaknya sebuah
    transaksi bisnis.
    Di samping problem epistemologis dalam filsafat ilmu yang
    disebutkan di atas, ilmu ekonomi Islam juga mendapat tantangan
    yang cukup berat dari ilmu ekonomi konvensional. Hal ini terjadi
    mengingat ilmu ekonomi yang berkembang di dunia Barat dilandasi
    dengan kebebasan individu dalam melakukan kontrak dengan syarat
    tidak merugikan satu sama lain. Konsep-konsep ekonomi
    konvensional versi Barat perlu diredefinisi agar dapat disesuaikan
    dengan kebutuhan syari’at Islam . Di antara konsep-konsep tersebut
    antara lain:
  10. Konsep harta
    Masalah yang timbul dalam konsep harta adalah bahwa
    ilmu ekonomi konvensional tidak mengenal adanya nilai dalam
    pemilikan harta. Sejauh dapat menimbulkan nilai ekonomis, segala
    sesuatu dapat diakui sebagai harta. Tidak heran bila barang-barang
    haram seperti minuman keras dan daging babi termasuk properti
    yang sah untuk dijadikan sebagai salah satu komoditi bisnis.
  11. Konsep Uang
    Pembahasan dalam fiqh mu’amalat mengasumsikan bahwa
    uang yang digunakan masyarakat adalah uang riil (real money) yaitu
    emas dan perak. Padahal sejak jaman penjajahan, uang emas dan
    perak tidak lagi digunakan sebagai alat tukar. Sebagai gantinya uang
    kertas menjadi alat tukar yang berlaku di tengah masyarakat. Para
    ulama berbeda pendapat tentang hukum uang kertas ini. Ada yang
    menganggap bahwa uang kertas tidak diterima dalam syariah karena
    bukan harta riil dan ada pula yang dapat menerimanya.
    Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Agus Arwani)
    143
  12. Konsep Bunga dan Riba
    Dalam ilmu ekonomi, bunga merupakan asumsi yang tidak
    lagi menjadi bahan perdebatan meskipun sampai saat ini para
    ekonom masih sulit mencari justifikasi terhadapnya. Dalam ilmu
    fiqh mu’amalat istilah ini tidak dikenal meskipun pembahasan
    tentang hukum riba boleh dikatakan telah selesai dan para ulama
    sepakat mengharamkannya . Dengan konsep uang kertas (abstract
    money), konsep bunga dan riba menjadi pembahasan yang
    bekelanjutan.
  13. Konsep Time Value of Money
    Sebagian besar teori tentang menajemen keuangan
    dibangun berdasarkan konsep nilai dan waktu dari uang yang
    mengasumsikan bahwa nilai uang sekarang relatif lebih besar
    ketimbang di masa yang akan datang. Sedangkan di sisi lain, tidak
    didapati penjelasannya dalam fiqh mu’amalat meskipun perdebatan
    tentangn jual beli tangguh (ba’i mu’ajjal) termasuk diskusi yang
    tidak sedikit di antara para ulama.
  14. Konsep Modal
    Modal dalam pengertian ilmu ekonomi adalah segala
    benda, baik yang fisik maupun yang abstrak, yang memiliki nilai
    ekonomis dan produktif. Termasuk dalam pengertian ini adalah uang
    dan intellectual property right. Dalam fiqh mu’amalat klasik,
    pengertian modal terbatas pada benda fisik. Uang hanya dapat
    berperan sebagai alat tukar. Apabila ia ingin menjadi modal yang
    digunakan untuk memperoleh keuntungan ia harus terlebih dahulu
    diubah ke dalam bentuk fisik.
    6.Konsep Lembaga
    Ilmu ekonomi tidak mempersoalkan adanya individual
    entity atau abstract entity. Berbeda halnya dengan fiqh mu’amalat
    yang objeknya kepada mukallaf secara individual. Hal ini akan
    membawa dampak bagi analisa tentang kepemilikan dan
    hubungannnya dengan kepemilikan .
    Problem epistemologis ilmu ekonomi Islam dan tantangan
    yang diberikan oleh ilmu ekonomi konvensional yang disebutkan di
    atas dapat berimplikasi, baik secara langsung maupun tidak
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    144
    langsung, kepada out put yang dihasilkan. Fiqh mu’amalat yang
    diajarkan di ekonomi Islam tidak mampu untuk menghasilkan para
    sarjana muslim yang diterima oleh dunia kerja. Alasannya adalah
    bahwa skill dan penguasaan terhadap ekonomi real lebih dibutuhkan
    sektor industri dan dunia kerja dibandingkan dengan keahlian dalam
    masalah istimbath al-ahkam.
    Di samping itu, masih sulit dibayangkan alumni jurusan
    fiqh mu’amalat mampu memimpin sebuah lembaga keuangan
    syari’ah seperti bank, asuransi, pasar modal, bahkan lembaga zakat
    dan wakaf. Demikian juga dunia perbankan, asuransi, dan pasal
    modal. Sektor ini lebih membutuhkan sarjana-sarjana yang
    menguasai ilmu-ilmu praktis seperti akuntansi, statistika, dan
    matematika ekonomi. Penguasaan terhadap ilmu-ilmu praktis
    menjadi hal yang sangat esensial mengingat modal yang diputarkan
    dalam bidang tersebut hanya dapat dikalkulasikan dengan ilmu-ilmu
    tersebut. Perusahaan-perusahaan komersil tentu tidak mau rugi
    hanya dikarenakan miss management yang seharusnya tidak terjadi
    bila mereka mempekerjakan orang-orang yang menguasai bidang
    tersebut secara baik.
    KESIMPULAN
    Hukum Ekonomi Islam (mu’amalah) merupakan ilmu yang
    mempelajari segala prilaku manusia dalam memenuhi kebutuhan
    hidupnya dengan tujuan memperoleh kedamaian dan kesejahteraan
    dunia akhirat. Perilaku manusia di sini berkaitan dengan landasanlandasan
    syariah sebagai rujukan berprilaku dan kecenderungankecenderungan
    dari fitrah manusia. Kedua hal tersebut berinteraksi
    dengan porsinya masing-masing sehingga terbentuk sebuah
    mekanisme ekonomi (muamalah) yang khas dengan dasar-dasar nilai
    ilahiyah. Filsafat hukum fiqh mu’amalah atau falsafah al-tasyrî’ fî al
    mu’âmalat istilah sesuatu yang berkaitan dengan hukum Islam
    meliputi tujuan hukum (maqâshid), prinsip hukum (mabâdi’ atau
    mâhiyat), asas hukum atau usus al-hukm, kaidah hukum, dan
    wasatiyyat wal harakiyah fî alhukm.
    Kesempurnaan Islam ini tidak saja disebutkan dalam al-
    Qur’an, namun juga dapat dirasakan baik itu oleh para ulama dan
    intelektual muslim sampai kepada non muslim. Seorang orientalis
    paling terkemuka bernama H.A.R Gibb mengatakan, “Islam is
    Epistemologi Hukum Ekonomi Islam (Agus Arwani)
    145
    much more than a system of theologi its a complete civilization”
    (Islam bukan sekedar sistem theologi, tetapi merupakan suatu
    peradaban yang lengkap).
    Nilai-nilai dasar ini akan membangun kerangka sosial, legal
    dan tingkah laku dari sistem dalam mencapai tujuan atau hasil
    tertentu yang memiliki nilai yang diprioritaskan serta menjadi
    lifestyle yang khas yang bertentangan dengan kapitalis dan sosialis
    yang memandang ekonomi dari sudut keduniaan atau yang bersifat
    materi dari kehidupan manusia baik yang menyangkut dasar maupun
    kebutuhan yang lain.
    DAFTAR PUSTAKA
    Athabik, Ali. Kamus Al’ashr, Yogyakarta: Multi Kaya Grafika.
    1996.
    Bakhtiyar, Amsal. Filsafat ilmu, Jakarta: PT. Raja Grafindo, 2008.
    Hakim, Atang Abd, Fiqh Perbankan Syari’ah, Bandung; Refika
    Aditama, 2011.
    Huda, Nurul dkk. Ekonomi Makro Islam Pendekatan Teoretis,
    Jakarta: Kencana. 2007.
    Karim, Adiwarman, Ekonomi Mikro Islam. Jakarta: PT raja Grafindo
    Persada, 2007.
    Karim. Adiwarman Azwar, Ekonomi Islam: Suatu Kajian Ekonomi
    Kontemporer. Jakarta: PT. Raja Garfindo Persada, 2002.
    Muhammad, Ekonomi Mikro (Dalam Persfektif Islam), Yogyakarta:
    BPFE, 2005.
    Naqvi, Syed Nawab Haider. Ethics and Economics an Islamic
    Synthesis, The Islamic Foundation, London
    Permono, Sjaichul Hadi, Formula Zakat, Menuju Kesejahteraan
    Sosial. Surabaya: Aulia, 2008.
    Qardhawi, M. Yusuf, Norma dan Etika Ekonomi Islam., Jakarta:
    Gema Insani Press, 1987.
    Rosyada, Dede, Hukum Islam dan Pranata Sosial, Jakarta: Rajawali
    Press, 1992.
    Syarifuddin, Amir, Ushul Fiqh Jilid 1, Jakarta: Kencana.
    http://id.wikipedia.org/wiki/Ekonomi_syariah
    RELIGIA Vol. 15 No. 1, April 2012. Hlm. 125-146
    146
    http://shariaeconomics.wordpress.com/2012/10/04/58/ Agustianto,
  15. Filsafat Ekonomi Islam … Diakses 11.20. Kamis 4
    Oktober 2012
    View publication stats

Leave a comment